Sabtu, 19 Januari 2013

Honda, Cinta Membuatnya Bertahan dalam Setiap Kegagalan



Soichiro Honda lahir tanggal 17 November 1906 di Iwatagun (kini Tenrryu City) yang terpencil di Shizuoka prefecture. Ia adalah anak sulung dari sembilan bersaudara. Ayahnya bernama Gihei Honda adalah seorang tukang besi yang beralih menjadi pengusaha bengkel sepeda. Berperan besar dalam menumbuhkan minat Soichiro pada mesin kendaraan bermotor.

Sebagai anak sulung Soichiro  sering membantu ayahnya. Di bengkel, ia bertugas mencabuti paku dengan menggunakan chatut. Selain itu, Soichiro  senang bermain di tempat penggilingan padi. Ia selalu terpesona setiap mendengar dengungan  mesin dan melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya. Di usia 8 tahun, ia mengayuh sepeda sejauh 10 mil, hanya untuk menyaksikan pesawat terbang.


Soichiro bukan lah anak yang suka bersekolah, ia hanya meminati sains. Saat kelas lima dan enam, kelas-kelas sains di Jepang sudah membahas baterai, timbangan, tabung reaksi dan mesin, materi yang sangat disukai oleh Soichiro.Minatnya pada mesin tidak main-main. Ketika usianya 12 tahun, Soichiro berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki.

Suatu hari, Soichiro melihat mobil. Soichiro berlari mengejar mobil itu dan berhasil bergayut sebentar di belakangnya. Ketika mobil itu berhenti, pelumas menetes ke tanah, ia menciumi tanah yang dibasahinya lalu mengusapkannya ke tangan dan lengan. Itulah saat dimana ia merasa benar-benar jatuh cinta pada mobil.

Soichiro hanya bersekolah sampai SMP. Suatu hari Soichiro mendapati sebuah majalah milik ayahnya: ‘The World of Wheels’. Kebetulan majalah memuat iklan lowongan pekerjaan. Soichiro memanfaatkannya dengan baik. Di umur 15 tahun, Soichiro hijrah ke Jepang untuk bekerja di Hart Shokai Company.


Minat dan pengetahuan Soichiro terhadap mesin membuat perusahaannya sangat puas. Menurut Soichiro  perlakuan dan pekerjaan yang ditimpakan kepadanya selama bekerja di bengkel itu merupakan ujian ketabahan yang paling berat. Masa-masa menjadi kacung itulah yang membuat Soichiro kuat dan kehilangan rasa takut. Setelah enam tahun bekerja, bosnya menawarkan Honda untuk membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu.

Saat di  Hamamatsu, Soichiro banyak menangani ruji-ruji yang rusak. Tak heran karena pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu yang tidak baik meredam goncangan. Ia mencoba mengganti bahan ruji kayu dengan logam. Ternyata hasilnya memuaskan. Perusahaan-perusahaan Jepang segera mengekspor jari-jari logam itu sampai ke India. Pada umur 25 tahun ia memperoleh keuntungan 1.000 yen sebulan. Di usia 30, Soichiro menandatangani patennya yang pertama.


Setelah menciptakan ruji, Soichiro ingin melepaskan diri dari bosnya dan membuat usaha bengkel sendiri. Namun untuk memulai bisnis sendiri, ia harus memiliki spesialisasi. Maka ia pun mulai bereksperimen, hingga akhirnya tahun 1938 ia berhasil menciptakan ring pinston. Lalu ia menawarkannya ke Toyota yang sudah maju di bidang industri otomotif. Sayang, Toyota menolak. Menurut Toyota, ring buatan Soichiro tidak memenuhi standar, tidak lentur dan tidak akan laku dijual. Penolakan Toyota membuatnya sakit. Dua bulan kemudian Soichiro bangkit kembali memimpin bengkelnya. Tapi, Soichiro masih penasaran akan ring pinston-nya yang ditolak itu.  Untuk memperbaikinya Soichiro yang tidak suka sekolah, berani kuliah lagi. Namun setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia dikeluarkan karena dianggap jarang mengikuti kuliah. Kepada rektornya, ia mengatakan bahwa tujuannya kuliah bukan mencari ijasah, tapi mencari ilmu. Ia tidak memerlukan penjelasan yang tidak membawa pengetahuan baru baginya

Walau DO dari perkuliahan, bukan berarti kerja keras Soichiro meneliti ring pinston berakhir. Berkat kerja kerasnya, desain ring pinston-nya akhirnya diterima Toyota.  Namun nasib baik belum berpihak, saat ia akan mendirikan pabrik ternyata Jepang tidak bersedia memberi dana. Saat itu Jepang tengah bersiap untuk berperang. Tak kehabisan langkah, Soichiro pun mengumpulkan modal dari sekelompok orang. Sayang, suasana perang tidak bersahabat dengan usaha manufakturnya, pabriknya terbakar hingga dua kali. Tak patah semangat, Soichiro kembali mengumpulkan karyawannya. Ia memerintahkan mereka untuk mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat. Kaleng-kaleng itu dijadikan bahan untuk mendirikan pabrik. Untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak, gempa bumi mengguncang Jepang, lalu menghancurkan pabriknya kembali. Kehabisan energi Soichiro lalu menjual pabrik ring pinstonnya ke Toyota.


Menyerah pada ring pinston, Soichiro mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal. Tahun 1947, Jepang kekurangan bensin pasca perang, kondisi ekonomi Jepang pun porak-poranda. Akibatnya Soichiro tidak dapat menjual mobilnya, sampai-sampai ia tidak mampu membeli makanan untuk keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda. Ternyata idenya itu banyak diminati. Saat Soichiro kehabisan stok, ia berpikir untuk mendirikan pabrik lagi, kali ini pabrik motor. Disinilah peruntungan Soichiro dimulai, dan semua kegagalan yang dijalaninya berkali-kali diganjar dengan kesuksesan yang luar biasa. Cintanya pada mesin, membuatnya tidak pernah menyerah, walau kegagalan terjadi bertubi-tubi. Cinta itulah yang membuatnya sanggup bertahan. 

***

Selama hidupnya Soichiro terkenal sebagai penemu. Ia memegang hal paten lebih dari 100 penemuan pribadi. Soichiro mengundurkan diri tahun 1973 dan sejak itu pula Honda pindah ke pasaran kendaraan beroda empat untuk bisa tetap mengembangkan jumlah penghasilan perusahaan. Ketika mengundurkan diri, penghasilan Soichiro mendekati 1,7 miliar dolar.


Bagi Soichiro, masa depan industri Jepang bukan ditentukan oleh kecepatan produksi barang, tetapi oleh mutu barang yang dibuat dan pengaruhnya terhadap kepentingan sesama manusia.
Pesan itulah yang dipegang oleh perusahaan Honda sampai sekarang.

"Perusahaan-perusahaan besar yang hanya mengejar keuntungan besar, memberi peluang bagi perusahaan kecil seperti Honda untuk membuat barang baik". 

 




1 komentar:

Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha