Setiap weekend Putri pulang ke rumah ibu. Ibu tinggal seorang diri di Bandung. Putri yang beruntung, mendapatkan pekerjaan di Jakarta bahkan sebelum diwisuda.
Pagi itu Putri menghabiskan waktu berdua dengan ibunya di taman. Sambil memotongi batang-batang anggrek Putri bercerita tentang bosnya dikantor.
Ibu berkata, ”Wah, dari ceritamu Ibu bisa merasakan bahwa bosmu itu orang yang hebat. Dia bisa membangun anak buahnya sekaligus masih punya energi untuk membangun dirinya sendiri. Kamu beruntung!”
“Sangat!” sergah sang anak. “ Beliau merupakan motivator yang baik, karena selain mau membagi ilmu, dia juga pantas untuk dijadikan teladan, semua yang dikatakannya juga dilakukannya. Sama sekali bukan golongan OMDO Bu!”
“Kalau memang bos mu itu hebat, kenapa masih diposisinya sekarang, kalau Ibu dengar ceritamu seperti beliau layak untuk berada di posisi yang lebih tinggi,” sahut Ibu sambil sedikit mengernyitkan keningnya.
“Nah, kalau Ibu dengar alasannya pasti Ibu lebih salut lagi pada bosku.” Ibu terlihat semakin tertarik, karena sang anak menggantungkan kalimatnya. “Sebelum kerja di perusahaan sekarang, bosku sudah kerja di perusahaan pertambangan minyak, dengan kemampuannya beliau sudah mendapatkan posisi yang baik di usia yang muda.”
“Lho bukannya perusahaan minyak itu prospeknya bagus, lalu apa dia punya masalah?” tanya Ibu semakin penasaran.
“Bukan Bu, beliau keluar dari perusahaan tersebut karena Ibunya menyuruhnya pulang dan tinggal di rumah menemaninya. Padahal demi tinggal dengan ibunya dia harus melepaskan semua yang sudah dia dapatkan.”
“Kenapa Ibu itu egois sekali ya, padahal mungkin untuk mendapatkan kesuksesan saat itu tidak mudah ya?”
“Iya, tapi Ibunya bilang, kalau kamu memang hebat, kalau kamu memang cakap, dimanapun kamu berada kamu akan tetap jadi orang hebat. Dan kamu tidak perlu mendapat pengakuan dari orang lain kalau kau hebat dan banyak uang.”
Ibu mengangguk-angguk setuju. Ada senyum kecil disana. Sebenarnya ibu pun menginginkan putrinya itu untuk tinggal lagi bersama dia. Meninggalkan pekerjaannya yang berada di luar kota. Namun Ibu agak ragu, apakah anaknya bisa sehebat sang Bos.
Mawar tidak perlu disebut harum, baru bisa mengeluarkan wangi. Hutan tak menunggu disebut paru-paru dunia untuk membagi oksigennya. Lalu mengapa kita menahan diri untuk menunjukkan kehebatan kita hanya karena tidak ada orang yang menyebut kita hebat.
Comments
Post a Comment
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha