Kemenangan Jokowi 'si Wong Solo' dan Ahok 'si minoritas' di Batavia, membuat sepak terjangnya menarik untuk diikuti. Entahlah saya merasa perlu untuk ikut memotret perjalanan Gubernur DKI Jakarta dan Wakilnya itu.
Jadi saya memutuskan untuk mendedikasikan satu label dalam blog ini dengan : "Jokowi-Ahok". Semoga Anda tidak keberatan jika postingannya hanyalah re-post dari berbagai media.
---
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau yang kerap disebut Jokowi, sering melakukan ‘blusukan’. Jokowi blusukan ke sungai-sungai, pasar tradisional ataupun ke perkampungan kumuh.
Blusukan menjadi bahan perdebatan beberapa hari terakhir, terutama setelah kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Tanjung Pasir, Tangerang, Jumat (4/1). SBY disebut meniru gaya blusukan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo.
Jadi saya memutuskan untuk mendedikasikan satu label dalam blog ini dengan : "Jokowi-Ahok". Semoga Anda tidak keberatan jika postingannya hanyalah re-post dari berbagai media.
---
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau yang kerap disebut Jokowi, sering melakukan ‘blusukan’. Jokowi blusukan ke sungai-sungai, pasar tradisional ataupun ke perkampungan kumuh.
Blusukan menjadi bahan perdebatan beberapa hari terakhir, terutama setelah kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Tanjung Pasir, Tangerang, Jumat (4/1). SBY disebut meniru gaya blusukan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo.
“Jokowi gencar blusukan. Presiden pun “ikutan” blusukan” (www.merdeka.com).
Arti Kata Bluksukan
Istilah ‘Blusukan’ tiba-tiba
menjadi sangat populer, setelah media massa mengeksposnya secara besar-besaran.
Blusukan menjadi menarik karena yang melakukannya adalah tokoh paling fenomenal
saat ini, Gubernur DKI Jakarta yang baru, JOKOWI!
Bagi kita yang tidak
mengerti Bahasa Jawa, mungkin akan bertanya-tanya, apa sebenarnya arti blusukan
itu. Jika Anda mencarinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
maka Anda akan gigit jari. Sejauh ini
‘Blusukan’ ada dalam KBBI. Namun, jika suatu hari istilah ini dipahami
secara populer, bukan mustahil ‘blusukan’ masuk dalam KBBI sebagai hasil serapan
Bahasa Jawa.
Secara asal kata, ‘blusukan’
berasal dari kata blusuk atau blesek (Bahasa Jawa) yang artinya masuk. Sejauh ini yang dikatakan sebagai ‘blusukan’nya
Jokowi adalah mendatangi masyarakat secara langsung. Jadi, blusukan dalam konteks aksi
Jokowi bisa berarti praktis: ‘sidak’, inspeksi mendadak atau bahasa politisnya ,sih, ‘turba’, turun ke
bawah, menjaring aspirasi dan melihat langsung kondisi lapangan.
Jika kita sepakat pada
pengertian diatas, maka sebenarnya aksi ‘blusukan’ bukan baru dilakukan oleh Jokowi. Namun juga
sudah sering dilakukan oleh pejabat lainnya, selain Jokowi. Hanya saja istilah
dan gaya yang dipakai berbeda. Jadi, rasanya berlebihan jika media menyebut
penjabat yang melakukan ‘turba’ adalah copycat
Jokowi. Rename ‘turba’ menjadi
‘blusukan’, bahkan oleh pejabat itu sendiri, bukan berarti mereka mengakui
telah meniru aksi Jokowi, namun semata-mata menerapkan istilah yang tengah
populer di tengah-tengah masyarakat. “Blusukan yang merupakan ‘bahasa media’, kini
menjadi bahasa publik. Kasus populernya kata
“blusukan” ini menjadi bukti ke sekian: media memang pencipta “trend setter”.
Apa yang dipopulerkan media akan menjadi populer di masyarakat (Romeltea,2013).
Blusukan ‘ala’ Jokowi
Jokowi memperkenalkan
istilah blusukan ini sejak ia masih menjadi walikota Solo. Blusukan Solo
merupakan program dari Rumah Karnaval Indonesia dalam rangka melestarikan heritage dan budaya yang dimiliki oleh
Indonesia khususnya di Kota Solo. Blusukan Solo merupakan program yang akan
mengajak peserta untuk masuk menjelajahi dan merasakan langsung kekayaan heritage dan budaya. Bentuk program ini
peserta dibawa berkeliling mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah dan
kegiatan masyarakat yang memiliki kaitan sejarah dan budaya, tak ketinggalan: wisata
kuliner.
Dengan demikian terlihat
jelas bahwa blusukan Jokowi di Jakarta tidak sama dengan blusukannya di Solo. Blusukan
Jokowi di Jakarta saat ini lebih berfokus pada pengenalan wilayah kerja untuk
memahami kondisi sebenarnya pembangunan
di Jakarta.
1.
Manajemen
kontrol
Menurut Jokowi, seorang pemimpin harus turun langsung ke
lapangan. Persoalan yang ada dapat dilihat secara langsung
dan bukan berdasarkan laporan anak buah semata, yang mungkin tidak menyajikan
kondisi yang sebenarnya. Pengamatan langsung akan memudahkan untuk menentukan
arah kebijakan serta tepat dalam mengambil keputusan apa yang harus dan akan
dilakukan.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo memerintahkan
kepada seluruh jajaran yang berada di suku dinas, camat, dan lurah beserta
anggota Satpol PP untuk sering turun ke bawah. Proses blusukan turun ke jalan,
menurutnya, dilakukan oleh pejabat agar tahu permasalahan yang sering dihadapi
oleh warga, karena merekalah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Menurut Jokowi permasalahan warga disampaikan oleh pihak ketiga akan beda
penerimaan aspirasinya.
Menurut Jokowi, yang paling penting bagi kepala daerah adalah,
yang pertama mampu mendengar keinginan dari masyarakat. "Keinginan itu
harus ditangkap, keinginan akar rumput apa, keinginan masyarakat yang ada di
bawah itu apa baru menyampaikan visi misi kita. Supaya nyambung apa kebijakan
dengan mereka.
Bagi Jokowi blusukan adalah gaya khasnya.
Menurut Jokowi, blusukan sudah dilakukannya sejak lama. Hal ini
terutama karena Jokowi sudah terbiasa mengecek pekerjaan hingga detail ketika
masih jadi pengusaha.
Kritikan Sutiyoso terhadap Blusukan Jokowi
Kita memang tidak mungkin memuaskan semua orang,
begitu pula Jokowi. Tidak semua orang suka blusukan Jokowi, salah
satunya adalah Mantan Gubernur DKI
Jakarta, Sutiyoso. Sutiyoso menganggap blusukan bukanlah tindakan nyata,
sehingga blusukan bukanlah aksi yang penting dan harus dibesar-besarkan.
Latar belakang
ketidak-setujuan Sutiyoso terhadap blusukan Jokowi, tentu berhubungan dengan
persamaan yang mereka miliki. Sutiyoso dan Jokowi, sama-sama Gubernur DKI
Jakarta, meski dalam periode yang berbeda. Persamaan ini membuat kita harus
bijak memaknai pendapat Sutiyoso. Bagaimanapun Bang Yos, sapaan akrab Sutiyoso,
sudah merasakan apa dan bagaimana menjadi pimpinan daerah sepenting DKI
Jakarta. Bisa jadi kritik Sutiyoso ini adalah input kepada Jokowi yang didasarkan pada pengalaman beliau.
Disisi lain kita juga harus
melihat latarbelakang pandangan Sutiyoso terhadap blusukan Jokowi. Perbedaan
tersebut diantaranya adalah:
a.
Beda pola kepemimpinan Sutiyoso dan Jokowi.
Sutiyoso memiliki latar
belakang militer, yang terbiasa dengan sistem doktrinasi dan struktural
birokrasi. Sedangkan Jokowi berlatar belakang pengusaha yang biasa terjun
langsung menemui masalah.
b.
Beda sistem pemilihan Sutiyoso dan Jokowi.
Sutiyoso dipilih oleh DPRD,
sementara Jokowi dipilih oleh rakyat. Tak heran jika sasaran pendekatan Bang
Yos adalah wakil rakyat bukan pada rakyatnya.
Ada yang menganggap kritikan
Sutiyoso sebagai keblasuk (Bahasa Indonesia : kesasar, salah alamat, tidak pas
dengan yang dituju). Artinya kritik tersebut seharusnya tidak layak dilakukan
karena pengkritik meski memiliki persamaan (dasar empati), menghadapi beberapa
kondisi yang berbeda dengan yang dikritiknya (sebagaimana yang diuraikan
diatas).
Kritik yang keblasuk hanya akan menjatuhkan
pengkritik itu sendiri. Apalagi orang yangdikritik itu adalah Jokowi, yang
mendapat dukungan sangat besar dari masyarakat. Dukungan tersebut, bahkan,
bukan hanya datang dari warga DKI Jakarta saja tapi juga dari seluruh Indonesia
(juga dunia). Kritikan ini malah membuat pendukungnya mengorek
kesalahan-kesalahan pengkritik, lalu membanding-bandingkannya. Kritik Sutiyoso
malah kontra produktif bagi pencitraan
dirinya yang sedang meretas jalan menuju kursi kepresidenan.
Kekurangan Blusukan Jokowi
Walau
terdengar positif dan mencengangkan. Sesuatu yang berlebihan itu memang tidak
pernah baik. Begitu pula dengan blusukan. Jika Jokowi menghabiskan waktunya
dengan blusukan, lalu bagaimana dengan kewajiban-kewajiban lainnya. Jokowi
sebagai gubernur tentu memiliki kewajiban administratif. Jangan sampai banyak
urusan terbengkalai atau tertunda hanya karena Jokowi tidak bisa ditemui untuk
sekadar menerima tanda tangannya. Bukankah tidak semua urusan administrasi bisa
diwakilkan pada sang wakil?
Bagi sebagian
kalangan pun menilai Jokowi kurang memberi perhatian pada kalangan pengusaha dan kelompok menengah, sehingga
urusan yangberkaitan dengan mreka belum tergarap.
Saya berharap, belum tergarapnya masalah-masalah
itu hanya karena faktor waktu. Bagaimanapun Jokowi-Ahok baru memimpin DKI dalam
hitungan bulan.
Aksi Jokowi-Ahok dalam 50 hari Pertama Sebagai Pasangan Gubernur.[1] (salah satu catatan pencapaian, sedikit-banyak hasil bluksukan tentunya)
1. Penataan Kampung, Hari ke-38
Gubernur Joko Widodo mulai memarkan desain
penataan kampung kumuh di Jakarta. Kampung kumuh tersebar di 360 titik.
Ditargetkan, 100 kampung diperbaiki pada tahun 2013. Menurut dia, nantinya
Jakarta seperti 1.000 kampung yang terkelola baik. "Jangan seperti
Singapura yang sekarang menyesal karena semua sudah dijadikan tower,"
ujar dia. Setiap kampung punya karakter sesuai daerahnya. Seperti Bukit Duri di
sisi rel kereta yang menjadi kampung stasiun. Setiap kampung mencakup dua RW
dengan jumlah hunian mencapai 300 unit dengan ruang terbuka hijau dan drainase.
Alokasi penataan sebesar Rp 30-50 miliar. "Tapi nanti tergantung DPRD."
2. Banjir Jakarta, Hari ke-39
Mungkin inilah salah satu yang membuat Jokowi merasakan sulitnya mengelola Ibu Kota. Dari catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, ada 2.700 keluarga di 17 kelurahan terendam banjir. Jokowi merasa belum sempat menjalankan programnya, seperti pengerukan sungai, relokasi warga, dan normalisasi kali Pesanggrahan, tapis sudah disalip banjir. "Memang baru proses pengerjaan. Sudah dikeruk, tapi keduluan sama banjir," kata Jokowi, 23 November 2012.3. Kartu Jakarta Pintar, Hari ke-47
Gubernur Joko Widodo mengunjungi SMA Yappenda, Jakarta Utara, dan SMA Santo Paskalis, Jakarta Pusat, untuk membagikan Kartu Jakarta Pintar (KJP). Sebanyak 3.013 kartu disebar pada tahap awal bagi siswa kurang mampu. Kartu KJP berbeda dengan dengan Dana BOS. KJP membantu siswa untuk kebutuhan logistik, seperti membeli buku, membayar angkutan umum, dan membeli sepatu. Setiap siswa akan mendapat Rp 240 ribu per bulan. "Ini kan baru sisa pencegahan untuk pencegahan putus sekolah dulu," kata Ahok, 29 November 2012.4. Angkutan Umum dan Macet, Hari ke-50
a.
Mass rapid transportation (MRT)
Empat pertemuan Jokowi dengan pihak PT MRT belum menyepakati pembangunannya. Jokowi mau merestui MRT bila tarif yang dibebankan ke penumpang dikurangi. Jokowi akan meminta beban pembiayaan 42 persen yang dibebankan kepada Pemda dikurangi. “Paling tidak, saya akan minta pemerintah pusat menanggung 70 persen agar beban kami tidak terlalu berat,” katanya. Bila jumlah 70 persen disetujui, harga tiket bisa lebih murah dari Rp 15 ribu. Sedangkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo belum memberikan lampu hijau.
Empat pertemuan Jokowi dengan pihak PT MRT belum menyepakati pembangunannya. Jokowi mau merestui MRT bila tarif yang dibebankan ke penumpang dikurangi. Jokowi akan meminta beban pembiayaan 42 persen yang dibebankan kepada Pemda dikurangi. “Paling tidak, saya akan minta pemerintah pusat menanggung 70 persen agar beban kami tidak terlalu berat,” katanya. Bila jumlah 70 persen disetujui, harga tiket bisa lebih murah dari Rp 15 ribu. Sedangkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo belum memberikan lampu hijau.
b.
Ruas tol dalam kota
Rencana enam ruas tol dalam kota juga urung disetujui Jokowi. Menurut dia, proyek warisan itu masih mengganjal karena tidak menunjang pembangunan transportasi massal. Untuk proyek jalan tol ini, Jokowi harus berhadapan dengan desakan Kementerian Pekerjaan Umum. Jokowi hanya setuju bila salah satu ruas dipakai untuk busway. "Kalau untuk elevated bus (bus melayang), iya. Tetapi, kalau untuk mobil pribadi,
tidak," ujar Jokowi.
Rencana enam ruas tol dalam kota juga urung disetujui Jokowi. Menurut dia, proyek warisan itu masih mengganjal karena tidak menunjang pembangunan transportasi massal. Untuk proyek jalan tol ini, Jokowi harus berhadapan dengan desakan Kementerian Pekerjaan Umum. Jokowi hanya setuju bila salah satu ruas dipakai untuk busway. "Kalau untuk elevated bus (bus melayang), iya. Tetapi, kalau untuk mobil pribadi,
tidak," ujar Jokowi.
Demikian catatan saya tentang blusukan Jokowi ini.
Semoga bermanfaat.
Marisa
Wajdi!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha