Tampilkan postingan dengan label Jokowi-Ahok. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jokowi-Ahok. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Februari 2013

Hati-hati Jokowi, Kegagalan di Depan Mata


Kemenangan Jokowi 'si Wong Solo'  dan  Ahok 'si minoritas' di Batavia, membuat  sepak terjangnya menarik untuk diikuti. Entahlah saya merasa perlu untuk ikut memotret perjalanan Gubernur DKI Jakarta dan Wakilnya itu.
Jadi  saya memutuskan untuk mendedikasikan satu label dalam blog ini dengan : "Jokowi-Ahok". Semoga Anda tidak keberatan jika postingannya hanyalah  re-post dari berbagai media.
---

Seperti kita tahu, bahwa manusia merupakan mahluk yang unik dengan segala kelebihan dan kelurangannya. Namun bagi seorang pemimpin, tuntutan utama yang mereka hadapi adalah menjadi manusia sempurna tanpa boleh memiliki (menunjukkan) kekurangannya. Yea, terdengar mustahil, tapi begitu kenyataannya.

Begitu pula dengan Jokowi dan Ahok. Mereka hanya manusia biasa yang memiliki kekurangan. Setidaknya  rumus ini harus kita pegang dahulu sebelum menilai seseorang. tapi tak salah jika kita menyampaikan pandangan dan pemikiran kita, siapa tahu ada yang bisa kita petik dari catatan Go Teng Shin pada Kompasiana hari ini. Semoga Anda dapat menyikapinya dengan bijak.

Hati-hati Jokowi, Kegagalan di Depan Mata.

ditulis oleh: Go Teng Shin

pada Kompasiana

Tidak ada yang meminta Jokowi (dan Ahok) untuk jadi Bandung Bondowoso, yang sanggup membangun 99 patung dalam semalam. Tapi bagaimana bila ayam sudah hampir berkokok, jangankan 99, satu patung pun belum jelas wujudnya…?

Berikut ini adalah beberapa patung yang masih berbentuk lempung :
1.       Kampung Deret
Proyek yang selalu ditenteng Jokowi pada masa kampanye dulu adalah Kampung Deret atau Kampung Susun di bantaran kali. Pilot project di bantaran kali Ciliwung itu akhirnya mengalami naas : tidak jadi dibangun karena menabrak Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.

2.       Kartu Jakarta Sehat (KJS)
KJS, seperti yang dikabarkan memiliki kelebihan berupa rekam medis di chip kartu, persyaratan lebih mudah/tidak perlu surat miskin untuk memperolehnya serta menghapus strata kelas ruang perawatan dengan otomatis naik ke kelas lebih tinggi jika tidak tersedia tempat di kelas lebih rendah. Semua keunggulan itu ternyata tidak didukung oleh kesiapan dana, prasarana, SDM dan perubahan mentalitas pekerja kesehatan.

Lonjakan jumlah pasien sekitar 50-100% sudah terasa sejak Nov 12 lalu, namun masih dipandang sebagai kesuksesan KJS membangkitkan minat berobat masyarakat dan tersedianya pelayanan kesehatan tanpa pandang bulu. KJS bahkan tidak dibutuhkan, banyak Puskesmas yang karena takut dianggap tidak mendukung program Gubernur baru, atau mungkin takut dimarahi Ahok, menerima pasien cukup dengan KTP. Akibat promosi kencang, euphoria masyarakat tak terbendung. Yang datang bukan hanya yang benar-benar sakit dan tidak mampu, tapi juga yang sakit tidak benar-benar serius dan tidak benar-benar tidak mampu; sampai Puskesmas dan Rumah Sakit kewalahan.

Puskesmas sampai kelebihan beban dan mendorong pasien ke RS, RS berteriak minta Puskesmas jangan asal rujuk. Belum lagi lonjakan tagihan yang akibat masalah internal berupa macam-macam koreksi di administrasi Pemda, sehingga beberapa RS mengalami kesulitan cashflow. Puncaknya adalah peristiwa meninggalnya adik Dera, setelah ditolak 10 Rumah Sakit dengan alasan ketiadaan NICU dan tempat perawatan.

3.       Ganjil-Genap dan Electronic Road Pricing (ERP)
Penanggulangan kemacetan dengan sistem Ganjil-Genap yang menjadi isu utama pada Dec 2012 lalu, akhirnya tidak jalan. Protes berdatangan dari mana-mana, termasuk dari Neta S. Pane/IPW, karena dianggap titipan ATPM dan merugikan pengguna kendaraan.

Setelah Ganjil-genap batal, ERP diangkat. Apabila tahun lalu Ahok bilang ERP rumit, sekarang ini menyimak pembicaraan Ahok, seolah-olah pelaksanaan ERP itu gampang banget. Tinggal ditenderkan, pembayaran bisa potong rekening, diintegrasikan dengan pembayaran tilang dan perpanjangan STNK. Kalau mau tahu cara kerja sistem ERP itu, Ahok bilang tak usah studi banding, tinggal tonton saja di Youtube. Apa benar semudah itu ?

Tampaknya ERP ini – maaf – akan seperti kentut saja. Heboh sebentar setelah itu hilang dibawa angin. Banyak sekali masalah ERP yang harus dijawab : bagaimana memastikan setiap unit mobil yang masuk Jakarta/kawasan ERP memasang dan mengaktifkan OBU (On Board Unit), apabila Jakarta ini banyak titik masuknya, bukan pulau dengan akses masuk terkontrol seperti Singapura. Bagaimana billing dan collection, dan bagaimana enforcementnya…? Solusi sambil-lalu yang dijawab Ahok : diskon 50% Biaya Balik Nama untuk pemasang OBU, auto debet ke rekening, jelas bukan jawaban. Bagaimana dengan BPKB yang sudah atas nama yang benar ? Berapa banyak yang bersedia untuk auto debet rekening ? Di Jakarta ini, banyak pemilik dan pengguna kendaraan tidak sama dengan nama di BPKB, siapa yang harus ditagih…?

4.       Monorail
Seperti diketahui, konsorsium pemodal baru Ortus Group sudah masuk ke PT Jakarta Monorail, tanda-tanda proyek ini akan diaktifkan lagi. Sampai saat ini, Jokowi berkeras bahwa biaya tiket monorail harus sekitar Rp 8.000 dan Pemprov tidak akan subsidi, sementara kabarnya hasil perhitungan investor ada di kisaran Rp 40.000. Selisih bukan sedikit, tapi 5x lipat. Jokowi ibarat menawar dengan sistem Mangga Dua di Sogo Dept Store, yang tidak akan ada titik temunya.

5.       Rusun Marunda
Isu kosongnya rusun-rusun di Jakarta termasuk di Marunda yang acapkali disebut ‘berhantu’ sudah lama diungkit oleh DPRD sejak tahun 2011. Awalnya adem-adem saja dan tidak prioritas, tapi begitu Ahok mengalami masalah saat menempatkan korban banjir Pluit di rusun Marunda, tiba-tiba sang rusun jadi beken abis. Heboh sekali, sorotan media massa nyaris setiap hari. Ada kepala rusun langsung dipecat, ada koboi belitung dan ada pintu yang didobrak..pyar… Setelah dihadirkan segala macam gratisan mulai dari angkutan, kasur, perabot, TV, kulkas sampai pijit; kabarnya yang antri membludak. Mirip barisan di depan kasir supermarket kalau lagi ada cuci gudang.

Apabila anda menyempatkan diri ke rusun Marunda, akan menjumpai 11 tower tersebut masih banyak sekali yang kosong, menandakan ada masalah substansial yang masih harus dibenahi. Bahkan menurut Kompas, ada penghuni rusun yang sudah kabur membawa TV dan kulkas. Pelanggaran jual-beli rusun yang disebut Ahok juga kemungkinan adalah proses/makelar subkontrak, karena mencari penyewa serius yang komitmen tinggal permanen dan membayar tidak mudah. Masa sih ada yang mau membeli rusun yang sertifikatnya milik Pemda ?

6.       Giant Sea Wall (GSW)
Baik Jokowi maupun Ahok sudah mengakui bahwa ini adalah proyek Foke, maka basisnya adalah studi yang dilakukan Jakarta Coastal Defense Strategy (JCDS). Dalam rilis JCDS, ada 3 opsi GSW, dan tampaknya yang dipromosikan Ahok adalah opsi ke 3, yang di dalamnya termasuk reklamasi 3.000 hektar. Karena biaya yang tercantum di JCDS sebesar US$ 21Milliar (setara Rp. 200 triliun ) digelembungkan Ahok menjadi Rp. 385 triliun, menunjukkan ambisi Ahok melebihi Foke. Ambisi itu juga ditunjukkan melalui keinginan untuk memajukan proyek ke tahun 2013 dari 2016 yang direncanakan. Padahal opsi 3, menurut JCDS, perencanaan dan persiapannya begitu kompleks, sehingga realisasinya antara 2020-2030.

Dalam rencana Foke, GSW dibiayai melalui pinjaman luar negeri, hibah, partisipasi masyarakat melalui obligasi, APBD dan dunia usaha. Sementara Ahok ingin 100% GSW itu dibiayai oleh investor, yang disebutnya ‘cukong’; dengan imbalan izin reklamasi di Pantura Jakarta berupa 17 pulau. Jika Foke masih punya etiket, malu menyebut reklamasi, urat malu Ahok tampaknya sudah putus dengan tanpa ragu menyebut reklamasi sebagai penyelamat.
Sekilas Ahok terlihat pintar, warga DKI bisa dapat GSW gratis. Tapi apabila disimak lebih dalam, sebenarnya opsi Foke lebih aman sebab melibatkan pihak luar negeri dan masyarakat, yang menuntut transparansi, prospektus setebal bantal dan AMDAL yang jelas. Sementara Ahok menyerahkan nasib pantura DKI ke tangan cukong. Apakah rakyat dan para pengamat akan mendapatkan penjelasan maupun dapat mengawal reklamasi dan efeknya terhadap hajat-hidup mereka ? Wallahualam. Paling juga terus berjalan tanpa kendali seperti reklamasi yang sekarang ini, yang disebut Departemen Lingkungan Hidup merupakan penyebab banjir di DKI dan amblesnya tanah di Pantura.

Jika dipikirkan secara logika, akan didapat dari mana tanah dan pasir untuk urukan 17 pulau itu ? Apabila disebut dari galian waduk dan sungai di Jakarta, apa mungkin ? Coba lihat peta DKI di Perda RTRW 2010-2030, berapa besar waduk, sungai, dan berapa besar rencana reklamasi…? Apakah sebagian pulau Pulau Belitung mau dipindahkan untuk membangun 3.000 hektar plus ini ? Atau, apakah ini proyek heboh-hebohan yang hanya akan berakhir senyap seperti yang lainnya …?

Ahok : Achilles Heel Jokowi
Setiap kali Ahok buka mulut di depan wartawan, nyaris tiap kali itu pula menyinggung pihak lain. Memang di dunia ini ada orang yang merasa perlu mengangkat diri dengan menjatuhkan/mempermalukan orang lain. Dulu kita tak pernah dengar suara Wagub DKI, sekarang Wagub DKI sibuk tebar pesona menyaingi bossnya.

Belum lama dilantik, dalam wawancara Gatra Oktober 2011 lalu, Ahok mengatakan Pemprov (Ahok) harus jadi tuan di atas cukong. Entah apa yang dipikirkan para cukong saat mendengarnya. Kalimat yang gagah sekali, baik untuk pencitraan namun tak ada gunanya di hidup nyata. Sebab cukong yang dimaksud, sudah jago berbisnis saat Ahok masih bercelana kodok. Boro-boro Ahok mencabut izin cukong apabila menolak bangun GSW, ternyata Ahok harus jual izin reklamasi 17 pulau untuk imbalan GSW gratis. Belum apa-apa Ahok harus pasang badan bagi cukong untuk urusan AMDAL. Tragis, Ahok akhirnya hanya jadi salesman cukong.

Sikap Ahok menantang debat soal AMDAL, apabila dilihat dari sejarah panjang perseteruan Kementerian Lingkungan Hidup dan pengusaha soal reklamasi, menyakitkan hati bagi Walhi dan para aktivis lingkungan. PDI-P pasti ingat, Keputusan Menteri LH itu, dibuat pada zaman ibu Megawati. Nabil Makarim adalah salah satu menteri kesayangannya.

Apabila Jokowi selalu berusaha membangun hubungan baik dan santun terhadap berbagai pihak, semua itu dengan mudah dibuyarkan oleh Ahok. Selain doyan memarahi anak buahnya, seperti mengancam memecat Lurah apabila ada warga meninggal saat banjir, gara-gara meninggalnya seorang kakek yang memang sudah sakit saat banjir di Kampung Pulo. Menghadapi Kepsek yang mengingatkan bahwa pemotongan anggaran bisa menurunkan mutu siswa, malah disergah, supaya siswa super wahid – ente butuh berapa triliun…?

Ahok belum lama ini, tanggal 17 Feb di Tempo.co, sudah mulai lancang menyebut atasannya ‘kurang galak’ sambil mengangkat diri dan nyalinya yang berani memecat siapa saja, kapan saja, dan bahkan siap diPTUNkan.

Pada saat banjir Pluit, ketika ditanya wartawan dimana keberadaannya sejak 3 hari yang lalu, dengan seenaknya Ahok nyeletuk soal ‘pulang ke Belitung’. Tidak puas dengan vendor pengelolaan sampah, malah keluarkan ide asbun seperti menggaji 2000 pemulung Rp 2 juta per orang untuk mengangkat sampah Jakarta. Karena asal bunyi, ya kini tak ada kabarnya lagi.

Lebih dari sekali Ahok menyinggung kepolisian. Soal plat mobil, misalnya, Ahok menginsinuasikan mengenai penjualan plat mobil DKI 2 ke swasta, padahal menurut kabar plat tersebut sudah sejak lama dipegang Foke. Untuk urusan ERP, yang jelas tidak akan berhasil tanpa kerja-sama dari Polda Metro Jaya; Ahok mengeluarkan lecehan ‘prit jigo prit gocap’. Tingkah laku negatif Kepolisian harusnya yang menegur adalah atasannya. Ahok adalah kolega, pihak yang memerlukan kerja-sama. Apa jaminannya cara komunikasi tersebut tidak membuat Ahok justru dialienasi sementara banyak proyek Pemprov DKI yang perlu didukung kepolisian…?

Untuk urusan ERP itu pula, Ahok sempat-sempatnya menyentil soal ‘studi banding’ – apakah ini yang dituju adalah DPRD…? Ahok bahkan menggampangkan bahwa sistem tersebut cukup dilihat di Youtube !

Tanggal 19 Feb kemarin, saat sedang berbicara mengenai KJS di RS Husada, Ahok bahkan menginsinuasikan ‘perut, otak dan dompet’ lebih penting daripada ahlak. Meskipun ahlak bukan cuma soal agama, tapi juga lingkungan, upbringing; Ahok nyasar kemana-mana soal semua pejabat yang disebutnya munafik soal pelaporan harta kekayaan, soal agama dan politik bahkan tak masalah dianggap kafir no. 1. Juga menegaskan negara ini tak bisa dipimpin baik-baik, harus diajak berantem.

Peristiwa terakhir ini menunjukkan secara kasat mata beda antara Jokowi dan Ahok. Apabila Jokowi adalah negosiator, fasilitator dan mengutamakan komunikasi; semua itu rupanya dianggap ‘kurang galak’ oleh Ahok yang siap berantem dengan siapa saja. Membangun kepercayaan itu tidak mudah, Jokowi bekerja keras tidak sehari-dua, tapi panas setahun usaha Jokowi bisa dihapus hujan sehari komentar tak sedap dari Ahok.
Duh, capenya jadi Jokowi.

Masih Banyak Waktu

Alangkah sedihnya apabila pemerintahan Jokowi berlalu tanpa greget. Proyek-proyek pada GARING, nyaring bunyinya tapi tak ada yang berjalan baik. Karena kurang perencanaan, kurang koordinasi, kurang dukungan. Over-expose. Sedikit-sedikit diblow-up ke wartawan; padahal bicara pada regulator, pengambil-keputusan dan pihak terkait juga belum. Peraturan yang ada tidak dicek dulu apakah benturan atau tidak. Makin banyak proyek diheboh-hebohkan, lalu tak terwujud, akan makin banyak muncul kata GAGAL. Ini gagal itu gagal. Jokowi juga bisa gagal nyapres 2019.

Dua pemimpin asyik bicara, pasti akhirnya banyak keselip lidah. Nanti dibuat sensasi oleh media, timbul blunder yang bikin bingung rakyat. Dua pimpinan seperti dua kutub : yang satu hendak merangkul, yang satu sibuk mengalienasi. Yang satu sibuk nyari teman, yang satu nyari musuh. Yang satu mencari titik temu, yang satu ngajak berantem. Yang satu santun, yang satu menyakitkan dalam bertutur. Don’t be cruel. Pemimpin santun bukan berarti lemah, sopan bukan berarti tak tegas. Be kind.

Mumpung masih ada 4 tahun 8 bulan, sebaiknya Jokowi segera berbenah diri. Jokowi perlu mengurangi 2 hal : 1. Kurangi blusukan, dan 2. Kurangi bicara pada wartawan. Proyek-proyek dimatangkan dulu, kalau perlu sosialisasi baru bicara pada wartawan.

Jokowi juga perlu menambah 2 hal : 1. Menambah waktu di kantor untuk memimpin rapat dan membaca laporan, dan 2. Menambah pengawasan terhadap Ahok, beri pendidikan budi pekerti. Ahok disuruh membaca kitab Raja-raja China Zhu Yuan-Zhang atau Liu Bang : berantem saat perang, memimpin dalam damai. Kolega dan anak buah bukan musuh, tak perlu bicara seolah-olah tiap orang malas, maling, atau dua-duanya. Tak ada yang bisa sukses dengan menciptakan musuh dimana-mana. Heran ya, Jokowi lebih mengerti ‘guanxi’ ketimbang Ahok yang Tionghoa !

Sebaiknya satu orang saja yang bicara : Jokowi. Yang lain, hanya pembantu Jokowi, jadi harap tahu tempatnya. Jujur, DKI masih perlu pemimpin seperti Jokowi yang humble, jujur dan kerja untuk rakyat. Seperti Jabar butuh Rieke & Teten. Semoga PATEN menang di Jabar, sehingga koordinasi DKI-Jabar untuk mengatasi banjir, transportasi dan hal-hal lainnya semakin lancar.
GTS 69

Jakarta, 21 Februari 2013


Blusukan Bukan Milik Jokowi (saja)


Kemenangan Jokowi 'si Wong Solo'  dan  Ahok 'si minoritas' di Batavia, membuat  sepak terjangnya menarik untuk diikuti. Entahlah saya merasa perlu untuk ikut memotret perjalanan Gubernur DKI Jakarta dan Wakilnya itu.
Jadi  saya memutuskan untuk mendedikasikan satu label dalam blog ini dengan : "Jokowi-Ahok". Semoga Anda tidak keberatan jika postingannya hanyalah  re-post dari berbagai media.
---
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau yang kerap disebut Jokowi, sering melakukan ‘blusukan’. Jokowi blusukan ke sungai-sungai, pasar tradisional ataupun ke perkampungan kumuh.

Blusukan menjadi bahan perdebatan beberapa hari terakhir, terutama setelah kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Tanjung Pasir, Tangerang, Jumat (4/1). SBY disebut meniru gaya blusukan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo.

“Jokowi gencar blusukan. Presiden pun “ikutan” blusukan” (www.merdeka.com).

Arti Kata Bluksukan

Istilah ‘Blusukan’ tiba-tiba menjadi sangat populer, setelah media massa mengeksposnya secara besar-besaran. Blusukan menjadi menarik karena yang melakukannya adalah tokoh paling fenomenal saat ini, Gubernur DKI Jakarta yang baru, JOKOWI!

Bagi kita yang tidak mengerti Bahasa Jawa, mungkin akan bertanya-tanya, apa sebenarnya arti blusukan itu. Jika Anda mencarinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka Anda akan gigit jari. Sejauh ini  ‘Blusukan’ ada dalam KBBI. Namun, jika suatu hari istilah ini dipahami secara populer, bukan mustahil ‘blusukan’ masuk dalam KBBI sebagai hasil serapan Bahasa Jawa.

Secara asal kata, ‘blusukan’ berasal dari kata blusuk atau blesek (Bahasa Jawa) yang artinya masuk. Sejauh ini yang dikatakan sebagai ‘blusukan’nya Jokowi adalah mendatangi masyarakat secara langsung. Jadi, blusukan dalam konteks aksi Jokowi bisa berarti praktis: ‘sidak’, inspeksi mendadak atau  bahasa politisnya ,sih, ‘turba’, turun ke bawah, menjaring aspirasi dan melihat langsung kondisi lapangan.

Jika kita sepakat pada pengertian diatas, maka sebenarnya aksi ‘blusukan’  bukan baru dilakukan oleh Jokowi. Namun juga sudah sering dilakukan oleh pejabat lainnya, selain Jokowi. Hanya saja istilah dan gaya yang dipakai berbeda. Jadi, rasanya berlebihan jika media menyebut penjabat yang melakukan ‘turba’ adalah copycat Jokowi. Rename ‘turba’ menjadi ‘blusukan’, bahkan oleh pejabat itu sendiri, bukan berarti mereka mengakui telah meniru aksi Jokowi, namun semata-mata menerapkan istilah yang tengah populer di tengah-tengah masyarakat. “Blusukan yang merupakan ‘bahasa media’,  kini menjadi bahasa publik. Kasus populernya kata “blusukan” ini menjadi bukti ke sekian: media memang pencipta “trend setter”. Apa yang dipopulerkan media akan menjadi populer di masyarakat (Romeltea,2013).

Blusukan ‘ala’ Jokowi

Jokowi memperkenalkan istilah blusukan ini sejak ia masih menjadi walikota Solo. Blusukan Solo merupakan program dari Rumah Karnaval Indonesia dalam rangka melestarikan heritage dan budaya yang dimiliki oleh Indonesia khususnya di Kota Solo. Blusukan Solo merupakan program yang akan mengajak peserta untuk masuk menjelajahi dan merasakan langsung kekayaan heritage dan budaya. Bentuk program ini peserta dibawa berkeliling mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah dan kegiatan masyarakat yang memiliki kaitan sejarah dan budaya, tak ketinggalan: wisata kuliner.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa blusukan Jokowi di Jakarta tidak sama dengan blusukannya di Solo. Blusukan Jokowi di Jakarta saat ini lebih berfokus pada pengenalan wilayah kerja untuk memahami kondisi sebenarnya pembangunan di Jakarta.
Lantas, apa makna blusukan menurut Jokowi sendiri?
1.       Manajemen kontrol
Menurut Jokowi, seorang pemimpin harus turun langsung ke lapangan. Persoalan yang ada dapat dilihat secara langsung dan bukan berdasarkan laporan anak buah semata, yang mungkin tidak menyajikan kondisi yang sebenarnya. Pengamatan langsung akan memudahkan untuk menentukan arah kebijakan serta tepat dalam mengambil keputusan apa yang harus dan akan dilakukan.
 2.       Sebagai Contoh oleh Pemimpin Wilayah seperti Camat dan Lurah.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo memerintahkan kepada seluruh jajaran yang berada di suku dinas, camat, dan lurah beserta anggota Satpol PP untuk sering turun ke bawah. Proses blusukan turun ke jalan, menurutnya, dilakukan oleh pejabat agar tahu permasalahan yang sering dihadapi oleh warga, karena merekalah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Menurut Jokowi permasalahan warga disampaikan oleh pihak ketiga akan beda penerimaan aspirasinya.
 3.       Kesempatan Mendengar Keinginan Warga secara Langsung.
Menurut Jokowi, yang paling penting bagi kepala daerah adalah, yang pertama mampu mendengar keinginan dari masyarakat. "Keinginan itu harus ditangkap, keinginan akar rumput apa, keinginan masyarakat yang ada di bawah itu apa baru menyampaikan visi misi kita. Supaya nyambung apa kebijakan dengan mereka.
 4.       Gaya Khas Jokowi
Bagi Jokowi blusukan adalah gaya khasnya.
 5.       Cocok Untuk Orang yang Lebih Suka di Lapangan.
Menurut Jokowi, blusukan sudah dilakukannya sejak lama. Hal ini terutama karena Jokowi sudah terbiasa mengecek pekerjaan hingga detail ketika masih jadi pengusaha.

Kritikan Sutiyoso terhadap Blusukan Jokowi

Kita memang tidak mungkin memuaskan semua orang, begitu pula Jokowi. Tidak semua orang suka blusukan Jokowi, salah satunya adalah Mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Sutiyoso menganggap blusukan bukanlah tindakan nyata, sehingga blusukan bukanlah aksi yang penting dan harus dibesar-besarkan.

Latar belakang ketidak-setujuan Sutiyoso terhadap blusukan Jokowi, tentu berhubungan dengan persamaan yang mereka miliki. Sutiyoso dan Jokowi, sama-sama Gubernur DKI Jakarta, meski dalam periode yang berbeda. Persamaan ini membuat kita harus bijak memaknai pendapat Sutiyoso. Bagaimanapun Bang Yos, sapaan akrab Sutiyoso, sudah merasakan apa dan bagaimana menjadi pimpinan daerah sepenting DKI Jakarta. Bisa jadi kritik Sutiyoso ini adalah input kepada Jokowi yang didasarkan pada pengalaman beliau.
Disisi lain kita juga harus melihat latarbelakang pandangan Sutiyoso terhadap blusukan Jokowi. Perbedaan tersebut diantaranya adalah:
a.       Beda pola kepemimpinan Sutiyoso dan Jokowi.
Sutiyoso memiliki latar belakang militer, yang terbiasa dengan sistem doktrinasi dan struktural birokrasi. Sedangkan Jokowi berlatar belakang pengusaha yang biasa terjun langsung menemui masalah.
b.      Beda sistem pemilihan Sutiyoso dan Jokowi.
Sutiyoso dipilih oleh DPRD, sementara Jokowi dipilih oleh rakyat. Tak heran jika sasaran pendekatan Bang Yos adalah wakil rakyat bukan pada rakyatnya.

Ada yang menganggap kritikan  Sutiyoso sebagai keblasuk (Bahasa Indonesia : kesasar, salah alamat, tidak pas dengan yang dituju). Artinya kritik tersebut seharusnya tidak layak dilakukan karena pengkritik meski memiliki persamaan (dasar empati), menghadapi beberapa kondisi yang berbeda dengan yang dikritiknya (sebagaimana yang diuraikan diatas).

Kritik yang keblasuk hanya akan menjatuhkan pengkritik itu sendiri. Apalagi orang yangdikritik itu adalah Jokowi, yang mendapat dukungan sangat besar dari masyarakat. Dukungan tersebut, bahkan, bukan hanya datang dari warga DKI Jakarta saja tapi juga dari seluruh Indonesia (juga dunia). Kritikan ini malah membuat pendukungnya mengorek kesalahan-kesalahan pengkritik, lalu membanding-bandingkannya. Kritik Sutiyoso malah  kontra produktif bagi pencitraan dirinya yang sedang meretas jalan menuju kursi kepresidenan.

Kekurangan Blusukan Jokowi

Walau terdengar positif dan mencengangkan. Sesuatu yang berlebihan itu memang tidak pernah baik. Begitu pula dengan blusukan. Jika Jokowi menghabiskan waktunya dengan blusukan, lalu bagaimana dengan kewajiban-kewajiban lainnya. Jokowi sebagai gubernur tentu memiliki kewajiban administratif. Jangan sampai banyak urusan terbengkalai atau tertunda hanya karena Jokowi tidak bisa ditemui untuk sekadar menerima tanda tangannya. Bukankah tidak semua urusan administrasi bisa diwakilkan pada sang wakil?
Bagi sebagian kalangan pun menilai Jokowi kurang memberi perhatian pada kalangan pengusaha dan kelompok menengah, sehingga urusan yangberkaitan dengan mreka belum tergarap.
Saya berharap, belum tergarapnya masalah-masalah itu hanya karena faktor waktu. Bagaimanapun Jokowi-Ahok baru memimpin DKI dalam hitungan bulan.

Aksi Jokowi-Ahok dalam 50 hari Pertama Sebagai Pasangan Gubernur.[1] (salah satu catatan pencapaian, sedikit-banyak hasil bluksukan tentunya)

1. Penataan Kampung, Hari ke-38

Gubernur Joko Widodo mulai memarkan desain penataan kampung kumuh di Jakarta. Kampung kumuh tersebar di 360 titik. Ditargetkan, 100 kampung diperbaiki pada tahun 2013. Menurut dia, nantinya Jakarta seperti 1.000 kampung yang terkelola baik. "Jangan seperti Singapura yang sekarang menyesal karena semua sudah dijadikan tower," ujar dia. Setiap kampung punya karakter sesuai daerahnya. Seperti Bukit Duri di sisi rel kereta yang menjadi kampung stasiun. Setiap kampung mencakup dua RW dengan jumlah hunian mencapai 300 unit dengan ruang terbuka hijau dan drainase. Alokasi penataan sebesar Rp 30-50 miliar. "Tapi nanti tergantung DPRD."

2. Banjir Jakarta, Hari ke-39 

Mungkin inilah salah satu yang membuat Jokowi merasakan sulitnya mengelola Ibu Kota. Dari catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, ada 2.700 keluarga di 17 kelurahan terendam banjir. Jokowi merasa belum sempat menjalankan programnya, seperti pengerukan sungai, relokasi warga, dan normalisasi kali Pesanggrahan, tapis sudah disalip banjir. "Memang baru proses pengerjaan. Sudah dikeruk, tapi keduluan sama banjir," kata Jokowi, 23 November 2012.

3. Kartu Jakarta Pintar, Hari ke-47

Gubernur Joko Widodo mengunjungi SMA Yappenda, Jakarta Utara, dan SMA Santo Paskalis, Jakarta Pusat, untuk membagikan Kartu Jakarta Pintar (KJP). Sebanyak 3.013 kartu disebar pada tahap awal bagi siswa kurang mampu. Kartu KJP berbeda dengan dengan Dana BOS. KJP membantu siswa untuk kebutuhan logistik, seperti membeli buku, membayar angkutan umum, dan membeli sepatu. Setiap siswa akan mendapat Rp 240 ribu per bulan. "Ini kan baru sisa pencegahan untuk pencegahan putus sekolah dulu," kata Ahok, 29 November 2012.

4. Angkutan Umum dan Macet, Hari ke-50


a.        Mass rapid transportation (MRT) 
Empat pertemuan Jokowi dengan pihak PT MRT belum menyepakati pembangunannya. Jokowi mau merestui MRT bila tarif yang dibebankan ke penumpang dikurangi. Jokowi akan meminta beban pembiayaan 42 persen yang dibebankan kepada Pemda dikurangi. “Paling tidak, saya akan minta pemerintah pusat menanggung 70 persen agar beban kami tidak terlalu berat,” katanya. Bila jumlah 70 persen disetujui, harga tiket bisa lebih murah dari Rp 15 ribu. Sedangkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo belum memberikan lampu hijau. 

b.      Ruas tol dalam kota
Rencana enam ruas tol dalam kota juga urung disetujui Jokowi. Menurut dia, proyek warisan itu masih mengganjal karena tidak menunjang pembangunan transportasi massal. Untuk proyek jalan tol ini, Jokowi harus berhadapan dengan desakan Kementerian Pekerjaan Umum. Jokowi hanya setuju bila salah satu ruas dipakai untuk busway. "Kalau untuk elevated bus (bus melayang), iya. Tetapi, kalau untuk mobil pribadi,
tidak," ujar Jokowi. 

Demikian catatan saya tentang blusukan Jokowi ini.
Semoga bermanfaat.
Marisa Wajdi!!!






Selasa, 19 Februari 2013

Gebrakan Ahok, di Awal Kepemimpinannya Sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta

Kemenangan Jokowi 'si Wong Solo'  dan  Ahok 'si minoritas' di Batavia, membuat  sepak terjangnya menarik untuk diikuti. Entahlah saya merasa perlu untuk ikut memotret perjalanan Gubernur DKI Jakarta dan Wakilnya itu.
Jadi  saya memutuskan untuk mendedikasikan satu label dalam blog ini dengan : "Jokowi-Ahok". Semoga Anda tidak keberatan jika postingannya hanyalah  re-post dari berbagai media.


Ahok, Jangan Pecahkan Batu!

Rhenald Kasali ,  Ketua Program MM UI
SINDO, 15 November 2012

  
Hampir semua media minggu ini menurunkan berita tentang rapat yang dipimpin Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan Dinas Pekerjaan Umum (PU).

Berita ini ramai beredar di hampir semua media jejaring sosial dan dikomentari begitu luas. Akan berhasilkah Jokowi-Ahok memperbarui cara kerja unit pemerintahan yang ditanganinya? Setiap orang yang memimpin perubahan selalu punya cara. Ada cara “geram” bak membelah batu untuk mendapatkan pecahan-pecahan yang diinginkan, tetapi ada juga yang memilih cara memanaskan minyak yang membeku. Anda tinggal memilih, cara apa yang Anda lakukan.

Semua ada konsekuensinya dan ada masalahnya masing-masing. Namun satu hal yang jelas, Anda tak bisa mengontrol apa yang telah terjadi, tetapi Anda bisa menentukan bagaimana Anda bereaksi terhadap hal-hal yang telah terjadi. Reaksi Anda itulah pada akhirnya akan menentukan hasil apa yang bisa didapatkan dari perubahan yang Anda gulirkan. Mari kita lihat bagaimana Ahok membelah batu. 


Membangunkan yang Tertidur 

Seperti Anda, saya melihat Ahok melakukan rapat dengan Dinas PU di situs web video berbagi YouTube (diunggah 8 November 2012). Tanpa basa-basi, mantan Bupati Belitung Timur itu langsung mengarahkan anggaran Dinas PU untuk 2013 dipotong 25%. “Sebelum dimulai apakah pagu anggaran sudah dipotong 25% untuk biaya-biaya pembangunan ini, dan diduga dipotong 40% pun bisa. Kita potong 25% saja.

Saya kira fair, kami Gubernur dan Wakil Gubernur meminta 25% untuk kami dikembalikan dalam bentuk APBD, dipotong,“ kata Ahok. “Ini kita siarkan langsung di Youtube. Saya tidak ingin pembicaraan saya tidak diketahui semua orang. Semua jelas. Jadi, mulai hari ini pembahasan anggaran di DKI semua transparan, terbuka,” tegasnya dalam video itu.

Kalau pengurangan tersebut tidak dilakukan, dia berjanji akan membawa masalah ini ke KPK. “Kalau bapak-bapak ngotot tidak mau, saya akan taruh anggaran ini di website. Semua orang akan tahu. Akan saya minta KPK untuk periksa ini semua,” ujarnya. “Tidak usah berdebat. Kedua, saya hapus proyek itu. Kasih saya speknya. Saya akan bangun dengan uang operasional saya. Saya akan periksa kerjaan tahun-tahun lalu, saya akan buka koreng lama, saya akan proses ke KPK dan ke kejaksaan.”

Ahok juga mengatakan pihaknya akan mencopot seluruh pejabat Dinas PU hingga eselon III jika anggaran pembangunan tidak bisa disesuaikan. “Bukan mengancam. Atau yang kedua, pembangunan kita tunda, tapi kita copot sampai eselon III. Kita akan perang terbuka. PU tidak punya pilihan, yang jelas PU harus potong harganya,” tutur dia.

Sepintas tak ada yang salah. Sama seperti Anda, kita semua geram melihat cara kerja birokrasi yang dipercaya publik boros, tidak kritis, dan konon “mudah dibeli” oleh kelompok-kelompok tertentu. Politisi bermain, pengusaha preman ikut memeras, dan mereka membiarkannya. Begitulah jalan pikiran publik.

Memang selain melayani publik dengan servant leadership, “memecahkan batu” adalah cara yang lazim ditempuh orang-orang yang geram ketika mendapatkan kursi di pemerintahan untuk melakukan change! Batu yang dipecahkan adalah bagian dari manajemen mafia, yang berarti upaya memotong “tangan-tangan liar” yang membelenggu organisasi pemerintahan.

Di luar sana, seperti layaknya sebuah kekuatan mafia-like, para peserta tender sudah siap meraih kemenangan dengan badan-badan yang kuat. Ada ahli gebrak meja, ada yang bertugas melobi pejabat di kamar-kamar karaoke di sekitar area Mangga Besar dan daerah Kota, ada ahli hukum yang tak kalah gertak, dan ada “good guy” yang cukup senyum sana-sini di lapangan golf, atau jago-jago lain di gedung parlemen.

Semua saling terkait dan saling berbagi, melibatkan uang yang tidak sedikit. Bahkan sampai ke operator-operator di lapangan yang mengatur pembebasan lahan atau melibatkan ormas bayaran. Tak masalah “memecahkan batu” karena kita butuh pemimpin yang berani, yang heroik. Tapi benarkah ini efektif dalam melakukan perubahan?

Strategic Management 

Dari CV-nya saya membaca Ahok pernah bersekolah di institut sekolah bisnis yang cukup terpandang. Jadi ia pasti tahu bagaimana mengambil langkah-langkah strategis. Semua itu harus dimulai dari selembar kertas, bukan dari omongan yang ditayangkan di YouTube. Omongan bisa berubah, tetapi strategi harus dibuat dengan argumentasi yang mendalam dan dibuat tertulis untuk dimengerti semua orang dalam lingkaran kerjanya.

Perubahan menuntut adanya birokrasi. Ibarat tidur beramai-ramai, mimpi kita harus sama sehingga jalannya juga sama. Iramanya beriringan. Tentu saja ini sulit. Menulisnya butuh waktu dan sakit kepala. Orang-orang Jepang yang sukses membangun berupaya memilih capek di depan dan bekerja dengan konsensus. Kalau di dalam sudah matang, baru digerakkan beramai-ramai. Lain strategic management, lain lagi change management. Di situlah “kegeraman” bermain. Letih, marah, gemas, dan ingin cepat melihat hasil.

Kata Jhon Kotter, upayakanlah “kemenangan-kemenangan jangka pendek”. Ahok pun membelah batu supaya segera ada hasil.Namun di layar video di YouTube saya melihat banyak birokratnya yang pura-pura tak menaruh perhatian. Asyik melihat-lihat kertas, bingung, tak berani berdebat, melihat BB, pasif, siap menerima nasib, atau ada kepura-puraan?

Saya tidak tahu persis. Tapi bukan birokrat namanya kalau orientasinya bukan komando. Tapi change management bukan war management yang asal gempur. Ahok harus berpikir lebih strategis, bukan sekadar memenangi pertempuran. Jenderal yang hebat bisa kehilangan satu dua battle field, tetapi akhirnya ia harus bisa memenangi perang. Nah apa jadinya bila cara membelah batu kita pakai?

Memanaskan Minyak 

Di Samarinda bulan lalu, Elprisdat M Zein,Ketua Dewan Pengawas TVRI, memaparkan rencana-rencananya untuk meremajakan organisasi “tua” yang tengah ngos-ngosan itu. Di depannya duduk jajaran direksi, anggota Dewan Pengawas, dan para kepala stasiun yang dulu Anda sering lihat di layar kaca. Bedanya mereka kini sudah sangat berumur dan wajahnya tak seterkenal di masa lalu. Tapi dari pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan saat saya memaparkan cara menghadapi perubahan, suara mereka yang berwibawa masih saya kenali.

Hanya saja, mohon maaf, di mata anak-anak muda TVRI yang saya temui, sebagian besar orang-orang tua dianggap feodal, tak mau mendengarkan, sudah ketinggalan zaman, tidak terbuka terhadap diskusi, dan tentu saja iklim ini sangat bertentangan dengan industri yang mereka geluti: industri kreatif. Elprisdat yang mantan penyiar, produser, dan eksekutif di ANTV bukan tidak tahu itu.

Bedanya, ia menuangkan semua masalah itu di atas kertas dan membangun koalisi dengan orang-orang yang berada di dalamnya. Berbeda dengan cara Ahok membelah batu, Elprisdat menyatakan kepada saya bahwa ia tengah “memanaskan minyak yang membeku”. “Kalau membelah batu, maka residunya akan terasa di pojok dan residu-residu itu merasa terancam karena akan dibuang. Saya memilih memanaskan minyak agar semua bisa ikut berperan menghadapi perubahan.”

Saya ingin mengajak Ahok berpikir lebih strategis karena saya yakin Ahok mewakili kegemasan kita semua. Tapi kita perlu mengingatkan Ahok, cara yang ditempuh bisa rawan bagi organisasi. Sudah sering kita saksikan perubahan yang dilakukan dengan cara membelah batu berujung pada kesulitan demi kesulitan, bahkan sangat dialektis.

Kasusnya cukup banyak. Alih-alih melakukan sintesis kreatif, perubahan dengan cara ini justru menjadi sangat problematis karena kurang inspiratif ke dalam dan tak menampung partisipasi internal. Ahok perlu sedikit bersabar agar aparat-aparatnya berperang bersama dirinya melawan para mafia. Cara membelah batu memang heroik, tetapi bisa berakibat mereka akan bergabung bersama-sama para mafia melawan kita. Musuh perubahan itu bukanlah anak buah yang sangat bermain, melainkan yang di luar sana.

Kalau tidak berhati-hati perubahan akan berputar bak lingkaran setan seperti yang dapat Anda lihat dalam buku Change yang saya tulis 2005 lalu. Cara itu antara lain pernah ditempuh para direksi TVRI beberapa tahun lalu yang berakibat perubahan menjadi kandas dan perseteruan tak pernah berhenti. Mereka hanya sibuk berkelahi, bukan memperbaiki. Kini TVRI memang dalam fase baru perubahan.

Cara yang ditempuh bukan lagi membelah batu, melainkan memanaskan minyak yang membeku. Memang, ia tak lari sebanding RCTI, SCTV, Metro TV, atau TV One, tetapi ia pasti akan berubah. Tanpa perhatian, tetapi semua kelak akan ikut. Ahok perlu berefleksi agar jangan hanya fokus pada pemenangan pertempuran, melainkan memenangi peperangan. ●