Rabu, 06 Februari 2013

Uang Nusantara



 UANG NUSANTARA MENURUT PULAU DI INDONESIA
Sebelum berdaulat menjadi suatu negara yang diakui dunia, Indonesia masih berupa kerajaan-kerajaan yang terpisah-pisah. Interaksi dengan bangsa lain membuat kerajaan-kerajaan di Nusantara kemudian mengembangkan mata uangnya sendiri. Berikut ini ringkasan mata-uang di Nusantara, yang dibagi berdasarkan letaknya.
A.     Kerajaan-kerajaan di Jawa
a.      Kerajaan Mataram Syailendra

Kerajaan Mataram terbagi dalam dua dinasti, Dinasti Sanjaya dan Syailendra. Konon uang nusantara pertama kali dibuat pada masa Dinasti Syailendra (850/860 M). Pecahan terbesar uang Kerajaan Mataram Syailendra dinamakan Masa (disingkat Ma).


b.      Kerajaan Daha dan Jenggala
Mata uang kerajaan Daha dan Jenggala dinamai Krishnala. Mata uang emas ini merupakan variasi dari Ma. Perbedaan mendasar antara Ma dan Krishnala adalah bentuk dan desainya. Ma di zaman Kerajaan Mataram Syailendra belum berbentuk bulat seperti halnya Krishnala, namun beratnya mengikuti standar Ma.
c.       Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan besar di Asia Tenggara, sehingga uang Ma (yang telah berbeda bentuknya dari Ma aslinya) lebih dikenal sebagai uang Majapahit. Selain Ma Majapahit, abad ke-13 koin Kepeng Chien dinyatakan sebagai alat tukar resmi dalam perdagangan. Selengkapnya tentang mata uang kerajaan Mataram, Daha/Jenggala dan Majapahit dapat Anda simak dalam Uang Nusantara pada zaman Kerajaan Hindu-Budha (850-1300 M)

d.      Kesultanan Banten (Abad ke-15)
Mata-uang dari Kesultanan Banten pertama kali dibuat sekitar 1550-1596 Masehi. Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin Cina yaitu dengan lubang berbentuk heksagonal di tengahnya. Uang koin ini dinamai Kasha. Inskripsi pada bagian muka pada mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”. Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, seperti yang ditemukan pada akhir-akhir ini.

e.      Kesultanan Cirebon (1710 M)
Mata-uang dari Kesultanan Cirebon dibuat sekitar tahun 1710/1760, yaitu saat Sultan Sepuh berkuasa. Koin Cirebon tersebut terbuat dari bahan timah yang tipis  dengan lubang ditengah. Pada bagian muka tertulis inskripsi : “Cheribon”. Inskripsi tersebut tertulis melingkar disekitar lubang koin. Sultan Sepuh mempercayakan seorang Cina untuk membuat koin Cirebon tersebut, tak heran jika bentuknya sangat dipengaruhi bentuk koin Cina. Koin ini dinamakan “Picis”. Namun Picis ini memiliki kekurangan,  ia mudah pecah karena terlalu tipis.

f.        Kesultanan Sumenep (1730 M)
Berbeda dengan koin-koin Banten dan Cirebon, Kesultanan Sumenep di Pulau Madura tidak mencetak mata-uangnya sendiri. Mata uangnya diambil dari koin-koin asing (diluar Sumenep), yang kemudian diberi cap bertulisan Arab berbunyi ‘sumanap’ sebagai tanda pengesahan. Metode pencetakan uang Sumenep adalah  ‘countermarked” atau cetak tindih. Koin-koin yang digunakan adalah koin-koin Austria, Belanda, Java Rupee, Mexico (Real Bundar) dan (Real Batu/Cob), dll. Uang kerajaan Sumenep yang berasal dari uang Spanyol disebut juga Real Batu karena bentuknya yang tidak beraturan. Dulunya uang perak ini banyak beredar di Mexico yang kemudian beredar juga di Filipina (jajahan Spanyol). Di negeri asalnya uang Mi bernilai 8 Reales. Selain uang Real Mexico, kerajaan Sumenep juga memanfaatkan uang Gulden Belanda dan uang Thaler Austria. Sedangkan jenis cetak tindih yang dipakai, diantaranya “Bintang Madura”, dengan tulisan Arab “Sumenep”, atau “cap dengan lima kelopak daun”. Koin-koin dengan cetak tindih ini dibuat pada saat bertahtanya Sultan Paku Nata Ningrat (1811-1854)..

B.      Kerajaan-kerajaan di Sumatera
a.      Kerajaan Samudra Pasai (1297 M) dan Kerajaan Aceh (1524-1699 M)
Mata uang emas dari Kerajaan Samudra Pasai untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang berkuasa sekitar 1297-1326. Mata uangnya disebut Dirham atau Mas, dan mempunyai standar berat 0,60 gram (berat standar Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0,30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Dirham Pasai mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan yang 1/2  Dirham berdiameter 6 mm. Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.

Setelah Pasai berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh pada tahun 1524, sultan-sultan Aceh tetap mengikuti tradisi dari kerajaan Pasai dalam pembuatan mata-uangnya. Namun dibandingkan Dirham Pasai, uang diameter Dirham Aceh lebih besar, antara 12 – 14 mm. Pada bagian belakangnya terdapat tulisan Arab “as-Sultan al-adil”, yang artinya Sultan yang adil. Selain Dirham, Aceh juga membuat mata-uang dari timah/timbal, yang disebut “Keueh”. 1 Dirham sama dengan 400 Keueh.

Kerajaan Aceh pernah memiliki empat Ratu yang memerintah secara berturut selama 60 tahun, dari 1641-1699. Setiap Ratu Aceh juga mencetak mata-uangnya masing-masing. Keempat ratu tersebut adalah:
                                                    i.      Sultanah Safiat ad-Din, (1641-1675);
                                                  ii.      Sultanah Nur al-Alam Naqiat ad-Din Syah(1675-1678);
                                                iii.      Sultanah Inayat Syah Zakiat ad-Din Syah (1678-1688);
                                                iv.      Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).

b.      Kerajaan Palembang
Ada dua jenis mata-uang dari Kerajaan Palembang, yaitu “Picis Tebok” dan dengan “Picis Buntu”. Tebok dalam dialek Palembang berarti “lubang”, ini untuk membedakan uang picis yang berlubang dan yang tidak berlubang. Selain dari bentuknya, Picis Palembang bisa dibedakan dari ada atau tidaknya cetakan tahun. Semua mata uangnya terbuat dari timah, kecuali koin yang bertahun AH 1198 (tahun 1774/75 M), ada terbuat dari tembaga merah dan dari timah.

c.       Kerajaan Jambi
Seperti halnya Palembang, Kerajaan Jambi  juga membuat mata-uang picis dari timah. Salah satu koinnya ada yang berbentuk oktagonal (segi 8), dengan tulisan nama Sultan yang memerintah saat itu: “Sultan Anom Sri Ingalaga”.  Sultan Anom Sri Ingalaga mulai memerintah di tahun 1743 M.

C.      Kerajaan-kerajaan di Kalimantan
a.      Kesultanan Pontianak
Kesultanan Pontianak didirikan pada tahun 1770 M, oleh seorang pedagang keturunan Arab yang bernama Abdul Rahman Alkadrie. Periode pencetakan koin-koin dari kesultanan di Kalimantan Barat ini berkisar tahun 1790-1817.
b.      Kesultanan Banjarmasin
Koin-koin dari Kesultanan Banjarmasin pada umumnya merupakan imitasi dari koin-koin VOC, yang dicetak sewaktu bertahtanya Sultan Tamjid Illah III (1785-1808). Koin-koinnya mempunyai lambang VOC, dan bertahun AH 1221.

c.       Kerajaan Maluka.
Kerajaan Maluka, merupakan kerajaan yang tidak terlalu berpamor. Tidak banyak orang yang mengetahui adanya kerajaan ini di Kalimantan, karen ahanya berumur 2 tahun.
 Kerajaan ini dipimpin oleh seorang Raja Putih yang bernama Alexander Hare, seorang petualang berbangsa Inggris. Pada mulanya, Hare pada tahun 1812 diberi suatu wilayah kekuasaan oleh Sultan Banjarmasin, dengan kedudukan sebagai residen. Namun tak lama memerintah, ia segera memperluas wilayah kekuasaannya, dengan membentuk koloni sendiri, yang bernama Maluka. Hare mencetak mata-uangnya sendiri sebagai mata uang yang sah untuk peredaran di wilayah Maluka, dan juga mendatangkan banyak tenaga kerja dari Jawa yang bekerja sebagai kuli-kuli di pertambangan batu bara. Setelah kejatuhan VOC pada tahun 1799, Belanda mulai “mengambil alih” daerah-daerah kekuasaan VOC di Indonesia. Dan pada tahun 1816, pemerintahan Hindia Belanda berhasil menghancurkan koloni Maluka, serta mengusir Hare dari wilayah kekuasaannya.

D.     Kerajaan-kerajaan di Sulawesi
a.      Kerajaan Buton (Abad 14)
Uang Kampua adalah uang yang dicetak oleh Kerajaan Buton. Uang ini sangat unik karena terbuat dari kain tenun. Uang Kampua merupakan satu-satunya jenis uang yang terbuat dari kain tenun yang pernah beredar di Indonesia.
Konon, Kampua pertamakali diperkenalkan oleh Ratu Buton II, Bulawambona (abad ke-14). Proses pembuatan dan peredaran Kampua, mandat sepenuhnya diserahkan kepada Menteri Besar atau yang disebut ‘Bonto Ogena’. Dialah yang akan melakukan pengawasan serta pencatatan atas setiap lembar kain Kampua, baik yang telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong. Pengawasan oleh ‘Bonto Ogena’ juga diperlukan agar tidak timbul pemalsuan-pemalsuan, sehingga hampir setiap tahunnya motif dan corak Kampua akan selalu dirubah-rubah.
Pada awal pembuatannya, standar yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu ‘bida’ (lembar) Kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Setelah Belanda mulai memasuki wilayah Buton kira-kira tahun 1851, fungsi Kampua sebagai alat tukar lambat laun mulai digantikan dengan uang-uang buatan VOC. Nantinya nilai tukar untuk 40 lembar Kampua sama dengan 10 Sen Tembaga, atau setiap 4 lembar Kampua hanya mempunyai nilai sebesar 1 Sen. Walaupun demikian, Kampua tetap digunakan pada desa-desa tertentu di Kepulauan Buton sampai dengan tahun 1940.

b.      Kerajaan Gowa (Abad 16)
Mata uang emas yang dibuat Kerajaan di Sulawesi Selatan di zaman Sultan Alauddin Awwalul Islam, disebut dengan “Dinara”. Nama Dinara ini sangat dipengaruhi oleh nama mata-uang kerajaan-kerajaan Islam. Sultan Alauddin Awwalul Islam (1593-1639 M), adalah Sultan Gowa pertama yang beralih ke agama Islam. Seiring berjalannya waktu, pelafalan dan bentuk  “Dinara” berubah menjadi “Jinggara”.
Sultan hasanuddin adalah Sultan generasi ke-3 kerajaan Gowa.  Sultan Hasanuddin memerintah pada periode 1653-1669 M. Dia bergelar “I Mallombasi Muhammad Bakir Dg Mattawang Krg. Bontomangape. Pada masa Sultan Hasanuddin, selain Jinggara, beredar pula uang dari bahan campuran timah dan tembaga, disebut Kupa.

Semoga Bermanfaat.
Marisa Wajdi!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha