Helleiner, Eric. (2008). “The Evolution of the International Monetary and Financial System”, dalam John Ravenhill, Global Political Economy, Oxford: Oxford University Press, hal.213-240
Sebuah tulisan yang berisi tentang evolusi sistem atau
struktur finansial dalam lingkup ekonomi politik internasional baik era sebelum
sistem Bretton Woods maupun era setelah sistem Bretton Woods berakhir.
Menurut Helleiner, transformasi ekonomi
politik internasional dapat dibagi kedalam tiga tahapan.
1.
Era Sebelum Bretton Woods
Kondisi yang paling dramatis di masa itu adalah ketika pada tahun 1914
rezim finansial dan moneter internasional runtuh karena perang yang berkecamuk
di berbagai belahan dunia pada masa inter-war period.
2.
Era Bretton Woods
Era setelah Perang Dunia II yakni pada tahun 1944 ketika sistem Bretton Woods disepakati dan
diterapkan.
3.
Era Pasca Bretton Woods
Era tahun 1970-an ketika sistem Bretton
Woods System runtuh yang kemudian
menandai masa dimana tidak diberlakukan lagi gold exchange standard;
runtuhnya rezim sistem tukar menggantung yang dapat disesuaikan (adjustable-peg exchage-rate regime);
fluktuasi peran mata uang dollar Amerika pada perdagangan global; dan mulai
munculnya komitmen dari negara-negara untuk mengontrol kapital.
Peralihan dari Era Bretton Woods ke Era Pasca Bretton Woods
Tahun 1960
seorang ekonom bernama Robert Triffin menuliskan pesimismenya pada sistem Bretton Woods. Ia mengatakan
bahwa sistem Bretton Woods menciptakan
instabilitas standar tukar emas dengan dollar Amerika. Ia berargumen bahwa
dalam sistem finansial dimana menjadikan dollar sebagai mata uang sentral,
likuiditas internasional hanya dapat berkembang dengan baik jika Amerika
Serikat menyediakan lebih banyak lagi dollar di pasaran dengan tetap mengontrol
keseimbangan defisit pembayaran. Teori ini dikenal sebagai Triffin Dilemma.
Triffin Dilemma ditanggapi oleh
Keynes dengan mengusulkan adanya ‘bancor’ (suatu mata uang internasional yang ketersediaannya tidak dipengaruhi oleh
kondisi keseimbangan neraca pembayaran negara mana pun di dunia). Usulan Keynes
tersebut direalisasikan dengan membuat Special Drawing Rights (SDR) di
tahun 1969 atas kesepakatan bersama negara-negara yang dulu turut hadir dalam
konferensi di Bretton Woods.
SDR bukanlah mata uang yang dapat digunakan oleh
individu, melainkan hanya dapat digunakan oleh pemegang otoritas moneter
nasional sebagai suatu aset cadangan yang digunakan untuk menstabilkan neraca
pembayaran antar negara ketika dalam keadaan imbalance. Namun sayangnya keberadaan SDR tidak mampu menanggulangi
keadaan di tahun 1970-an ketika permintaan akan dollar Amerika terus meningkat
sementara cadangan emas yang dimiliki Amerika Serikat tidak cukup untuk
dipertukarkan. Keadaan ini akhirnya membawa Amerika Serikat pada suatu keadaan confidence crisis.
Ada dua pilihan dalam menghadapi situasi krisis Amerika Serikat tersebut.
1. mengurangi
jumlah dollar yang dicetak dengan konsekuensi positif yakni dollar tetap
menjadi mata uang utama perdagangan internasional dan Amerika Serikat dengan
mudah dapat membiayai keseluruhan kebutuhan dana perangnya di Vietnam dan
program-program lainnya, sementara konsekuensi negatifnya adalah Amerika
Serikat tidak akan mampu menjawab tuntutan pasar apabila seketika itu sejumlah
negara ingin menukarkan dollar-nya dengan emas.
2. mengakhiri
konvertabilitas dollar Amerika dengan emas dengan konsekuensi bahwa hegemoni
Amerika Serikat dalam mempengaruhi struktur finansial dan moneter internasional
akan menurun dan Amerika Serikat akan semakin susah memasukkan kepentingan
politiknya melalui instrumen ekonomi.
Titik Tolak Era Pasca Bretton Woods
1.
Pembatalan kesepakatan Bretton Woods
Amerika Serikat memilih alternatif kedua sebagai jalan
keluar. Setelah gagal melobi Perancis dan beberapa negara lain (selain Jerman
dan Jepang) untuk tidak menukarkan dollar Amerika-nya dengan emas ketika itu
Nixon membatalkan kesepakatan Bretton
Wood secara sepihak.
2.
Runtuhnya rezim sistem tukar menggantung yang dapat
disesuaikan (adjustable-peg exchage-rate
regime).
Peristiwa ini terjadi karena dipicu meningkatnya spekulasi
akan aliran finansial internasional sehingga membuat rumit usaha pemerintah
untuk menyesuaikan nilai menggantung dari mata uang negaranya. Keadaan ini
memunculkan sejumlah pertimbangan bagi pemerintah untuk kembali memberlakukan floating exchange-rates seperti sebelum sistem Bretton Woods digunakan.
Floating
exchange-rates berperan
penting dalam memfasilitasi penyesuaian mata uang ketika terjadi situasi
ketidakseimbangan ekonomi internasional. Selain itu, dengan tidak adanya
hambatan perdagangan dan kontrol kapital dari pemerintah diharapkan akan memicu
akselerasi perekonomian internasional. Sehingga, peran pemerintah disini hanya
sebatas membuat penyesuaian nilai tukar mata uang ketika terjadi ‘fundamental
disequlibrium’ dan ketika tingkat spekulasi finansial semakin besar.
Dalam penerapannya, ternyata floating exchange-rate juga membawa dampak lain yakni memicu ‘casino capitalism’, dimana negara yang
berperan sebagai spekulator akan mendominasi pasaran tukar luar negeri (foreign exchange market). Menurut
penyataan Susan Strange yang dikutip dalam tulisan Helleiner, kapitalisme
kasino dalam kaitannya dengan finansial global akan membawa seluruh aktor untuk
terlibat secara ‘sukarela’ di dalamnya, bahkan ia mengumpamakan kapitalisme
kasino ini sebagai permainan ular tangga yang sifatnya ‘unpredictable’ dan ‘avoidable’
yakni apabila seketika terjadi perubahan pada nilai tukar mata uang maka
dampaknya bagi kehidupan seluruh individu tidak terelakkan lagi. Keadaan inilah
yang akhirnya mendorong negara-negara Uni Eropa untuk membuat European Monetary
Union pada tahun 1999 dan memberlakukan mata Euro sebagai mata uang yang dianut
oleh sebagian besar anggota UE kecuali Inggris. Namun demikian, sekalipun
mendapat saingan dari mata uang euro maupun yen, mata uang dollar Amerika masih
mendominasi perdagangan dan mempengaruhi struktur finansial global walaupun
sistem Bretton Woods telah runtuh di tahun 1970-an.
Semoga Bermanfaat.
Marisa Wajdi!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha