Jumat, 22 Februari 2013

Gagalnya Bretton Woods System dalam Mengatasi Perekonomian Dunia


Kenapa Dollar Amerika Serikat yang Dijadikan Mata Uang Konversi Utama Terhadap Emas?

Sejarah ekonomi dunia mencatat  Bretton Woods System sebagai ‘perdamaian ekonomi dunia’. BRETTON WOODS SYSTEM menjadikan Amerika dan sekutunya menjadi hegemoni di dalam ekonomi dan keuangan internasional. Bretton Woods System dimaksudkan untuk memperbaiki sistem perekonomian dunia yang jatuh akibat PD II dan great depression.
Mengapa US$ Amerika Serikat (US$) dipercaya mata uang konversi utama terhadap nilai emas? Karena, pada masa pasca Perang Dunia II (PD II), hanya Amerika Serikat yang kondisi perekonomiannya stabil dan selalu mengalami peningkatan pendapatan dari tahun ke tahun. Oleh karenanya, US$ Amerika Serikat dipercaya sebagai mata uang konversi utama terhadap nilai emas. Karena US$ menjadi konversi utama terhadap emas maka US$ menjadi penyangga utama, dan satu-satunya, keseimbangan perekonomian internasional (Van Dormael, 1978). Sayangnya, sistem ini tidak bretahan lama, Bretton Woods System mati pada tahun 1970-an. AS terpaksa ‘menutup’ Bretton Woods System karena karena tidak lagi mampu menjadi penyangga bagi sistem mereka sendiri.
Di AS sendiri terjadi ‘percekcokan antara Ketua Federal Reserve Board dan Presiden-nya. Burns, Ketua Federal Reserve Board menginginkan penanganan yang lebih di dalam mengkontrol inflasi. Sementara Nixon, Presiden AS, menginginkan ekonomi yang slow-down. Hingg aterjadilah peristiwa yang dikenal sebagai ‘Nixon Shock’. Tanggal 15 Agustus 1971, Nixon mengumumkan penghentian konversi US$ terhadap emas. Akibatnya pada bulan-bulan berikutnya US$ anjlok hingga 10%. Presiden Nixon membatalkan secara sepihak mengenai kesepakatan US$ sebagai mata uang konversi utama terhadap nilai emas. Inilah titik era berakhirnya Bretton Woods System sebagai sistem nilai tukar internasional. Sebagaimana yang sudah saya jelaskan, Bretton Woods System merupakan kesepakatan ekonomi antara 44 negara. Dengan pemutusan sepihak oleh AS, maka tidak hanya AS yang akan merasakan dampaknya karena mata uang negara lain menjangkarkan ‘diri’ terhadap US$.

Gagalnya Dollar Amerika Serikat Bertahan Untuk BRETTON WOODS SYSTEM

Robert Triffin (1960) pernah mengungkapkan spekulasi akan jatuhnya Bretton Woods System. Triffin menyatakan bahwa di dalam sebuah sistem dengan US$ sebagai central reserve currency, maka likuiditas internasional dapat disebar hanya ketika Amerika Serikat menyediakan lebih banyak US$ dengan cara menjalankan BOP yang defisit. Namun, jika hal tersebut dilakukan akan semakin meningkatkan resiko terjadinya pelemahan dolar terhadap emas (Triffin, 1960). Pada pertengahan tahun 1960, kurs dolar Amerika tumbuh lebih besar daripada cadangan emas yang disediakan Amerika untuk mem-back-up hal tersebut. Di satu sisi, hal tersebut menjadi keuntungan bagi Amerika karena Amerika memiliki alasan untuk mencetak lebih banyak US$. Namun di sisi lain, Amerika sama saja dengan mengekspor inflasi karena telah membanjiri dunia dengan US$ mereka. Hal ini bisa memicu krisis karena jika pada saat yang bersamaan para pemegang US$ ingin mengkonversikan US$ terhadap emas, Amerika Serikat tidak akan sanggup memenuhi permintaan. Ditambah lagi dengan keengganan dari pemerintah negara lain untuk melakukan penyesuaian kurs mereka. Beberapa negara menyetujui untuk tidak mekonversikan reserve mereka terhadap emas seperti Jerman dan Jepang, namun negara lain seperti Prancis, menolak melakukan hal tersebut (Kirshner, 1995).
Tekanan terhadap Amerika semakin menguat, seperti yang dilakukan oleh spekulator, mereka menyatakan bahwa Amerika bisa memilih satu di antara keputusan berikut: cut back pencetakan US$ atau mengakhiri sistem yang mereka bangun. (Helleiner, 1994). Pada akhirnya, Amerika Serikat mengambil keputusan yang kedua (Gowa, 1983). Akhir dari sistem ini juga disinyalir sebagai akhir dari kepemimpinan hegemoni Amerika yang ‘benevolent’. Pendapat lain menyatakan Amerika Serikat masih menjadi bagian penting dalam ranah ekonomi dan keuangan internasional, yang berubah adalah kepentingan Amerika Serikat. Mereka berasumsi bahwa pembuat kebijakan di Amerika Serikat mengeksploitasi posisi mereka sebagai kekuatan yang mendominasi (Helleiner, 1994) Di dalam artikel, Frieden mengilustrasikan bahwa permasalahan genting yang dihadapi oleh Amerika Serikat dalam mempertahankan sistem Bretton Woods pada saat itu adalah masalah yang bersifat overseas. Sebagai contoh adalah Britania Raya yang meminta Amerika Serikat meng-cover tiga milliar US$. Pemerintah Amerika Serikat bisa saja melindungi US$ namun jika hal itu sampai dilakukan, pemerintah harus siap untuk melakukan beberapa kebijakan seperti meningkatkan tingkat suku bunga, memotong pengeluaran, menahan laba dan gaji, serta menyebabkan prekonomian mengalami resesi. Permasalahan juga terjadi dalam bidang perdagangan, harga di negara Amerika Serikat mengalami peningkatan sehingga pembelian produksi Amerika menurun. Singkat kata, impor berkembang pesat jika dibandingkan dengan ekspor. Perbedaan penanganan permasalahan juga terjadi di dalam pemerintahan.
Pada awal 1960-an, nilai tetap dolar AS masih berada dalam standar emas, walaupun di bawah sistem Bretton Woods sebagai nilai tukar tetap masih dipandang terlalu tinggi. Peningkatan pengeluaran domestik Presiden Lyndon Johnson yang cukup besar dalam program Great Society dan peningkatan pengeluaran militer yang disebabkan oleh Perang Vietnam secara bertahap memperburuk stabilitas emas dan US$ saat itu. Sistem ini mulai mengalami penurunan antara 1968 dan 1973. Pada bulan Agustus 1971, Presiden AS Richard Nixon mengumumkan sistem konvertibilitas dolar menjadi emas yang “digantung” untuk sementara. Pada bulan Maret 1973, nilai tukar US$ sulit sekali untuk menyesuaikan dengan sistem fixed change rate-nya terhadap emas. Selain banyaknya uang yang beredar akibat kekalahan yang harus ditanggung AS akibat Perang Vietnam, keruntuhan Bretton Woods System juga saling berhubungan naiknya harga minyak saat itu.
Setelah keruntuhan sistem Bretton Woods, sistem ekonomi internasional diganti menjadi floating exchange rate system yang merupakan gagasan utama Susan Strange dan François Perroux. Pada dasarnya mereka mengutamakan kekuatan finansial sebagai komponen utama penyangga struktur kekuatan baik negara maupun intenasional (Sandretto dan Perroux, 2009). Oleh karenanya, pemikiran mereka selalu berbasis pada stabilisasi ekonomi. Floating exchange rate systemsecara umum diartikan sebagai sistem perhitungan nilai tukar mata uang masing-masing negara dimana didasarkan pada mekanisme pasar valuta asing. Sistem ini murni berdasarkan pada jumlah permintaan dan penawaran.
Menurut Strange, floating exchange rate system adalah yang paling ideal dalam mencapai stabilitas ekonomi secara internasional. Hal ini dikarenakan kecil kemungkinan bagi suatu negara untuk mendominasi maupun menguasai perekonomian dunia. Bahkan suatu negara tidak dapat mengendalikan nilai mata uangnya sendiri dalam pasar valuta asing. Dengan sistem ini, negara dapat meningkatkan volatilitas devisanya. Namun pada beberapa negara, khususnya negara berkembang, sistem ini justru mendatangkan masalah. Hal ini dikarenakan apabila nilai mata uang suatu negara lebih rendah daripada US$ ataupun mata uang negara lain, sedangkan liabilitas negara tersebut menggunakan US$ atau mata uang asing dan aset negara dalam bentuk mata uang lokal, maka yang terjadi justru instabilitas finansial domestik. Namun kenyataannya hal tersebut tidak menjadi kendala bagi berlangsungnya sistem ini.
Masalah utama dalam floating exchange rate system ini bukan mengenai apa saja keuntungan dan kelebihan dari sistem tersebut, namun apa yang menjadi tolak ukur mekanisme pasar valuta asing. Jika Susan Strange mengatakan bahwa tolak ukur perhitungan nilai suatu mata uang dalam floating exchange rate systemadalah berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran mata uang tersebut, dapat dipertanyakan terhadap apakah permintaan dan penawaran tersebut? Sebab dalam pasar tidak mungkin salah satu unsur berdiri sendiri, karena pasti ada barang yang menjadi pembandingnya. Seperti istilah “ada uang, ada barang”, dalam pasar pun berlaku sistem yang serupa. Jika ada suatu barang yang dijual, pasti ada harga untuk barang tersebut. Hal tersebut juga berlaku dalam pasar valuta asing, jika ada komoditas yang diperdagangkan pasti ada timbal baik yang senilai. Oleh karenanya, jika mata uang tersebut dijual pasti ada mata uang lain sebagai pembanding.
Mata uang pembanding yang dimaksud dalam pasar valuta asing adalah US$ Amerika, yang terlihat dari dua hal. Yang pertama adalah stabilitas nilai US$ terhadap mata uang yang lain. Kisaran nilai US$ terhadap berbagai mata uang negara lain tidak akan berubah secara signifikan. Yang kedua adalah mekanisme penghitungan kurs jual dan kurs beli dalam nilai tukar mata uang antar negara non-US$. Misalnya nilai Rupiah (Indonesia) terhadap Yen (Jepang). Misalnya pada saat ini nilai jual Rupiah terhadap US$ Amerika adalah Rp 9.000 untuk setiap US$, dan nilai jual Rupiah terhadap Yen Jepang adalah Rp 75 untuk setiap yen. Maka maka nilai beli Yen Jepang terhadap US$ adalah ¥ 120 untuk setiap US$. Sebaliknya untuk kurs beli pun juga sama. Jika nilai beli Rupiah terhadap US$ Amerika adalah Rp 8800 untuk setiap US$, dan nilai beli Rupiah terhadap Yen Jepang adalah Rp 72 untuk setiap yen. Maka maka nilai beli Yen Jepang terhadap US$ adalah ¥ 121 untuk setiap US$. Dari perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa nilai mata uang yang diperhitungkan dalam pasar valuta asing adalah nilai mata uang negara tersebut terhadap US$ Amerika.

Pasca Runtuhnya BRETTON WOODS SYSTEM

Sejak runtuhnya Bretton Woods System, anggota IMF telah bebas untuk memilih segala bentuk pengaturan pertukaran yang mereka inginkan (kecuali mengelompokkan mata uang mereka dengan emas), memungkinkan mata uang mengambang bebas, mengelompokkan ke mata uang lain (basket currencies), mengadopsi mata uang negara lain, berpartisipasi dalam blok mata uang, atau membentuk bagian dari serikat moneter. Banyak yang takut bahwa keruntuhan sistem Bretton Woods akan membawa masa pertumbuhan pesat berakhir. Pada kenyataannya, transisi nilai tukar mengambang (floating exchange rate) relatif lancar. Kurs fleksibel membuat lebih mudah bagi ekonomi untuk menyesuaikan diri dengan naiknya harga minyak secara tiba-tiba pada bulan Oktober 1973. Kurs mengambang telah memfasilitasi penyesuaian sejak guncangan eksternal. IMF menanggapi tantangan yang diciptakan oleh guncangan harga minyak 1970-an oleh instrumen pinjaman pengadaptasi nya. Untuk membantu mengatasi importir minyak dengan mengantisipasi defisit transaksi berjalan dan inflasi dalam menghadapi harga minyak yang lebih tinggi, IMF mendirikan dua fasilitas minyak pertama di dunia. Dari pertengahan 1970-an, IMF berusaha untuk menanggapi kesulitan neraca pembayaran banyak dihadapi negara termiskin di dunia dengan menyediakan pembiayaan lunak melalui apa yang dikenal sebagai Trust Fund. Pada bulan Maret 1986, IMF membuat program pinjaman konsesi baru disebut Fasilitas Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Facility). SAF digantikan oleh Enhanced Structural Adjustment Facility pada bulan Desember 1987[1].
Pada tahun 1976, IMF menghasilkan Second Amandement yang berisi, kurs devisa, surveillance, special drawing right (SDR), dan emas[2]. IMF masih berpengaruh dalam sistem finansial dan moneter sampai sekarang, di mana banyak terdapat perubahan. Beberapa fasilitas kredit yang diberikan oleh IMF kepada anggotanya adalah Standby Arrangements, The Compensatory Financing Facility, The Extended Fund Facility, The Trust Fund, The Supplementary Financing Facility, dan The Buffer Stock Facility[3]. Dalam melakukan pembayaran transaksi ekonomi luar negeri, di mana sangat marak di era globalisasi, dapat digunakan beberapa cara, yaitu Cash, Open Account,Commercial Bill of Exchange, Letter of Credit L/C, Private Compensation[4].
Pertama, Cash, yaitu pembayaran dilakukan dengan menggunakan check/cheque atau bank draft, pada saat barang dikirim oleh eksportir atau sebelumnya. Cara ini sangat baik bagi eksportir yang keadaan keuangannya lemah dan belum kenal baik dengan importir. Kedua, Open Account, merupakan kebalikan dari cara cash, yaitu pembayaran dilakukan setelah beberapa waktu atau kebijaksanaan importir setelah barang dikirim kepada importir tanpa surat perintah pembayaran serta dokumen-dokumen[5]. Ketiga, Commercial Bill of Exchange, merupakan cara yang paling umum dipakai dan sering disebut draftatau trade bills, yaitu surat yang ditulis oleh penjual yang berisi perintah kepada pembeli untuk membayar sejumlah uang tertentu pada waktu tertentu di masa datang, yang biasanya disebut trade drafts. Jenis draft terdiri dari; clean draftdan documentary draft. Keempat, Letter of Credit L/C, adalah suatu surat yang dikeluarkan oleh bank atas permintaan pembeli barang (importir) dimana bank tersebut yang menyetujui dan membayar wesel yang ditarik oleh penjual barang (eksportir). Dengan demikian L/C merupakan suatu alat pengganti kredit bank dan dapat menjamin pembayaran bagi eksportir. Pihak yang terkait dalam L/Cadalah Opener (importir), Issuer (bank yang mengeluarkan L/C), Beneficiary atau penjual (eksportir), dan dalam prakteknya ada satu pihak lagi yaitu Confirming Bank, yaitu bank di negara eksportir. Kelima, Private Compensation, adalah penyelesaian pembayaran dengan kompensasi utang piutang tanpa perpindahan mata uang ke negara lain.
 Referensi:
Dipetik pada tanggal 6 Juni 2011, dari:http://www.imf.org/external/about/histend.htm
Cohen, Benjamin. (n.d.). Bretton Woods System. Dipetik pada tanggal 6 Juni 2011, dari Routledge Encyclopedia of International Political Economy:http://www.polsci.ucsb.edu/faculty/cohen/inpress/bretton.html
Gowa, Joanne. (1983). Closing the Gold Window: Domestic Politics and the End of Bretton Woods. Ithaca, New York: Cornell University Press.
Helleiner, E. (1994). States and The Re-emergence of Global Finance: From Bretton Woods to The 1990s. Ithaca, New York: Cornell University Price.
Kirshner, Jonathan. (1995). Currency and Coercion: The Political Economy of International Monetary Power. New Jersey: Princeton.
Sandretto, René dan Perroux, François. (2009). A Precursor Of The Current Analyses Of Power.
Strange, Susan. (1986). Casino Capitalism. Oxford: Basil Blackwell.
Triffin, Robert. (1960). Gold and The US$ Crisis: The Future of Convertibility. New Haven: Yale University Press.

Van Dormael, A. (1978). Bretton Woods: Birth of A Monetary System. London: MacMillan.


[1] www.imf.org
[2] id.shvoong.com
[3] elearning.gunadarma.ac.id
[4] id.shvoong.com
[5] Ibid.
Semoga bermanfaat.
Marisa Wajdi!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha