Kenapa Dollar Amerika Serikat yang Dijadikan Mata Uang Konversi Utama Terhadap Emas?
Sejarah ekonomi dunia mencatat Bretton Woods
System sebagai ‘perdamaian
ekonomi dunia’. BRETTON WOODS SYSTEM menjadikan Amerika dan
sekutunya menjadi hegemoni di dalam
ekonomi dan keuangan internasional. Bretton Woods
System dimaksudkan untuk memperbaiki sistem perekonomian dunia yang
jatuh akibat PD II dan great depression.
Mengapa US$ Amerika Serikat (US$) dipercaya mata uang konversi utama
terhadap nilai emas? Karena, pada masa pasca Perang Dunia II (PD II), hanya
Amerika Serikat yang kondisi perekonomiannya stabil dan selalu mengalami
peningkatan pendapatan dari tahun ke tahun. Oleh karenanya, US$ Amerika Serikat
dipercaya sebagai mata uang konversi utama terhadap nilai emas. Karena US$
menjadi konversi utama terhadap emas maka US$ menjadi penyangga utama, dan
satu-satunya, keseimbangan perekonomian internasional (Van Dormael, 1978). Sayangnya,
sistem ini tidak bretahan lama, Bretton
Woods System mati pada tahun 1970-an. AS terpaksa ‘menutup’ Bretton Woods System karena karena tidak
lagi mampu menjadi penyangga bagi sistem mereka sendiri.
Di AS sendiri terjadi ‘percekcokan
antara Ketua Federal Reserve
Board dan Presiden-nya.
Burns, Ketua Federal Reserve
Board menginginkan penanganan yang lebih di dalam mengkontrol
inflasi. Sementara Nixon, Presiden AS, menginginkan ekonomi yang slow-down. Hingg aterjadilah peristiwa yang dikenal sebagai
‘Nixon Shock’. Tanggal 15 Agustus
1971, Nixon mengumumkan penghentian konversi US$ terhadap emas. Akibatnya pada
bulan-bulan berikutnya US$ anjlok hingga 10%. Presiden Nixon membatalkan secara
sepihak mengenai kesepakatan US$ sebagai mata uang konversi utama terhadap
nilai emas. Inilah titik era berakhirnya Bretton Woods System sebagai sistem
nilai tukar internasional. Sebagaimana yang sudah saya jelaskan, Bretton Woods System merupakan
kesepakatan ekonomi antara 44 negara. Dengan pemutusan sepihak oleh AS, maka tidak
hanya AS yang akan merasakan dampaknya karena mata uang negara lain
menjangkarkan ‘diri’ terhadap US$.
Gagalnya Dollar Amerika Serikat Bertahan Untuk BRETTON WOODS SYSTEM
Robert Triffin (1960) pernah mengungkapkan spekulasi akan jatuhnya Bretton Woods System. Triffin
menyatakan bahwa di dalam sebuah sistem dengan US$ sebagai central reserve currency, maka likuiditas internasional
dapat disebar hanya ketika Amerika Serikat menyediakan lebih banyak US$ dengan
cara menjalankan BOP yang defisit. Namun, jika hal tersebut dilakukan akan
semakin meningkatkan resiko terjadinya pelemahan dolar terhadap emas (Triffin,
1960). Pada pertengahan tahun 1960, kurs dolar Amerika tumbuh lebih besar
daripada cadangan emas yang disediakan Amerika untuk mem-back-up hal tersebut. Di satu sisi, hal
tersebut menjadi keuntungan bagi Amerika karena Amerika memiliki alasan untuk
mencetak lebih banyak US$. Namun di sisi lain, Amerika sama saja dengan
mengekspor inflasi karena telah membanjiri dunia dengan US$ mereka. Hal ini
bisa memicu krisis karena jika pada saat yang bersamaan para pemegang US$ ingin
mengkonversikan US$ terhadap emas, Amerika Serikat tidak akan sanggup memenuhi
permintaan. Ditambah lagi dengan keengganan dari pemerintah negara lain untuk
melakukan penyesuaian kurs mereka. Beberapa negara menyetujui untuk tidak
mekonversikan reserve mereka terhadap emas seperti Jerman
dan Jepang, namun negara lain seperti Prancis, menolak melakukan hal tersebut
(Kirshner, 1995).
Tekanan terhadap Amerika semakin
menguat, seperti yang dilakukan oleh spekulator, mereka menyatakan bahwa
Amerika bisa memilih satu di antara keputusan berikut: cut back pencetakan
US$ atau mengakhiri sistem yang mereka bangun. (Helleiner, 1994). Pada
akhirnya, Amerika Serikat mengambil keputusan yang kedua (Gowa, 1983). Akhir
dari sistem ini juga disinyalir sebagai akhir dari kepemimpinan hegemoni
Amerika yang ‘benevolent’. Pendapat lain menyatakan
Amerika Serikat masih menjadi bagian penting dalam ranah ekonomi dan keuangan
internasional, yang berubah adalah kepentingan Amerika Serikat. Mereka
berasumsi bahwa pembuat kebijakan di Amerika Serikat mengeksploitasi posisi
mereka sebagai kekuatan yang mendominasi (Helleiner, 1994) Di dalam artikel,
Frieden mengilustrasikan bahwa permasalahan genting yang dihadapi oleh Amerika
Serikat dalam mempertahankan sistem Bretton Woods pada saat itu adalah masalah yang
bersifat overseas.
Sebagai contoh adalah Britania Raya yang meminta Amerika Serikat meng-cover tiga milliar US$. Pemerintah Amerika
Serikat bisa saja melindungi US$ namun jika hal itu sampai dilakukan,
pemerintah harus siap untuk melakukan beberapa kebijakan seperti meningkatkan
tingkat suku bunga, memotong pengeluaran, menahan laba dan gaji, serta
menyebabkan prekonomian mengalami resesi. Permasalahan juga terjadi dalam
bidang perdagangan, harga di negara Amerika Serikat mengalami peningkatan
sehingga pembelian produksi Amerika menurun. Singkat kata, impor berkembang
pesat jika dibandingkan dengan ekspor. Perbedaan penanganan permasalahan juga
terjadi di dalam pemerintahan.
Pada awal 1960-an, nilai tetap dolar
AS masih berada dalam standar emas, walaupun di bawah sistem Bretton Woods
sebagai nilai tukar tetap masih dipandang terlalu tinggi. Peningkatan
pengeluaran domestik Presiden Lyndon Johnson yang cukup besar dalam program Great Society dan
peningkatan pengeluaran militer yang disebabkan oleh Perang Vietnam secara
bertahap memperburuk stabilitas emas dan US$ saat itu. Sistem ini mulai
mengalami penurunan antara 1968 dan 1973. Pada bulan Agustus 1971, Presiden AS
Richard Nixon mengumumkan sistem konvertibilitas dolar menjadi emas yang
“digantung” untuk sementara. Pada bulan Maret 1973, nilai tukar US$ sulit
sekali untuk menyesuaikan dengan sistem fixed change rate-nya
terhadap emas. Selain banyaknya uang yang beredar akibat kekalahan yang harus
ditanggung AS akibat Perang Vietnam, keruntuhan Bretton Woods System juga
saling berhubungan naiknya harga minyak saat itu.
Setelah keruntuhan sistem Bretton
Woods, sistem ekonomi internasional diganti menjadi floating exchange rate system yang merupakan gagasan utama Susan
Strange dan François Perroux. Pada dasarnya mereka mengutamakan kekuatan
finansial sebagai komponen utama penyangga struktur kekuatan baik negara maupun
intenasional (Sandretto dan Perroux, 2009). Oleh karenanya, pemikiran mereka
selalu berbasis pada stabilisasi ekonomi. Floating exchange
rate systemsecara umum diartikan sebagai sistem perhitungan nilai
tukar mata uang masing-masing negara dimana didasarkan pada mekanisme pasar
valuta asing. Sistem ini murni berdasarkan pada jumlah permintaan dan
penawaran.
Menurut Strange, floating exchange rate system adalah yang paling ideal dalam
mencapai stabilitas ekonomi secara internasional. Hal ini dikarenakan kecil
kemungkinan bagi suatu negara untuk mendominasi maupun menguasai perekonomian
dunia. Bahkan suatu negara tidak dapat mengendalikan nilai mata uangnya sendiri
dalam pasar valuta asing. Dengan sistem ini, negara dapat meningkatkan
volatilitas devisanya. Namun pada beberapa negara, khususnya negara berkembang,
sistem ini justru mendatangkan masalah. Hal ini dikarenakan apabila nilai mata
uang suatu negara lebih rendah daripada US$ ataupun mata uang negara lain,
sedangkan liabilitas negara tersebut menggunakan US$ atau mata uang asing dan
aset negara dalam bentuk mata uang lokal, maka yang terjadi justru instabilitas
finansial domestik. Namun kenyataannya hal tersebut tidak menjadi kendala bagi
berlangsungnya sistem ini.
Masalah utama dalam floating exchange rate system ini bukan mengenai apa saja keuntungan
dan kelebihan dari sistem tersebut, namun apa yang menjadi tolak ukur mekanisme
pasar valuta asing. Jika Susan Strange mengatakan bahwa tolak ukur perhitungan
nilai suatu mata uang dalam floating exchange
rate systemadalah berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran
mata uang tersebut, dapat dipertanyakan terhadap apakah permintaan dan
penawaran tersebut? Sebab dalam pasar tidak mungkin salah satu unsur berdiri
sendiri, karena pasti ada barang yang menjadi pembandingnya. Seperti istilah
“ada uang, ada barang”, dalam pasar pun berlaku sistem yang serupa. Jika ada
suatu barang yang dijual, pasti ada harga untuk barang tersebut. Hal tersebut
juga berlaku dalam pasar valuta asing, jika ada komoditas yang diperdagangkan
pasti ada timbal baik yang senilai. Oleh karenanya, jika mata uang tersebut
dijual pasti ada mata uang lain sebagai pembanding.
Mata uang pembanding yang dimaksud
dalam pasar valuta asing adalah US$ Amerika, yang terlihat dari dua hal. Yang
pertama adalah stabilitas nilai US$ terhadap mata uang yang lain. Kisaran nilai
US$ terhadap berbagai mata uang negara lain tidak akan berubah secara
signifikan. Yang kedua adalah mekanisme penghitungan kurs jual dan kurs beli
dalam nilai tukar mata uang antar negara non-US$. Misalnya nilai Rupiah
(Indonesia) terhadap Yen (Jepang). Misalnya pada saat ini nilai jual Rupiah
terhadap US$ Amerika adalah Rp 9.000 untuk setiap US$, dan nilai jual Rupiah
terhadap Yen Jepang adalah Rp 75 untuk setiap yen. Maka maka nilai beli Yen
Jepang terhadap US$ adalah ¥ 120 untuk setiap US$. Sebaliknya untuk kurs beli
pun juga sama. Jika nilai beli Rupiah terhadap US$ Amerika adalah Rp 8800 untuk
setiap US$, dan nilai beli Rupiah terhadap Yen Jepang adalah Rp 72 untuk setiap
yen. Maka maka nilai beli Yen Jepang terhadap US$ adalah ¥ 121 untuk setiap US$.
Dari perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa nilai mata uang yang
diperhitungkan dalam pasar valuta asing adalah nilai mata uang negara tersebut
terhadap US$ Amerika.
Pasca Runtuhnya BRETTON WOODS SYSTEM
Sejak runtuhnya Bretton Woods
System, anggota IMF telah bebas untuk memilih segala bentuk
pengaturan pertukaran yang mereka inginkan (kecuali mengelompokkan mata uang
mereka dengan emas), memungkinkan mata uang mengambang bebas, mengelompokkan ke
mata uang lain (basket
currencies), mengadopsi mata uang negara lain, berpartisipasi dalam
blok mata uang, atau membentuk bagian dari serikat moneter. Banyak yang takut
bahwa keruntuhan sistem Bretton Woods akan membawa masa pertumbuhan pesat
berakhir. Pada kenyataannya, transisi nilai tukar mengambang (floating exchange
rate) relatif lancar. Kurs fleksibel membuat lebih mudah bagi
ekonomi untuk menyesuaikan diri dengan naiknya harga minyak secara tiba-tiba
pada bulan Oktober 1973. Kurs mengambang telah memfasilitasi penyesuaian sejak
guncangan eksternal. IMF menanggapi tantangan yang diciptakan oleh guncangan
harga minyak 1970-an oleh instrumen pinjaman pengadaptasi nya. Untuk membantu mengatasi
importir minyak dengan mengantisipasi defisit transaksi berjalan dan inflasi
dalam menghadapi harga minyak yang lebih tinggi, IMF mendirikan dua fasilitas
minyak pertama di dunia. Dari pertengahan 1970-an, IMF berusaha untuk
menanggapi kesulitan neraca pembayaran banyak dihadapi negara termiskin di
dunia dengan menyediakan pembiayaan lunak melalui apa yang dikenal sebagai Trust Fund. Pada bulan Maret 1986, IMF membuat program
pinjaman konsesi baru disebut Fasilitas Penyesuaian Struktural (Structural
Adjustment Facility). SAF digantikan oleh Enhanced Structural Adjustment Facility pada
bulan Desember 1987[1].
Pada tahun 1976, IMF menghasilkan Second Amandement yang
berisi, kurs devisa, surveillance,
special drawing right (SDR),
dan emas[2].
IMF masih berpengaruh dalam sistem finansial dan moneter sampai sekarang, di
mana banyak terdapat perubahan. Beberapa fasilitas kredit yang diberikan oleh
IMF kepada anggotanya adalah Standby
Arrangements, The Compensatory Financing Facility, The Extended Fund Facility,
The Trust Fund, The Supplementary Financing Facility, dan The Buffer Stock Facility[3].
Dalam melakukan pembayaran transaksi ekonomi luar negeri, di mana sangat marak
di era globalisasi, dapat digunakan beberapa cara, yaitu Cash, Open Account,Commercial Bill
of Exchange, Letter of Credit L/C, Private Compensation[4].
Pertama, Cash, yaitu pembayaran dilakukan dengan menggunakan check/cheque atau bank draft,
pada saat barang dikirim oleh eksportir atau sebelumnya. Cara ini sangat baik
bagi eksportir yang keadaan keuangannya lemah dan belum kenal baik dengan
importir. Kedua, Open Account,
merupakan kebalikan dari cara cash,
yaitu pembayaran dilakukan setelah beberapa waktu atau kebijaksanaan importir
setelah barang dikirim kepada importir tanpa surat perintah pembayaran serta
dokumen-dokumen[5].
Ketiga, Commercial Bill
of Exchange, merupakan cara yang paling umum dipakai dan sering
disebut draftatau trade bills, yaitu surat yang ditulis oleh penjual yang
berisi perintah kepada pembeli untuk membayar sejumlah uang tertentu pada waktu
tertentu di masa datang, yang biasanya disebut trade drafts. Jenis draft terdiri dari; clean draftdan documentary draft.
Keempat, Letter of Credit L/C, adalah suatu surat
yang dikeluarkan oleh bank atas permintaan pembeli barang (importir) dimana
bank tersebut yang menyetujui dan membayar wesel yang ditarik oleh penjual
barang (eksportir). Dengan demikian L/C merupakan suatu alat pengganti kredit
bank dan dapat menjamin pembayaran bagi eksportir. Pihak yang terkait dalam L/Cadalah Opener (importir), Issuer (bank
yang mengeluarkan L/C), Beneficiary atau penjual (eksportir), dan dalam
prakteknya ada satu pihak lagi yaitu Confirming Bank,
yaitu bank di negara eksportir. Kelima, Private
Compensation, adalah penyelesaian pembayaran dengan kompensasi
utang piutang tanpa perpindahan mata uang ke negara lain.
Referensi:
Dipetik pada tanggal 6 Juni 2011, dari:http://www.imf.org/external/about/histend.htm
Dipetik pada tanggal 6 Juni 2011,
dari: http://id.shvoong.com/books/1847434-ekonomi-internasional/#ixzz1OUxn5OEi
Dipetik pada tanggal 6 Juni 2011, dari:http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/ekonomi_internasional_pengantar_lalu_lintas_pembayaran_internasional/bab_4_sistem_keuangan_internasional_dari_masa_ke_masa.pdf
Cohen, Benjamin. (n.d.). Bretton Woods System. Dipetik pada tanggal 6 Juni 2011,
dari Routledge Encyclopedia of International Political Economy:http://www.polsci.ucsb.edu/faculty/cohen/inpress/bretton.html
Gowa, Joanne. (1983). Closing the Gold Window: Domestic Politics and the End of Bretton Woods.
Ithaca, New York: Cornell University Press.
Helleiner, E. (1994). States and The Re-emergence of Global Finance: From Bretton Woods to
The 1990s. Ithaca, New York: Cornell University Price.
Kirshner, Jonathan. (1995). Currency and Coercion: The Political Economy of International Monetary
Power. New
Jersey: Princeton.
Sandretto, René dan Perroux, François.
(2009). A Precursor Of
The Current Analyses Of Power.
Strange, Susan. (1986). Casino Capitalism. Oxford: Basil Blackwell.
Triffin, Robert. (1960). Gold and The US$
Crisis: The Future of Convertibility.
New Haven: Yale University Press.
Van Dormael, A. (1978). Bretton Woods: Birth of A Monetary System. London:
MacMillan.
[1] www.imf.org
[2] id.shvoong.com
[3] elearning.gunadarma.ac.id
[4] id.shvoong.com
[5] Ibid.
Semoga bermanfaat.
Marisa Wajdi!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha