REDENOMINASI FOBIA
Fobia adalah rasa takut yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena. Fobia bisa
dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya. Bagi sebagian
orang, perasaan takut seorang pengidap Fobia sulit dimengerti. Itu sebabnya,
pengidap tersebut sering dijadikan bulan bulanan oleh teman sekitarnya. Ada
perbedaan "bahasa" antara pengamat fobia dengan seorang pengidap
fobia. Pengamat fobia menggunakan bahasa logika sementara seorang pengidap
fobia biasanya menggunakan bahasa rasa. [i]
Merujuk pada pengertian
diatas, tak salah jika banyak pihak bisa disebut sebagai redenominasi/
sanering/ devaluasi fobia. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemerintah tahun 2012
lalu kembali melempar wacana redenominasi. Rupanya ketakutan yang muncul karena
dilatarbelakangi pengalaman masa lalu.
Pengalaman apa sih yang
membuat beberapa kalangan menjadi merasa fobia dengan redenominasi atau
sanering atau devaluasi ?
Berikut sejarahnya...
Oktober 1946
Upaya mengatur mata uang untuk pertama kalinya terjadi pada bulan
Oktober 1946. Umur Indonesia waktu itu baru 1 tahun, wajar jika mata uang
para penjajah masih wara-wiri dalam perekonomian Indonesia. Gulden, mata uang NICA, saat itu masih berlaku
sebagai alat tukar. Namun nilainya yang sedikit, membuat nilai Gulden semakin
tinggi. Sedangkan mata uang Jepang, sebagai penjajah terakhir, saat itu beredar
dalam jumlah yang sangat banyak. Akibatnya nilai mata uang Jepang sangat
rendah. Sementara itu, masa-masa penjajahan Jepang membuat bangsa Indonesia
tidak produktif. Supply barang sangat sedikit, sementara uang yang beredar sangat
banyak. Kondisi itu adalah kondisi yang sangat sehat untuk menumbuhkan inflasi,
inflasi melonjak luar biasa. Karenanya
kelebihan uang beredar dijadikan tersangka utama biang kerok inflasi.
Satu-satunya jalan menyelesaikan inflasi adalah dengan mengatur kembali jumlah
uang beredar. Caranya dengan mengganti uang NICA dan uang Jepang menjadi uang
Indonesia. Uang tersebut adalah uang nasional pertama, yang dinamai Oeang
Republik Indonesia (ORI).
10 Maret 1950
Sanering pertama agaknya tidak terlalu berhasil. Terbukti di tahun 1950
uang NICA dan dan uang De Javasche Bank masih juga beredar, padahal
sanering pertama telah berupaya untuk menarik semua uang ‘eks penjajah’ dengan
ORI. Produksi barang di Indonesia pasca merdeka ternyata belum bisa meningkat
secara signifikan. Jumlah barang yang diproduksi
masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Adapun teknologi pencetakan
uang masih sangat sederhana, tak ayal aksi pencetakan uang palsu menjadi sangat
marak. Akibatnya inflasi sangat tinggi dan tidak bisa dikendalikan.
Saat itu Menteri Keuangan Kabinet Hatta II adalah Sjafruddin Prawiranegara,
dari Partai Masyumi. Sjafruddin menerapkan suatu kebijakan “gunting Sjafruddin”.
Pada saat itu uang ORI disebut "uang putih" sedangkan uang uang
NICA disebut "uang merah". Tertanggal 10 Maret 1950, Sjafruddin
‘memerintahkan’ agar uang merah yang bernilai diatas Rp. 5,- digunting menjadi
dua. Hanya bagian kiri dari guntingan tersebut yang berlaku sebagai nilai tukar.
Itupun nilainya hanya setengah dari nilai sebelumnya. Aturan ini berlaku baik
bagi uang yang beredar secara fisik, maupun uang yang berada dalam simpanan
bank. Sementara itu uang yang bagian
kanan dapat ditukarkan ke bank sebagai obligasi negara dengan nilai setengahnya
dari yang tercantum. Obligasi tersebut baru bisa diambil kembali 40 tahun
mendatang dengan bunga sebesar 3 persen per tahun. Kebijakan ini adalah langkah
dalam menyelesaikan masalah utang negara yang bertumpuk dan kas negara yang
minim. Sjafruddin meneruskan semangat sanering pertama yaitu membuat mata uang
nasional menjadi satu-satunya mata uang yang berlaku dalam perekonomian domestik
Indonesia.
Jadi ada tiga point penting dalam “gunting
Sjafruddin” ini, yaitu :
Pertama, mengefisienkan perdagangan dengan menyeragamkan mata uang.
Kedua, mengurangi jumlah uang yang
beredar dan menekan laju inflasi.
Ketiga, mengisi kas negara dengan ‘memaksa’
masyarakat menyimpan sebagian uangnya di bank.
25 Agustus 1959
Walaupun banyak pengamat ekonomi mengatakan kebijakan “gunting Sjafruddin”
berhasil, namun sembilan tahun kemudian Indonesia kembali dihadapkan pada
sanering berikutnya. Sanering ketiga terjadi tahun 1959, yang dikenal dengan
nama "politik pengebirian uang". Istilah tersebut sangat tepat
karena salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah peredaran uang terutama yang
dimiliki oleh orang-orang kaya. Karena selain meredenominasi uang pecahan ‘besar’
pemerintah juga membekukan deposito
diatas Rp. 25.000,-
Bila melihat bentuknya, bisa dikatakan kebijakan tahun 1959 ini adalah
redenominasi mata uang, karena hanya mengurangi 1 digit nol. Uang kertas
bernilai Rp. 500,- diubah menjadi
Rp. 50,- dan Rp 1.000,- menjadi Rp. 100.
Sayangnya, kondisi ekonomi dan politik Indonesia saat itu sedang tidak sehat. Konsentrasi
pemerintah terpecah antara penyelesaian masalah internasional, dan masalah konflik
sosio –politik nasional.
19 Desember 1965
Melemahnya perekonomian Indonesia terus berlangsung hingga tahun 1965. Jika
nilai tukar Rupiah pada tahun 1959 terhadap US$ adalah Rp. 45,-, maka pada
tahun 1965 nilai tukar kita adalah Rp. 35.000. Angka yang fantastik!.
Pemerintah saat itu masih berkutat dengan masalah-masalah politik dalam dan
luar negeri, sehingga penguatan pembangunan ekonomi menjadi terabaikan. Presiden
Soekarno yang berkuasa sejak tahun 1945, masih melakukan aksi-aksi politik luar negeri.
Walau perjuangan merebut Irian Barat telah berhasil di tahun 1963, Soekarno masih
sibuk berkonfrontasi dengan Malaysia. Untuk memperkuat posisinya secara politik di
dalam negeri Soekarno menggalang kekuatan dengan menggandeng TNI dan PKI. Sayangnya
kepercayaan Soekarno pada PKI dikhianati
dengan pemberontakan yang dikenal sebagai G30SPKI.
Kisruhnya
kondisi politik dan makin
terabaikannya ekonomi membuat negara berada dalam kondisi ‘terpuruk”. Akhir
tahun 1965, tepatnya 19 Desember 1965,
wakil perdana menteri III, Chairul Saleh mencoba menyelesaikan masalah ekonomi dengan memberlakukan
redenominasi. Uang senilai Rp. 1000,- ditukar dengan Rp.1,-. Sayangnya kebijakan tersebut tidak didukung oleh
perangkat ekonomi lainnya. Akibatnya di tahun 1966 inflasi meloncat sampai titik
650 persen.
? 2013
Saat ini Menteri Keuangan Kabinet
Indonesia Bersatu, Agus Martowardoyo, dan Gubernur Indonesia, Darmin Nasution, tergerak
untuk memberlakukan redenominasi (lagi). Tahun 2013 dianggap waktu yang tepat
karena tahun2 013 akan ada kebijakan penarikan uang lusuh untuk ditukar dengan
uang baru. Memadukan kebijakan uang baru dengan redenominasi bisa mengefisienkan
anggaran pencetakan uang. Pencetakan uang ini meliputi 50 persen uang pecahan lama,
50 persen uang pecahan baru. BI meyakinkan terjaminnya mekanisme sehingga tidak
akan mempengaruhi jumlah uang beredar dan tidak akan menambah anggaran terlalu besar.

Agaknya pantas jika orang yang tidak setuju pada redenominasi saat
ini, kita diagnosa mengidap gejala fobia. Takut untuk hal yang tidak perlu ditakuti.
Sejarah sudah mengajari kita.
Mosok kalah sama keledai, jatuh pada lubang yangsama dua kali...
Go for it, govt!
We trust you, don’t fail us!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha