Selasa, 29 Januari 2013

SEJARAH REDENOMINASI DI INDONESIA 1946-2013


REDENOMINASI FOBIA



Fobia adalah rasa takut yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena.  Fobia bisa dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya. Bagi sebagian orang, perasaan takut seorang pengidap Fobia sulit dimengerti. Itu sebabnya, pengidap tersebut sering dijadikan bulan bulanan oleh teman sekitarnya. Ada perbedaan "bahasa" antara pengamat fobia dengan seorang pengidap fobia. Pengamat fobia menggunakan bahasa logika sementara seorang pengidap fobia biasanya menggunakan bahasa rasa. [i]

Merujuk pada pengertian diatas, tak salah jika banyak pihak bisa disebut sebagai redenominasi/ sanering/ devaluasi fobia. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemerintah tahun 2012 lalu kembali melempar wacana redenominasi. Rupanya ketakutan yang muncul karena dilatarbelakangi pengalaman masa lalu.
Pengalaman apa sih yang membuat beberapa kalangan menjadi merasa fobia dengan redenominasi atau sanering atau devaluasi ?

Berikut sejarahnya...


Oktober 1946

Upaya mengatur mata uang untuk pertama kalinya terjadi pada bulan Oktober 1946. Umur Indonesia waktu itu baru 1 tahun, wajar jika mata uang para penjajah masih wara-wiri dalam perekonomian Indonesia.  Gulden, mata uang NICA, saat itu masih berlaku sebagai alat tukar. Namun nilainya yang sedikit, membuat nilai Gulden semakin tinggi. Sedangkan mata uang Jepang, sebagai penjajah terakhir, saat itu beredar dalam jumlah yang sangat banyak. Akibatnya nilai mata uang Jepang sangat rendah. Sementara itu, masa-masa penjajahan Jepang membuat bangsa Indonesia tidak produktif. Supply barang sangat sedikit, sementara uang yang beredar sangat banyak. Kondisi itu adalah kondisi yang sangat sehat untuk menumbuhkan inflasi, inflasi melonjak luar biasa.  Karenanya kelebihan uang beredar dijadikan tersangka utama biang kerok inflasi. Satu-satunya jalan menyelesaikan inflasi adalah dengan mengatur kembali jumlah uang beredar. Caranya dengan mengganti uang NICA dan uang Jepang menjadi uang Indonesia. Uang tersebut adalah uang nasional pertama, yang dinamai Oeang Republik Indonesia (ORI).

 10 Maret 1950

Sanering pertama agaknya tidak terlalu berhasil. Terbukti di tahun 1950 uang NICA dan dan uang De Javasche Bank  masih juga beredar, padahal sanering pertama telah berupaya untuk menarik semua uang ‘eks penjajah’ dengan ORI. Produksi barang di Indonesia pasca merdeka ternyata belum bisa meningkat secara signifikan.  Jumlah barang yang diproduksi masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Adapun teknologi pencetakan uang masih sangat sederhana, tak ayal aksi pencetakan uang palsu menjadi sangat marak. Akibatnya inflasi sangat tinggi dan tidak bisa dikendalikan.

Saat itu Menteri Keuangan Kabinet Hatta II adalah Sjafruddin Prawiranegara, dari Partai Masyumi. Sjafruddin menerapkan suatu kebijakan “gunting Sjafruddin”. Pada saat itu uang ORI disebut "uang putih" sedangkan uang uang NICA disebut "uang merah".  Tertanggal 10 Maret 1950, Sjafruddin ‘memerintahkan’ agar uang merah yang bernilai diatas Rp. 5,- digunting menjadi dua. Hanya bagian kiri dari guntingan tersebut yang berlaku sebagai nilai tukar. Itupun nilainya hanya setengah dari nilai sebelumnya. Aturan ini berlaku baik bagi uang yang beredar secara fisik, maupun uang yang berada dalam simpanan bank.  Sementara itu uang yang bagian kanan dapat ditukarkan ke bank sebagai obligasi negara dengan nilai setengahnya dari yang tercantum. Obligasi tersebut baru bisa diambil kembali 40 tahun mendatang dengan bunga sebesar 3 persen per tahun. Kebijakan ini adalah langkah dalam menyelesaikan masalah utang negara yang bertumpuk dan kas negara yang minim. Sjafruddin meneruskan semangat sanering pertama yaitu membuat mata uang nasional menjadi satu-satunya mata uang yang berlaku dalam perekonomian domestik Indonesia.

Jadi ada tiga point penting dalam “gunting  Sjafruddin” ini, yaitu :
       Pertama, mengefisienkan perdagangan dengan menyeragamkan mata uang.
       Kedua, mengurangi  jumlah uang yang beredar dan menekan laju inflasi.
       Ketiga, mengisi kas negara dengan ‘memaksa’ masyarakat menyimpan sebagian uangnya di bank.

25 Agustus 1959

Walaupun banyak pengamat ekonomi mengatakan kebijakan “gunting Sjafruddin” berhasil, namun sembilan tahun kemudian Indonesia kembali dihadapkan pada sanering berikutnya. Sanering ketiga terjadi tahun 1959, yang dikenal dengan nama "politik pengebirian uang". Istilah tersebut sangat tepat karena salah satu tujuannya adalah  untuk mengurangi jumlah peredaran uang terutama yang dimiliki oleh orang-orang kaya. Karena selain meredenominasi uang pecahan ‘besar’ pemerintah juga membekukan deposito  diatas Rp. 25.000,-

Bila melihat bentuknya, bisa dikatakan kebijakan tahun 1959 ini adalah redenominasi mata uang, karena hanya mengurangi 1 digit nol. Uang kertas bernilai Rp. 500,-  diubah menjadi Rp. 50,- dan Rp 1.000,- menjadi  Rp. 100. Sayangnya, kondisi ekonomi dan politik Indonesia saat itu sedang tidak sehat. Konsentrasi pemerintah terpecah antara penyelesaian masalah internasional, dan masalah konflik sosio –politik nasional.

19 Desember 1965

Melemahnya perekonomian Indonesia terus berlangsung hingga tahun 1965. Jika nilai tukar Rupiah pada tahun 1959 terhadap US$ adalah Rp. 45,-, maka pada tahun 1965 nilai tukar kita adalah Rp. 35.000. Angka yang fantastik!.

Pemerintah saat itu masih berkutat dengan masalah-masalah politik dalam dan luar negeri, sehingga penguatan pembangunan ekonomi menjadi terabaikan. Presiden Soekarno yang berkuasa sejak tahun 1945,  masih melakukan aksi-aksi politik luar negeri. Walau perjuangan merebut Irian Barat telah berhasil di tahun 1963, Soekarno masih sibuk berkonfrontasi dengan Malaysia.  Untuk memperkuat posisinya secara politik di dalam negeri Soekarno menggalang kekuatan dengan menggandeng TNI dan PKI. Sayangnya kepercayaan Soekarno pada PKI  dikhianati dengan pemberontakan yang dikenal sebagai G30SPKI.  

Kisruhnya  kondisi politik  dan makin terabaikannya ekonomi membuat negara berada dalam kondisi ‘terpuruk”. Akhir tahun 1965, tepatnya 19  Desember 1965, wakil perdana menteri III, Chairul Saleh  mencoba menyelesaikan masalah ekonomi dengan memberlakukan redenominasi. Uang senilai Rp. 1000,- ditukar dengan Rp.1,-.  Sayangnya kebijakan tersebut tidak didukung oleh perangkat ekonomi lainnya. Akibatnya di tahun 1966 inflasi meloncat sampai titik 650 persen. 

? 2013

Saat  ini Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu, Agus Martowardoyo, dan Gubernur Indonesia, Darmin Nasution, tergerak untuk memberlakukan redenominasi (lagi). Tahun 2013 dianggap waktu yang tepat karena tahun2 013 akan ada kebijakan penarikan uang lusuh untuk ditukar dengan uang baru. Memadukan kebijakan uang baru dengan redenominasi bisa mengefisienkan anggaran pencetakan uang. Pencetakan uang ini meliputi 50 persen uang pecahan lama, 50 persen uang pecahan baru. BI meyakinkan terjaminnya mekanisme sehingga tidak akan mempengaruhi jumlah uang beredar dan tidak akan  menambah anggaran terlalu besar.

Jika menelaah pada sejarah sebelumnya, terlihat bahwa redenominasi, sanering atau devaluasi mata uang Rupiah di negara kita tidak selalu berakhir dengan kegagalan. Kalaupun gagal, toh, saat ini kita sudah mampu mencari sebabnya.

Agaknya pantas jika orang yang tidak setuju pada redenominasi saat ini, kita diagnosa mengidap gejala fobia. Takut untuk hal yang tidak perlu ditakuti.

Sejarah sudah mengajari kita.

Mosok kalah sama keledai, jatuh pada lubang yangsama dua kali...

Go for it, govt!
We trust you, don’t fail us!  


[i] http://id.wikipedia.org/wiki/fobia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha