Jumat, 22 Februari 2013

Kerjasama Hegemonik Pada Pasca Perang Dunia II


Arti penting kehadiran negara “hegemon” dalam kaitannya untuk menciptakan kerja sama antar-aktor dalam sistem internasional.


Menurut Keohane, kehadiran negara “hegemon” hanya penting bagi awal pembentukan kerjasama. Ketika institusi internasional yang diperlukan terbentuk, negara-negara yang tidak bertindak sebagai hegemon akan tetap mampu menjalankan dan meningkatkan kerjasama lebih jauh bahkan dalam lingkungan penurunan hegemonik. Secara jelas Keohane juga mengakui adanya dampak kesinambungan rezim internasional terhadap kemampuan negara-negara yang berbagi kepentingan untuk menjalin kerjasama dalam kutipan berikut: “…hegemony often does play an important role (though not essential) role in the formation of international regimes. He bases his argument for the robustness of regimes in part on the difficulties of “regime-creation in the absence of hegemony¬…”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara keberadaan “hegemon”, adanya “rezim internasional”, dan terciptanya suatu “kerja sama”.

Volker Rittberger dalam artikelnya “Power-based theories: hegemony, distributional conflict, and relative gains”. Menurutnya, teori stabilitas hegemon (hegemonic stability theory) dan studi tentang rezim internasional memiliki keterkaitan yang sangat erat dan kompleks. Keterkaitan antara teori stabilitas hegemon dengan rezim internasional utamanya adalah karena keberadaan negara dominan yang dalam permasalahan tertentu memberikan perhatian dalam menentukan kapan dan mengapa rezim internasional perlu dibentuk dan secara efektif mampu memaksa negara lain untuk mematuhi kebijakan kerjasama yang ada dengan asumsi bahwa tanpa adanya rezim tersebut maka tujuan yang diinginkan bersama tidak akan mungkin tercapai.

Keohane dan Volker Rittberger setuju bahwa kerjasama antar-aktor yang terdapat dalam sistem internasional akan lebih terfasilitasi dengan adanya rezim internasional yang mana memberikan seperangkat aturan, norma, prinsip dan prosedur pembutan keputusan yang berfungsi memaksa para aktor untuk bertindak sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama. Namun, untuk dapat menciptakan sekaligus menjaga kinerja dan stabilitas dari sebuah rezim internasional dibutuhkan peran penting negara hegemon yang dengan kapabilitasnya (meliputi ekonomi, politik, militer,dsb.) mampu memberikan “koersi” maupun “incentives” pada aktor lainnya dalam rezim untuk bertindak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam rezim tersebut sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kestabilan sistem internasional secara keseluruhan.

Peran Amerika Serikat Sebagai Hegemon pada Pasca Perang Dunia II

Pasca Perang Dunia II, polaritas dan stabilitas dunia dipengaruhi oleh dua superpower yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai konsekuensi pemenang PD II. Keduanya memiliki perbedaan ideologi dan sama-sama berambisi menjadi hegemon dalam tatanan dunia baru. Namun, bila dibandingkan dengan Soviet, kekuatan hegemony Amerika Serikat jauh lebih unggul karena kondisi perekonomian pasca perang yang cenderung lebih stabil. Mayoritas politisi Amerika bahkan mengakui bahwa Amerika Serikat harus mengambil tanggung jawab dalam menciptakan perekonomian pasar dunia yang liberal , dimana ketika itu Inggris yang sebelumnya dengan mata uang poundsterling¬ mampu mengatur perekonomian dunia.

Langkah awal Amerika Serikat dalam mengatur perekonomian dunia dimulai Bretton Woods.  “Bretton Woods System” membentuk sejumlah rezim perekonomian internasional seperti International Monetary Fund (IMF), International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau World Bank, dan General Aggrement on Tarrifs and Trade (GATT) atau  World Trade Organization (WTO). Awalnya, kehadiran institusi-institusi perekonomian tersebut ditujukan untuk membantu restrukturisasi ekonomi negara-negara Eropa yang secara ekonomi carut marut akibat perang. Namun kemudian tujuan tersebut dalam penerapannya semakin bergeser ke arah perluasan hegemoni Amerika Serikat. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya sejumlah usaha lain Amerika Serikat dalam mengontrol komoditas penting perekonomian dunia, misalnya minyak.

Strategi kontrol Amerika Serikat terhadap komoditas minyak (oil control) dilakukan dengan melakukan intervensi terhadap Iran dan The Anglo-Iranian Oil Company (AIOC) yang dimiliki Inggris, serta mempersoalkan sengketa terhadap nasionalisasi terusan Suez oleh Mesir pada Juli 1956 dalam usaha pengalokasian dan pendistribusian minyak. Puncaknya, pada periode 1948-1957, impor minyak mentah Amerika Serikat dari wilayah Timur Tengah mencapai tiga kali lipat dan justru berbalik mengancam minyak domestik. Keadaan tersebut akhirnya memaksa Amerika Serikat pada Maret 1959 untuk memberlakukan kuota impor dengan menaikkan harga minyak domestik di atas harga minyak dalam pasar internasional. Namun, di tahun 1970 keadaan kembali berbalik mengancam perekonomian Amerika Serikat ketika negara-negara Timur Tengah melakukan embargo minyak terhadap Amerika Serikat sebagai “hukuman” atas keterlibatannya dalam membantu Israel melawan Palestina yang mengakibatkan sejumlah bisnis di Amerika Serikat collapse, dan membuat presiden Nixon harus mengambil kebijakan floating-exchaged rated system terhadap nilai tukar dollar untuk menyelamatkan cadangan emas AS. Hal ini menandai berakhirnya “Bretton Woods System” sekaligus melemahnya hegemoni Amerika Serikat dalam perekonomian internasional seiring adanya defisit neraca perdagangan dalam negeri AS di tahun 1970-an.

Referensi:
Rittberger, Volker. (1997). Power-based theories: hegemony, distributional conflict, dan relative gains. New York: Cambridge University Press,pp.83-135.
Sorensen,Georg. (1999). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, pp.227-277.

Semoga bermanfaat.

Marisa Wajdi!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha