Teori-teori Pemungutan Pajak
Berikut ini adalah beberapa teori yang memberikan justifikasi hak kepada
negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah :
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya.
Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu
premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
Asuransi
sebagai salah satu teori pemungutan pajak , suatu negara dalam melaksanakan
tugasnya, mencakup pula tugasnya untuk melindungi jiwa raga dan harta benda
perindividu. Oleh
karena itu, negara diibaratkan dengan perusahaan asuransi. Maka keselamatan dan
keamanan jiwanya dilindungi oleh negara.[3] Dalam asuransi yang
wajib dibayarkan adalah premi, sedangkan dalam suatu negara yang wajib dibayarkan oleh masing–masing
individu adalah pajak.
Teori asuransi ini sebagai teori pemungutan pajak sudah tidak lagi
digunakan, apabila premi diartikan sama dengan pajak. kurang tepat, karena
premi dalam teori ini seharusnya sama dengan retribusi yang kontra-prestasinya
dapat dirasakan secara langsung oleh pemberi premi.Sedangkan pajak, konra-prestasinya
tidak dapat dirasakan secara langsung,sebagaimana pengertian dari pajak
sendiri.
2. Teori
Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan
pada kepentingan(misalnya perlindungan) masing-masing orang, semakin besar
kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.
Menurut
Teori ini, pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan individu, yang diperoleh
dari pekerjaan negara.[4] Semakin banyak
individu mengeyam atau menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar
pula pajaknya. Walaupun
teori ini masih berlaku pada retribusi, akan tetapi sulit untuk dipertahankan, karena seseorang
yang miskin dan pengangguran yang banyak memperoleh bantuan dari pemerintah dan
menikmati banyak sekali jasa dari pekerjaan negara, justru mereka malah enggan membayar pajak.
3. Teori Daya Pikul
Teori ini
mengemukakan bahwa semua orang dalam pembebanan pajak harus sama beratnya,
artinya pajak harus dibayarkan sesuai dengan daya pikul masing–masing individu. Definisi dari daya pikul berbeda – beda,
akan tetapi substansinya sama, menurut Prof.W.J
de langen yaitu besarnya kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan
kebutuhan setinggi- tingginya, setelah dikurangi dengan yang mutlak kebutuhan
primer ( biaya hidup yan sangat mendasar ). Menurut Mr. A.J. Cohan Stuat adalah daya pikul itu diumpakan sebuah
jembatan, yang pertama–tama harus dapat memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba
untuk dibebani dengan beban yang lain.
·
Unsur
objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki
oleh seseorang.
·
Unsur
subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus
dipenuhi.
4. Teori Bakti/ Kewajiban
Mutlak
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dapat
negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu
menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
Teori
ini didasari paham organisasi negara (organische staatsleer) yang mengajarkan
bahwa negara sebagai
organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum.
Negara harus mengambil tindakan atau keputusan yang diperlukan termasuk
keputusan dibidang pajak. Menurut sifat ini maka negara
mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda
baktinya.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut
pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah
tangga negara. Selanjutnya negara akam menyalurkannya kembali ke masyarakat
dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan
seluruh masyarakat lebih diutamakan.
Teori ini menekankan bahwa pembayaran pajak
yang dilakukan kepada Negara.yang dimaksudkan untuk memelihara masyarakat pada negara yang bersangkutan. Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard
Burton, teori ini memiliki
sifat yang universal dan berlaku diseluruh dunia. Karena memungut pajak berarti menarik
daya beli rumah tangga masyarakat untuk negara. Dengan kata lain, kemaslahatan suatu masyarakat akan
tetap terjamin dengan adanya pembayaran pajak berdasarkan teori gaya beli ini.
6. Teori Kedaulatan Negara
Teori ini juga sebagai reaksi dari
kedaulatan rakyat, tetapi melangsungkan teori kedaulatan raja dalam suasana
kedaulatan rakyat. Menurut
paham ini, negaralah sumber dalam negara. Dari itu negara (dalam arti government=pemerintah) dianggap
mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap life, liberty dan property dari
warganya. Warga negara bersama-sama hak miliknya tersebut, dapat dikerahkan
untuk kepentingan kebesaran negara. Mereka taat kepada hukum tidak karena suatu
perjanjian tapi karena itu adalah kehendak negara.
Hal ini
terutama diajarkan oleh madzhab Deutsche
Publizisten Schule, yang memberikan konstruksi pada kekuasaan raja Jerman
yang mutlak, pada suasana teori kedaulatan rakyat.
Kuatnya kedudukan raja
karena mendapat dukungan yang besar dari 3 golongan yaitu:
1. Armee
(angkatan perang).
2.
Junkertum (golongan idustrialis).
3.
Golongan Birokrasi ( staf pegawai negara).
Sehingga
praktis rakyat tidak mempunyai kewenangan apa-apa dan tidak memiliki
kedaulatan. Oleh karena itu menurut sarjana-sarjana Deutsche Publizisten Schule kedaulatan bulat pada rakyat. Tetapi
wewenang tertinggi tersebut berada pada negara. Sebenarnya negara hanyalah
alat, bukan yang memiliki kedaulatan. Jadi ajaran kedaulatan negara ini adalah
penjelamaan baru dari kedaulatan raja. Karena pelaksanaan kedaulatan adalah
negara, dan negara adalah abstrak maka kedaulatan ada pada raja.
7. Teori Perjanjian
Perjanjian
adalah peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Melalui
perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan
kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Dengan kata lain,
para pihak terkait untuk mematuhi perjanjian yang telah mereka buat tersebut.
Dalam hal ini fungsi perjanjian sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya
berlaku khusus untuk para pembuatnya saja. Secara hukum, perjanjian dapat
dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi pelaku
pelanggaran perjanjian atau ingkar janji (wanprestasi).
Pembagian dan Pengelompokkan Pajak
Pajak dibagi dalam beberapa
golongan, sifat dan lembaga pemungutnya. Menurut Mardiasmo (2003)
”pengelompokkan pajak dibagi atas:
Pajak
Menurut Golongan
1.
Pajak
Langsung
Pajak yang pembebanannya tidak dapat
dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi
harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan, dan biasanya terhutang untuk suatu periode atau
masa. Contoh Pajak Langsung adalah Pajak Penghasilan (PPh). 12
2.
Pajak Tidak
Langsung
Pajak yang
pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain, dan biasanya terhutang
setiap saat kejadian atau transaksi.
Contoh Pajak
Tidak Langsung adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Bea Balik Nama.
Pajak Menurut Sifatnya
Pajak menurut sifatnya dibagi
menjadi:
1.
Pajak
Subjektif
Pajak yang
berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan
Wajib Pajak.
Contoh Pajak
Subjektif adalah Pajak Penghasilan (PPh).
2.
Pajak
Objektif
Pajak yang
berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan Wajib
Pajak.
Contoh Pajak
Objektif adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Tata Cara Pemungutan Pajak menurut Lembaga Pemungutannya
1. Pajak Pusat
Pajak yang
dipungut oleh pemerintah pusat dalam hal ini di Negara kita dipungut oleh
Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat
Jenderal Bea dan cukai (DJBC) dan digunakan untuk membiayai rumah tangga
Negara.
Contoh Pajak
Pusat adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB), Bea Materai, Bea Cukai, Bea Masuk. 13
2.
Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Daerah dan digunakan untuk
pembiayaan rumah tangga Daerah baik di Tingkat I maupun II ( Propinsi maupun Kabupaten/Kota).
Pajak Daerah
terbagi atas:
a.
Pajak
Propinsi
Contoh Pajak Propinsi: Pajak Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
b.
Pajak
Kabupaten/Kota.
ContohPajak Kabupaten/Kota: Pajak Hotel,
Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan”
Syarat-syarat Pemungutan Pajak
Menurut Adam Smith yang dalam Waluyo
& Ilyas (2007) menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada:
1. Keadilan (Equality)
Pembagian tekanan pajak di antara
subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya,
yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, dibawah perlindungan
pemerintah.
Dalam asas ”equality” ini tidak
diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama Wajib
Pajak. Dalam keadaan yang sama, para Wajib Pajak harus dikenakan besarnya pajak
yang sama pula.
2. Kepastian (Certainty)
Pajak yang harus dibayar oleh
seseorang harus pasti (certain) dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ”certainty”
ini kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek dan objek
pajak, besarnya pajak yang terutang, dan juga ketentuan mengenai waktu
pembayarannya harus pasti.
3. Kemudahan (Confinience of Payment)
Pajak hendaknya dipungut pada saat
yang paling baik bagi Wajib Pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat
diterimanya penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak.
4. Ekonomi (Economic of Collection)
Pemungutan pajak hendaknya
dilakukan sehemat (seefisien) mugkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak
lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri. Karena tidak ada artinya
pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pajak yang
diperoleh.
Tata Cara Pemungutan Pajak
Hukum pajak mengatur tentang stelsel pemungutan pajak, asas pemungutan
pajak dan sistem pemungutan pajaknya. Mardiasmo (2006) menyatakan ”pemungutan
pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel, yaitu:
1. Stelsel Nyata (Riel Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada
objek atau penghasilan yang sungguh-sungguh diperoleh dalam setiap tahun pajak
atau periode pajak. Dengan demikian
besarnya pajak baru dapat dihitung pada akhir tahun atau periode pajak, karena
penghasilan riil baru dapat diketahui setelah tahun pajak atau periode pajak
berakhir.
2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada
suatu anggapan (fiksi). Anggapan yang dimaksud di sini dapat bemacam-macam
jalan pikirannya tergantung peraturan perpajakan yang berlaku. Anggapan
tersebut dapat berupa anggaran pendapatan tahun berjalan atau diasumsikan
penghasilan tahun pajak berjalan sama dengan penghasilan tahun pajak yang lalu.
3. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi
antara stelsel riil dengan stelsel fiktif. Pada awal tahun pajak
atau periode pajak penghitungan pajak menggunakan stelsel fiktif dan pada akhir
tahun pajak atau akhir periode dihitung kembali berdasarkan stelsel riil.
Kelemahan dari stelsel campuran
adalah adanya tambahan pekerjaan administrasi karena penghitungan pajak
dilakukan dua kali yaitu pada awal dan
akhir tahun atau periode pajak.
Asas
pemungutan pajak dibedakan atas:
1. Asas domisili (Asas Tempat Tinggal)
Dalam asas ini pemungutan pajak
berdasarkan pada domisili atau tempat tinggal
Wajib Pajak dalam suatu Negara. Negara di mana Wajib Pajak bertempat tinggal berhak memungut pajak
terhadap Wajib Pajak tanpa melihat dari
mana pendapatan atau penghasilan tersebut diperoleh, baik
dari dalam Negeri maupun Luar
Negeri dan tanpa melihat kebangsaan/kewarganegaraan
Wajib Pajak tersebut.
2. Asas Sumber
Dalam asas ini pemungutan pajak
didasarkan pada sumber pendapatan/penghasilan dalam suatu Negara. Menurut asas
ini, Negara yang menjadi sumber
pedapatan/penghasilan tersebut berhak memungut pajak tanpa memperhatikan domisili dan
kewarganegaraan Wajib Pajak.
3. Asas Kebangsaan
Dalam asas ini, pemungutan pajak
didasarkan pada kebangsaan atau kewarganegaraan
dari Wajib Pajak, tanpa harus melihat darimana sumber pendapatan/penghasilan tersebut maupun di
Negara mana tempat tinggal (domisili)
dari Wajib Pajak yang bersangkutan”.
Sistem Pemungutan Pajak
Sistem Pemungutan Pajak terdiri
dari tiga sistem yaitu:
1. Official Assessment System (OAS)
Adalah suatu sistem pemungutan yang
memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak
terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
1. Wewenang
untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
2. Wajib Pajak
bersifat pasif.
3. Utang pajak
timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak.
2. Self Assessment System (SAS)
Adalah suatu sistem pemungutan
pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri
besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
1. Wewenang
untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri.
2. Wajib Pajak
aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang.
3. Fiskus tidak
ikut campur dan hanya mengawasi.
3. Withholding System
Adalah suatu sistem pemungutan
pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib
Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh
Wajib Pajak.
Ciri-cirinya: wewenang menentukan
besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan
Wajib Pajak” .
Referensi:
Bohari , Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada , 1995
Ilyas, Wirawan B. dan Richard
Burton, Hukum Pajak, Jakarta: PT.
Salemba Emban Patria, 2004
Mardiasmo,
Andi, Perpajakan, Yogyakarta: 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha