UANG NUSANTARA MENURUT PULAU DI INDONESIA
Sebelum berdaulat menjadi suatu negara yang
diakui dunia, Indonesia masih berupa kerajaan-kerajaan yang terpisah-pisah. Interaksi
dengan bangsa lain membuat kerajaan-kerajaan di Nusantara kemudian
mengembangkan mata uangnya sendiri. Berikut ini ringkasan mata-uang di
Nusantara, yang dibagi berdasarkan letaknya.
A.
Kerajaan-kerajaan di Jawa
a.
Kerajaan Mataram Syailendra
Kerajaan Mataram terbagi dalam dua dinasti, Dinasti Sanjaya dan
Syailendra. Konon uang nusantara pertama kali dibuat pada masa Dinasti
Syailendra (850/860 M). Pecahan terbesar uang Kerajaan Mataram Syailendra
dinamakan Masa (disingkat Ma).
b.
Kerajaan Daha dan Jenggala
Mata uang kerajaan Daha dan Jenggala dinamai Krishnala. Mata uang emas
ini merupakan variasi dari Ma. Perbedaan mendasar antara Ma dan Krishnala adalah
bentuk dan desainya. Ma di zaman Kerajaan Mataram Syailendra belum berbentuk
bulat seperti halnya Krishnala, namun beratnya mengikuti standar Ma.
c. Kerajaan
Majapahit
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan besar di Asia Tenggara, sehingga
uang Ma (yang telah berbeda bentuknya dari Ma aslinya) lebih dikenal sebagai
uang Majapahit. Selain Ma Majapahit, abad ke-13 koin Kepeng Chien dinyatakan sebagai
alat tukar resmi dalam perdagangan. Selengkapnya tentang mata uang
kerajaan Mataram, Daha/Jenggala dan Majapahit dapat Anda simak dalam Uang
Nusantara pada zaman Kerajaan Hindu-Budha (850-1300 M)
d. Kesultanan
Banten (Abad ke-15)
Mata-uang dari Kesultanan Banten pertama kali dibuat sekitar
1550-1596 Masehi. Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin Cina yaitu dengan
lubang berbentuk heksagonal di tengahnya. Uang koin ini dinamai Kasha. Inskripsi pada bagian muka pada
mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun setelah mengakarnya agama
Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing
Banten”. Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh
Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, seperti yang
ditemukan pada akhir-akhir ini.
e. Kesultanan
Cirebon (1710 M)
Mata-uang dari Kesultanan Cirebon dibuat sekitar tahun 1710/1760, yaitu saat
Sultan Sepuh berkuasa. Koin Cirebon tersebut terbuat dari bahan timah yang tipis
dengan lubang ditengah. Pada bagian muka
tertulis inskripsi : “Cheribon”. Inskripsi tersebut tertulis melingkar
disekitar lubang koin. Sultan Sepuh mempercayakan seorang Cina untuk membuat
koin Cirebon tersebut, tak heran jika bentuknya sangat dipengaruhi bentuk koin
Cina. Koin ini dinamakan “Picis”.
Namun Picis ini memiliki kekurangan, ia
mudah pecah karena terlalu tipis.
f.
Kesultanan Sumenep (1730 M)
Berbeda dengan koin-koin Banten dan Cirebon, Kesultanan Sumenep di Pulau
Madura tidak mencetak mata-uangnya sendiri. Mata uangnya diambil dari koin-koin
asing (diluar Sumenep), yang kemudian diberi cap bertulisan Arab
berbunyi ‘sumanap’ sebagai tanda pengesahan. Metode pencetakan uang Sumenep
adalah ‘countermarked” atau cetak tindih. Koin-koin
yang digunakan adalah koin-koin Austria, Belanda, Java Rupee, Mexico (Real
Bundar) dan (Real Batu/Cob), dll. Uang kerajaan Sumenep yang
berasal dari uang Spanyol disebut juga Real
Batu karena bentuknya yang tidak beraturan. Dulunya uang perak ini banyak
beredar di Mexico yang kemudian beredar juga di Filipina (jajahan Spanyol). Di
negeri asalnya uang Mi bernilai 8 Reales. Selain uang Real Mexico, kerajaan Sumenep juga
memanfaatkan uang Gulden Belanda dan
uang Thaler Austria. Sedangkan jenis cetak tindih yang
dipakai, diantaranya “Bintang Madura”, dengan tulisan Arab “Sumenep”, atau “cap
dengan lima kelopak daun”. Koin-koin dengan cetak tindih ini dibuat pada saat
bertahtanya Sultan Paku Nata Ningrat (1811-1854)..
B.
Kerajaan-kerajaan di Sumatera
a.
Kerajaan Samudra Pasai (1297
M) dan Kerajaan Aceh (1524-1699 M)
Mata uang emas dari
Kerajaan Samudra Pasai untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang
berkuasa sekitar 1297-1326. Mata uangnya disebut Dirham atau Mas, dan
mempunyai standar berat 0,60 gram (berat standar Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0,30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Dirham Pasai
mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan yang 1/2 Dirham berdiameter
6 mm. Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik
az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.
Setelah Pasai berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh pada tahun 1524, sultan-sultan Aceh tetap mengikuti tradisi dari kerajaan Pasai dalam pembuatan mata-uangnya. Namun dibandingkan Dirham Pasai, uang diameter Dirham Aceh lebih besar, antara 12 – 14 mm. Pada bagian belakangnya terdapat tulisan Arab “as-Sultan al-adil”, yang artinya Sultan yang adil. Selain Dirham, Aceh juga membuat mata-uang dari timah/timbal, yang disebut “Keueh”. 1 Dirham sama dengan 400 Keueh.
Kerajaan Aceh pernah memiliki
empat Ratu yang memerintah secara berturut selama 60 tahun, dari 1641-1699. Setiap
Ratu Aceh juga mencetak mata-uangnya masing-masing. Keempat ratu tersebut
adalah:
i.
Sultanah Safiat ad-Din, (1641-1675);
ii.
Sultanah Nur al-Alam Naqiat ad-Din Syah(1675-1678);
iii.
Sultanah Inayat Syah Zakiat ad-Din Syah (1678-1688);
iv.
Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).
b.
Kerajaan Palembang
Ada dua jenis mata-uang dari Kerajaan
Palembang, yaitu “Picis Tebok” dan dengan
“Picis Buntu”. Tebok dalam dialek
Palembang berarti “lubang”, ini untuk membedakan uang picis yang berlubang dan
yang tidak berlubang. Selain dari bentuknya, Picis Palembang bisa dibedakan dari ada atau tidaknya cetakan tahun.
Semua mata uangnya terbuat dari timah, kecuali koin yang bertahun AH 1198
(tahun 1774/75 M), ada terbuat dari tembaga merah dan dari timah.
c.
Kerajaan Jambi
Seperti halnya Palembang, Kerajaan
Jambi juga membuat mata-uang picis dari timah. Salah satu koinnya
ada yang berbentuk oktagonal (segi 8), dengan tulisan nama Sultan yang
memerintah saat itu: “Sultan Anom Sri Ingalaga”. Sultan Anom Sri Ingalaga mulai memerintah di
tahun 1743 M.
C.
Kerajaan-kerajaan di Kalimantan
a. Kesultanan Pontianak
Kesultanan Pontianak didirikan pada tahun 1770 M, oleh seorang pedagang
keturunan Arab yang bernama Abdul Rahman Alkadrie. Periode pencetakan koin-koin
dari kesultanan di Kalimantan Barat ini berkisar tahun 1790-1817.
b. Kesultanan Banjarmasin
Koin-koin dari Kesultanan Banjarmasin pada umumnya merupakan imitasi dari
koin-koin VOC, yang dicetak sewaktu bertahtanya Sultan Tamjid Illah III
(1785-1808). Koin-koinnya mempunyai lambang VOC, dan bertahun AH 1221.
c. Kerajaan Maluka.
Kerajaan Maluka, merupakan
kerajaan yang tidak terlalu berpamor. Tidak banyak orang yang mengetahui adanya
kerajaan ini di Kalimantan, karen ahanya berumur 2 tahun.
Kerajaan ini dipimpin oleh seorang Raja Putih
yang bernama Alexander Hare, seorang petualang berbangsa Inggris. Pada mulanya,
Hare pada tahun 1812 diberi suatu wilayah kekuasaan oleh Sultan Banjarmasin,
dengan kedudukan sebagai residen. Namun tak lama memerintah, ia segera
memperluas wilayah kekuasaannya, dengan membentuk koloni sendiri, yang bernama
Maluka. Hare mencetak mata-uangnya sendiri sebagai mata uang yang sah untuk
peredaran di wilayah Maluka, dan juga mendatangkan banyak tenaga kerja dari
Jawa yang bekerja sebagai kuli-kuli di pertambangan batu bara. Setelah
kejatuhan VOC pada tahun 1799, Belanda mulai “mengambil alih” daerah-daerah
kekuasaan VOC di Indonesia. Dan pada tahun 1816, pemerintahan Hindia Belanda
berhasil menghancurkan koloni Maluka, serta mengusir Hare dari wilayah
kekuasaannya.
D.
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi
a.
Kerajaan Buton (Abad 14)
Uang
Kampua adalah uang yang dicetak oleh
Kerajaan Buton. Uang ini sangat unik karena terbuat dari kain
tenun. Uang Kampua merupakan
satu-satunya jenis uang yang terbuat dari kain tenun yang pernah beredar di
Indonesia.
Konon, Kampua pertamakali diperkenalkan oleh Ratu
Buton II, Bulawambona (abad ke-14). Proses pembuatan dan peredaran
Kampua, mandat sepenuhnya diserahkan kepada Menteri Besar atau yang disebut
‘Bonto Ogena’. Dialah yang akan melakukan pengawasan serta pencatatan atas
setiap lembar kain Kampua, baik yang
telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong. Pengawasan oleh ‘Bonto
Ogena’ juga diperlukan agar tidak timbul pemalsuan-pemalsuan, sehingga hampir
setiap tahunnya motif dan corak Kampua akan selalu dirubah-rubah.
Pada awal pembuatannya, standar
yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu ‘bida’ (lembar) Kampua adalah sama dengan nilai satu
butir telur ayam. Setelah Belanda mulai memasuki wilayah Buton kira-kira tahun
1851, fungsi Kampua sebagai alat
tukar lambat laun mulai digantikan dengan uang-uang buatan VOC. Nantinya nilai
tukar untuk 40 lembar Kampua sama
dengan 10 Sen Tembaga, atau setiap 4
lembar Kampua hanya mempunyai nilai
sebesar 1 Sen. Walaupun demikian,
Kampua tetap digunakan pada desa-desa tertentu di Kepulauan Buton sampai dengan
tahun 1940.
b.
Kerajaan Gowa (Abad 16)
Mata uang emas yang dibuat Kerajaan
di Sulawesi Selatan di zaman Sultan Alauddin Awwalul Islam, disebut dengan
“Dinara”. Nama Dinara ini sangat dipengaruhi oleh nama mata-uang kerajaan-kerajaan
Islam. Sultan Alauddin Awwalul Islam (1593-1639 M), adalah Sultan Gowa pertama
yang beralih ke agama Islam. Seiring berjalannya waktu, pelafalan dan bentuk “Dinara”
berubah menjadi “Jinggara”.
Sultan hasanuddin adalah Sultan
generasi ke-3 kerajaan Gowa. Sultan
Hasanuddin memerintah pada periode 1653-1669 M. Dia bergelar “I Mallombasi
Muhammad Bakir Dg Mattawang Krg. Bontomangape. Pada masa Sultan Hasanuddin,
selain Jinggara, beredar pula uang dari bahan campuran timah dan
tembaga, disebut Kupa.
Semoga Bermanfaat.
Marisa Wajdi!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha