Keinginan mayoritas manusia adalah untuk membebaskan
diri dari kemiskinan dan kemudian ikut terlibat dalam usaha membangun dunia,
terutama dalam hubungannya dengan politik internasional, Robert Gilpin (1987).
Kemiskinan (poverty) telah lama menjadi
permasalahan bagi manusia. Adanya dikotomi antara negara ”Utara” dan “Selatan”
membuat terjadinya friksi-friksi ekonomi internasional. Negara Utara identik
dengan teknologi, perkembangan ekonomi yang maju, modernisasi yang pesat, danindustrialisasi
yang pesat. Negara Selatan justru mengangkat isu ”equality” antara
negara kaya dengan negara berkembang.
Perbedaan perspektif kaum Liberalis (teori modernisasi) dan Marxis (teori
dependensi) dalam menyikapi isu kekayaan (wealth), equility yang
kemudian berkembang menjadi isu ketergantungan (dependency), dan development.
TEORI MODERNISASI Berdasarkan Perspektif Liberalisme
Liberalis mempercayai bahwa interaksi ekonomi antarnegara bersifat saling
menguntungkan dan harmonis. Menurut liberalisme,
perekonomian dunia merupakan faktor yang menguntungkan bagi perkembangan
ekonomi sebuah negara. Interdependensi dan hubungan antara perekonomian negara
yang maju dengan negara yang belum maju
(LDC/Less Developed Countries) mengurangi sebagian “beban” bagi
negara-negara berkembang. Melalui perdagangan, bantuan internasional, dan
investasi luar negeri, LDC memperoleh pasar ekspor, modal (capital), dan
teknologi yang dapat digunakan untuk perkembangan ekonomi (Gilpin, 1987:265).
Liberalisme juga mempercayai bahwa interdependensi
yang terjadi dalam perekonomian dunia didasarkan pada konsep perdagangan bebas
(free trade), spesialisasi, dan international division of labour (Gilpin,
1987:266). Aliran modal, barang, serta teknologi meningkatkan optimalisasi
efisiensi dalam alokasi sumber daya yang kemudian turut “menularkan” kemajuan
di negara-negara Utara terhadap negara-negara berkembang di Selatan.
Perdagangan merupakan elemen “mesin pertumbuhan” (engine of growth)
dimana LDC medapatkan aliran modal, barang, dan teknologi dari negara-negara
maju. Negara maju pun memperoleh bahan mentah dengan harga murah yang sebagian
besar menjadi sumber daya negara berkembang.
Teori modernisasi menerima
tanpa kritik struktur hubungan antara negara kaya dan negara miskin. Dalam pandangan teori ini, underdevelopment merupakan
hasil yang murni dari hubungan luar negeri negara itu sendiri. Modernisasi
diartikan sebagai proses transformasi. Dalam rangka mencapai status modern,
struktur dan nilai-nilai tradisional secara total diganti dengan seperangkat
struktur dan nilai-nilai modern. Modernisasi juga merupakan proses sistematik
yang melibatkan perubahan pada hampir segala aspek tingkah laku sosial,
termasuk di dalamnya industrialisasi, diferensiasi, sekularisasi, sentralisasi,
dsb.
Ciri-ciri pokok teori modernisasi[1]:
- Modernisasi merupakan
proses bertahap.
- Modernisasi juga
dapat dikatakan sebagai proses homogenisasi.
- Modernisasi terkadang
mewujud dalam bentuk lahirnya, sebagai proses Eropanisasi dan
Amerikanisasi, atau modernisasi sama dengan Barat.
- Modernisasi juga
dilihat sebagai proses yang tidak bergerak mundur.
- Modernisasi merupakan
perubahan progresif
- Modernisasi
memerlukan waktu panjang. Modernisasi dilihat sebagai proses evolusioner,
dan bukan perubahan revolusioner.
Implikasi kebijaksanaan pembangunan yang perlu diikuti
Dunia Ketiga dalam usaha memodernisasikan dirinya[2]:
- Menjadikan Amerika
Serikat dan negara-negara Eropa Barat sebagai model dan panutan.
- Menyarankan
pembangunan ekonomi, meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional,
dan melembagakan demokrasi politik.
- Memberikan legitimasi
tentang perlunya bantuan asing, melalui investasi produktif dan pengenalan
nilai-nilai modern.
TEORI DEPENDENSI Berdasarkan Perspektif Marxis Klasik
Pemikiran Marxis klasik didasarkan pada pemikiran Karl Marx dan Engels yang mengaitkan transisi masyarakat Eropa dari feodalisme - kapitalisme
– sosialisme (Gilpin, 1987:272). Marxis mempercayai adanya underdevelopment
position, teori yang mempercayai bahwa kaum kapitalis perekonomian
internasional akan beroperasi secara sistemik dan mengubah perekonomian LDC.
Negara yang kaya akan memiliki kontrol atas negara-negara dunia ketiga dan
kemiskinannya. Marxis menganggap interaksi yang
dihasilkan bersifat konfliktual dan penuh eksploitasi (Gilpin, 1987:265).
Arghiri Emmanuel (1972) dalam Gilpin (1987) mendefinisikannya kontrol
negara kaya tersebut sebagai unequal exchange. Pandangan ini
kemudian berkembang menjadi pandangan strukturalisme yang memiliki argumentasi
khusus terhadap liberalisme. Strukturalisme mengkritisi liberalisme dengan
mengungkapkan bahwa kaum kapitalis liberal dalam perekonomian dunia hanya akan
meningkatkan kesenjangan antara perekonomian maju dan yang kurang maju (Gilpin,
1987:274).
Underdevelopment (Hoogvelt (1997)) merupakan hasil dari
proses sejarah yang sama dengan negara yang sekarang kapitalis. Dalam pandangan
ini, struktur ekonomi dan sosial yang terdistorsi telah terbentuk pada negara
negara kolonial yang akan membentuk stagnasi perekonomian dan kemiskinan yang
ekstrim. Distorsi ekonomi sendiri berimplikasi pada dua hal, yaitu subordinasi
ekonomi pada struktur negara kapitalis serta external orientation dan
ketergantungan yang ekstrim pada pasar overseas. Sedangkan
dari distorsi sosial, teori ketergantungan mengacu pada dua fitur utama, yaitu
aliansi kelas antara para pemilik modal asing (comprador) dan perubahan
bentuk yang ekstrim pada ketidakseimbangan sosial.
Istilah dependensi sendiri memiliki hubungan erat dengan
pertumbuhan industri. Theotonio Dos
Santos, mendefinisikan dependensi sebagai keadaan ekonomi suatu negara yang
dikondisikan melalui perkembangan dan perluasan terhadap ekonomi tertentu.
Adanya hubungan negara-negara dalam perdagangan dunia, dimana ada negara
dominan yang memberi pengaruh dan negara tidak dominan yang mendapat pengaruh
baik positif dan negatif (Dos Santos (1970) dalam Gilpin, 1987:231).
Teori dependensi atau teori ketergantungan merupakan
analisis tandingan terhadap teori modernisasi. Teori ketergantungan memiliki
saran yang radikal karena teori ini berada dalam paradigma neo-Marxis. Sikap
radikal ini analog dengan perkiraan Marx tentang akan adanya
pemberontakan kaum buruh terhadap kaum majikan dalam sistem industri
kapitalisme. Marx mengungkapkan kegagalan kapitalisme dalam membawa
kesejahteraan bagi masyarakat namun sebaliknya membawa kesengsaraan. Penyebab
kegagalan kapitalisme adalah penguasaan akses terhadap sumber daya dan faktor
produksi menyebabkan eksploitasi terhadap kaum buruh yang tidak memiliki akses.
Eksploitasi ini harus dihentikan melalui proses kesadaran kelas dan perjuangan
merebut akses sumber daya dan faktor produksi untuk menuju tatanan masyarakat
tanpa kelas.
Teori ini lebih menitikberatkan pada persoalan
keterbelakangan dan pembangunan negara Dunia Ketiga. Dalam hal ini, dapat
dikatakan bahwa teori ketergantungan mewakili “suara negara-negara pinggiran”
untuk menantang hegemoni ekonomi, politik, budaya, dan intelektual dari negara
maju. Teori ini mencermati hubungan dan keterkaitan negara Dunia Ketiga,
sebagai negara periphery, dengan negara core di Barat
sebagai hubungan yang tak berimbang dan karenanya hanya menghasilkan akibat
yang akan merugikan Dunia Ketiga.
Sehingga pada intinya perbedaan mendasar Teori Ketergantungan dengan teori
Liberalisme adalah bahwa Teori
Ketergantungan memberikan anjuran yang sama sekali berbeda. Teori ini
menganjurkan agar negara berupaya secara terus menerus untuk mengurangi
ketergantungan negara pinggiran dengan negara sentral, sehingga memungkinkan
tercapainya pembangunan yang dinamis dan otonom, sekalipun proses dan
pencapaian tujuan ini mungkin memerlukan revolusi sosialis.
Referensi:
Frieden, Jeffrey A. (2006). "Decolonization and
Development". Dalam Global Capitalism: Its Fall and Rise in The
Twentieth Century. New York: W. W. Norton & Co. Inc. Hal. 301-320.
Gilpin, Robert. (1987). "The Issue of Dependency
and Economic Development". Dalam The Political Economy of
International Relations. Princeton: Princeton University Press. Hal.
263-305.
Hoogvelt, Ankie. (1997). "Neo-colonialism, Modernisation
and Dependency". Dalam Globalization and The Postcolonial World:
The New Political Economy of Development. Baltimore: The John Hopkins
University Press. Hal. 29-43.
http://putrinyaperwira-fisip09.web.unair.ac.id/artikel_detail-64046-Ekonomi%20Politik%20Internasional-IdeIde%20Alternatif%20dalam%20Tatanan%20Perekonomian%20Internasional%20PascaPerang%20Dunia%20II.html
Semoga bermanfaat.
Marisa
Wajdi!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha