Kasus Moneter Inggris di Masa Margareth Teacher
Teori monetarisme menyatakan
bahwa supply uang dalam perekonomian
mempengaruhi harga, output dan tenaga kerja. Terlalu banyaknya jumlah uang yang
beredar di masyarakat akan mengakibatkan terjadinya inflasi.
Masalah inflasi ini
juga dialami oleh Inggris di akhir tahun 1970-an, dimana tingkat inflasinya
mencapai angka 4%. Masalah ini mengantarkan Inggris pada permasalahan ekonomi
yang serius (Brown, 1995: 72). Ekonomi Inggris yang bermasalah tersebut memaksa
Margaret Thatcher, perdana menteri Inggris, memilih bentuk pasar bebas dan kewirausahaan
sebagai solusi untuk hal ini. Dalam penerapan kebijakan Tacher, monetaris mengajukan
alternatif sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah di Inggris saat itu. Karena
sumber masalah inflasi adalah jumlah uang beredar yang berlebihan, maka solusi
harus berkaitan dengan mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Adapun
cara dalam menarik uang dari masyarakat dapat dilakukan lewat empat langkah
strategis seperti berikut ini:
1. meningkatkan suku bunga. Peningkatan
suku bunga akan menstimulus masyarakat untuk mengalokasikan uangnya ke tabungan
(saving)(Brown, 1995: 74)
2. mengurangi pengeluaran pemerintah
(Brown, 1995: 74)
3. dengan sengaja menciptakan pengangguran
agar perusahaan dapat menghindari permintaan gaji (Brown, 1995: 75)
4. usaha perkembangan dengan meningkatkan
permintaan barang dan jasa pada sektor swasta, dengan catatan yaitu ketika
keadaan ekonomi mulai pulih (Brown, 1995: 75).
Penerapan langkah
strategis diatas ternyata berhasil dengan memuaskan. Model monetaris tersebut
menciptakan respon positif dari para pekerja. Dengan sisi individualisme yang
sengaja dimunculkan, pekerja menjadi berinisiatif dalam bisnis, mencari
pekerjaan, melakukan pengembangan diri dan menumbuhkan ‘kebijakan pribadi’
dalam penggunaan uang (Brown, 1995: 77).
Namun keberhasilan
model monetaris ini bukan tanpa kelemahan. Menurut Brown, kelemahan utama
monetarisme adalah anggapan bahwa penyebab inflasi hanya pasokan uang yang
berlebih. Padahal, ada beberapa penyebab lain, yang seakan dilupakan, misalnya
harga impor, suku pajak, dan suku bunga (Brown, 1995: 83).
Brown (1995: 79-81) menemukan
fakta hasil penerapan kebijakan Tacher tersebut. Fakta tersebut adalah:
1. Inggris mencoba mengurangi pinjaman
sektor publik dengan meningkatkan suku bunga. Tahun pertama bunga pinjaman yang
dikenakan adalah 17%, sedangkan tahun kedua turun menjadi 16%.
2. Tingginya suku bunga mengakibatkan
tumbangnya perusahaan-perusahaan yang bergantung pada utang. Akibatnya angka pengangguran
semakin besar. Namun, pengurangan jumlah tenaga kerja ini justru menghasilkan
peningkatan produktivitas.
3. Tahun 1983 inflasi pulih hingga dibawah
5%, namun psikologis politik akibat mundurnya Margaret Thatcher di tahun 1990
mengakibatkan defisit ekspor-impor dari industri non-pemerintah dalam jangka
waktu 5 tahun sejak 1988.
4. Untuk merespon defisit ekspor impor,
bermunculanlah perusahaan multinasional yang bermain dengan perbedaan mata uang
antar negara. Akibat dari ulah mereka Inggris mengambil langkah devaluasi mata
uang. Dengan devaluasi mata uang tersebut kemudian ekspor Inggris menjadi lebih
kompetitif. Hal ini tercermin dari cara Inggris mempertahankan nilai
pounsterling dalam angka tinggi di internasional (Brown, 1995: 85)
Satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa model monetaris ini tidak dapat sepenuhnya berhasil
jika hanya diterapkan di satu negara saja. Atas pertimbangan demikian, maka
langkah strategis Inggris adalah menawarkan ide itu pada mitra di Uni Eropa pada
tahun 1993. Dari paparan singkat ini terlihat bahwa kebijakan perekonomian
suatu negara sangat bergantung dengan perekonomian negara lainnya. Tak terkecuali
Inggris, negara core dalam
perekonomian dunia.
Refernsi:
Brown, Michael B.
1995. “The Monetarist Model”, dalam Model in Political Economy.
London: Penguin
Semoga bermanfaat
Marisa Wajdi!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha