Pariwisata merupakan sektor padat karya. Sektor ini mampu menciptakan pekerjaan paling banyak diantara sektor lainnya, karena sektor ini bisa dimasuki oleh penduduk: tua-muda; perempuan-laki-laki; atau pendidikan rendah-pendidikan tinggi. Publikasi International Labor Organization (ILO,2008), menyatakan bahwa sektor pariwisata mampu menyumbangkan 30 persen dari jasa ekspor dunia. Masih menurut catatan ILO (2010), sektor ini mampu menyediakan 235 juta pekerjaan, atau 8 persen dari seluruh jumlah pekerjaan yang ada dalam perekonomian global.
Namun demikian, walaupun pariwisata sudah lama diduga memiliki kemampuan yang sangat kuat dalam menciptakan pekerjaan, hanya sedikit negara yang memiliki statistik bermakna mengenai pekerjaan dalam industri kepariwisataan. Tanpa data, sulit untuk memantau pengembangan dan upaya berbagai analisa yang berkaitan dengan pariwisata.
Pada masa lalu, peran pariwisata di Indonesia hanya diukur melalui devisa yang didapatkan dari pembelanjaan oleh wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia. Namun ternyata, wisatawan domestik mampu menjadi sumber utama pendapatan dari pembelanjaan wisatawan. Hal ini diperkuat oleh penelitian Eijgelaar (2010), yang mengatakan bahwa angka pariwisata domestik bila digabungkan dengan angka kedatangan internasional, maka Indonesia termasuk dalam sepuluh negara paling banyak dikunjungi di dunia. Total pembelanjaan wisatawan internasional di Indonesia pada tahun 2008 mencapai Rp. 80,46 triliun. Nilai ini menduduki tempat keempat dalam pendapatan devisa sesudah migas, minyak kelapa dan karet olahan. Nilai pembelanjaan wisatawan asing yang fantastis tersebut ternyata masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai pembelanjaan wisatawan domestik, yaitu sebesar Rp. 119,17 triliun. Pada tahun 2008, sektor pariwisata mampu menyumbang 6,89 persen dari jumlah kesempatan kerja nasional. Pariwisata juga berefek terhadap produksi barang dan jasa sebesar 4,81 persen; menambah nilai tambah bruto sebesar 4,49 persen dari PDB Indonesia; dan menyumbang 4,25 persen dari pendapatan nasional dari pajak (BPS,2008).
Data-data diatas membuktikan besarnya peran pariwisata dalam dimensi ekonomi. Sektor pariwisata memiliki rantai pasokan ekonomi yang panjang. Namun dalam memotret pariwisata Indonesia, perlu memilah pangsa pasarnya. Pasar pariwisata yang ada di Indonesia sangat bervariasi, sehingga perlu memilahnya menjadi pasar pariwisata high-end dan pasar pariwisata low-end. Kedua pasar pariwisata ini memposisikan Indonesia dalam posisi paradoks, sehingga penanganan keduanya ini menjadi sangat berbeda. Bila dilihat dari multiplier effect-nya, maka pasar pariwisata high-end memiliki multiplier effect yang lebih besar bila dibandingkan dengan pasar pariwisata low-end. Tingkat produktivitas tenaga kerja pariwisata high-end sangat besar dibandingkan dengan pariwisata low-end. Para pekerja di pariwisata high-end mendapat income yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pekerja pariwisata low-end. Namun demikian, tantangan dalam pariwisata high-end adalah ketatnya persaingan dalam memperebutkan porsi pasar pariwisata internasional. Peningkatan daya saing ini sangat berkaitan dengan kualitas pelayanan pariwisata secara menyeluruh. Tenaga kerja yang bisa memasuki sektor pariwisata high-end harus memenuhi kualifikasi yang tinggi, sehingga hanya mampu menyerap sedikit supply tenaga kerja yang ada. Nesparnas, BPS Indonesia (2008), menunjukkan bahwa mereka yang bekerja di sektor industri yang terkait pariwisata kebanyakan adalah lulusan sekolah menengah atau lebih rendah. Hanya 14,39 persen yang merupakan lulusan lembaga pendidikan tinggi. Padahal, pasar pariwisata low-end Indonesia, dengan pelayanan seadanya, justru mampu memberi peluang yang lebih besar bagi tenaga kerja dengan pendidikan dan kompetensi yang rendah. Kelemahan dari pariwisata high-end adalah kegiatannya yang hanya mencakup klaster yang terbatas, sedangkan pariwisata low-end secara geografis lebih tersebar, mencakup wilayah yang lebih luas dan menyertakan sektor informal dalam perekonomian lokal. Kemampuan dalam penyerapan tenaga kerja di sektor informal inilah yang menjadi kelebihan utama dari pasar pariwisata low-end Sektor informal dalam pariwisata mampu membuka peluang bagi masyarakat untuk menciptakan pekerjaan sendiri, memproduksi barang dan jasa bagi memenuhi kebutuhan wisatawan. Meskipun dalam banyak kasus, pendapatan sektor informal tidak besar, namun sektor informal menjadi pintu masuk bagi penduduk yang sulit memasuki pasar kerja formal. Mereka ini biasanya merupakan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan dan kualifikasi kompetensi yang rendah.
Berbagai kajian menunjukkan korelasi yang kuat antara tingkat pendidikan yang rendah dengan status penduduk miskin. Dengan kata lain, sektor pariwisata (terutama low-end) membuka peluang bagi masyarakat miskin untuk menciptakan pekerjaannya sendiri dan meningkatkan daya ekonominya. Dengan demikian, baik langsung maupun tidak langsung dengan pengembangan pariwisata low-end maka tingkat kemiskinan masyarakatpun akan tereduksi.
Berdasarkan teori basis ekonomi, sektor pariwisata diasumsikan sebagai sektor basis atau sektor yang mampu mendatangkan pendapatan dari penduduk non domestik. Artinya, sektor ini perlu dilirik terutama bagi daerah-daerah yang tidak memiliki sumber kekayaan sektor primer. Sektor parwisata merupakan sektor yang mampu diciptakan, bukan sesuatu yang “given”. Kondisi sosial-budaya Indonesia yang kaya merupakan modal utama dalam penciptaan sektor pariwisata. Para ekonom memprediksikan bahwa parwisata sangat berpotensi sebagai penghasil devisa non migas, terutama saat cadangan sektor primer yang tak terbarukan menurun dan habis.
Selain sebagai penggerak ekonomi, ternyata sektor pariwisata dipercaya mampu mengurangi tingkat urbanisasi. Pariwisata dengan tujuan ini biasanya diawali dengan membangun kecintaan masyarakat terhadap wilayah/lingkungannya. Konsep ini disebut sebagai pariwisata berbasis masyarakat, dimana masyarakat yang memegang peranan aktif, mendapatkan manfaat seluas-luasnya dan menjadi bagian utama dari pariwisata itu sendiri. Salahsatu daerah yang mampu menjadikan pariwisata berbasis masyarakat adalah Bali. Selain memiliki keindahan alam, Bali juga memiliki adat istiadat masyarakat yang menjadi daya tarik sebagai destinasi wisata.
Namun sayangnya, dari sebegitu besarnya potensi yang dimiliki oleh sektor pariwisata, upaya pengembangannya masih sangat minim. Lebih dari 90 persen pekerjaan diciptakan langsung untuk melayani wisatawan. Kegiatan terkait investasi atau lainnya, termasuk pemasaran dan promosi jauh lebih kecil (BPS, Nesparnas, 2003) dari pada yang diciptakan atau yang dibutuhkan.
Pariwisata menyimpan potensi yang luar biasa. Bagai batu akik yang menunggu untuk diasah. Pariwisata adalah industri yang dapat dibentuk dan diciptakan, dari tiada menjadi ada. Namun semuanya itu tidak akan terwujud jika ‘investasi’ tidak masuk dalam kamus kita!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha