Arti penting kehadiran negara “hegemon” dalam kaitannya untuk menciptakan kerja sama antar-aktor dalam sistem internasional.
Menurut Keohane,
kehadiran negara “hegemon” hanya penting bagi awal pembentukan kerjasama. Ketika
institusi internasional yang diperlukan terbentuk, negara-negara yang tidak
bertindak sebagai hegemon akan tetap mampu menjalankan dan meningkatkan
kerjasama lebih jauh bahkan dalam lingkungan penurunan hegemonik. Secara jelas
Keohane juga mengakui adanya dampak kesinambungan rezim internasional terhadap
kemampuan negara-negara yang berbagi kepentingan untuk menjalin kerjasama dalam
kutipan berikut: “…hegemony often does
play an important role (though not essential) role in the formation of
international regimes. He bases his argument for the robustness of regimes in
part on the difficulties of “regime-creation in the absence of hegemony¬…”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara keberadaan
“hegemon”, adanya “rezim internasional”, dan terciptanya suatu “kerja sama”.
Volker
Rittberger dalam artikelnya “Power-based
theories: hegemony, distributional conflict, and relative gains”.
Menurutnya, teori stabilitas hegemon (hegemonic
stability theory) dan studi tentang rezim internasional memiliki
keterkaitan yang sangat erat dan kompleks. Keterkaitan antara teori stabilitas
hegemon dengan rezim internasional utamanya adalah karena keberadaan negara
dominan yang dalam permasalahan tertentu memberikan perhatian dalam menentukan
kapan dan mengapa rezim internasional perlu dibentuk dan secara efektif mampu
memaksa negara lain untuk mematuhi kebijakan kerjasama yang ada dengan asumsi
bahwa tanpa adanya rezim tersebut maka tujuan yang diinginkan bersama tidak
akan mungkin tercapai.
Keohane dan Volker Rittberger setuju bahwa kerjasama
antar-aktor yang terdapat dalam sistem internasional akan lebih terfasilitasi
dengan adanya rezim internasional yang mana memberikan seperangkat aturan,
norma, prinsip dan prosedur pembutan keputusan yang berfungsi memaksa para
aktor untuk bertindak sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama.
Namun, untuk dapat menciptakan sekaligus menjaga kinerja dan stabilitas dari
sebuah rezim internasional dibutuhkan peran penting negara hegemon yang dengan
kapabilitasnya (meliputi ekonomi, politik, militer,dsb.) mampu memberikan
“koersi” maupun “incentives” pada aktor lainnya dalam rezim untuk bertindak
sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam rezim tersebut sehingga pada
akhirnya akan berpengaruh terhadap kestabilan sistem internasional secara
keseluruhan.
Peran Amerika Serikat Sebagai Hegemon pada Pasca Perang Dunia II
Pasca Perang Dunia II, polaritas dan stabilitas dunia
dipengaruhi oleh dua superpower yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai
konsekuensi pemenang PD II. Keduanya memiliki perbedaan ideologi dan sama-sama
berambisi menjadi hegemon dalam
tatanan dunia baru. Namun, bila dibandingkan dengan Soviet, kekuatan hegemony
Amerika Serikat jauh lebih unggul karena kondisi perekonomian pasca perang yang
cenderung lebih stabil. Mayoritas politisi Amerika bahkan mengakui bahwa
Amerika Serikat harus mengambil tanggung jawab dalam menciptakan perekonomian
pasar dunia yang liberal , dimana ketika itu Inggris yang sebelumnya dengan
mata uang poundsterling¬ mampu
mengatur perekonomian dunia.
Langkah awal Amerika Serikat dalam mengatur
perekonomian dunia dimulai Bretton Woods.
“Bretton Woods System” membentuk
sejumlah rezim perekonomian internasional seperti International Monetary Fund
(IMF), International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau World
Bank, dan General Aggrement on Tarrifs and Trade (GATT) atau World Trade Organization (WTO). Awalnya,
kehadiran institusi-institusi perekonomian tersebut ditujukan untuk membantu
restrukturisasi ekonomi negara-negara Eropa yang secara ekonomi carut marut
akibat perang. Namun kemudian tujuan tersebut dalam penerapannya semakin bergeser
ke arah perluasan hegemoni Amerika Serikat. Hal ini dibuktikan dengan
dilakukannya sejumlah usaha lain Amerika Serikat dalam mengontrol komoditas
penting perekonomian dunia, misalnya minyak.
Strategi kontrol Amerika Serikat terhadap
komoditas minyak (oil control) dilakukan dengan melakukan intervensi terhadap
Iran dan The Anglo-Iranian Oil Company (AIOC) yang dimiliki Inggris, serta
mempersoalkan sengketa terhadap nasionalisasi terusan Suez oleh Mesir pada Juli
1956 dalam usaha pengalokasian dan pendistribusian minyak. Puncaknya, pada
periode 1948-1957, impor minyak mentah Amerika Serikat dari wilayah Timur
Tengah mencapai tiga kali lipat dan justru berbalik mengancam minyak domestik.
Keadaan tersebut akhirnya memaksa Amerika Serikat pada Maret 1959 untuk
memberlakukan kuota impor dengan menaikkan harga minyak domestik di atas harga
minyak dalam pasar internasional. Namun, di tahun 1970 keadaan kembali berbalik
mengancam perekonomian Amerika Serikat ketika negara-negara Timur Tengah
melakukan embargo minyak terhadap Amerika Serikat sebagai “hukuman” atas
keterlibatannya dalam membantu Israel melawan Palestina yang mengakibatkan
sejumlah bisnis di Amerika Serikat collapse, dan membuat presiden Nixon harus
mengambil kebijakan floating-exchaged
rated system terhadap nilai tukar dollar untuk menyelamatkan cadangan emas
AS. Hal ini menandai berakhirnya “Bretton Woods System” sekaligus melemahnya
hegemoni Amerika Serikat dalam perekonomian internasional seiring adanya
defisit neraca perdagangan dalam negeri AS di tahun 1970-an.
Referensi:
Rittberger, Volker. (1997). Power-based theories:
hegemony, distributional conflict, dan relative gains. New York: Cambridge
University Press,pp.83-135.
Sorensen,Georg. (1999). Pengantar Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, pp.227-277.
Semoga bermanfaat.
Marisa
Wajdi!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha