Dalam tulisan saya sebelumnya,
tentang fobia redenominasi, saya memaparkan
perjalanan sejarah redenominasi Indonesia. Kali ini saya mencoba memaparkan
secara ringkas definisi dari redenominasi, sanering dan devaluasi. Istilah-istilah ekonomi tersebut
adalah istilah yang berkaitan dengan perubahan mata uang. Namun bentuk
ketiganya memiliki perbedaan mendasar. Perbedaan yang ada bisa memiliki
implikasi yang berbeda pula. Sebagai masyarakat pengguna mata uang tidak salah
jika kita memahami definisi ketiga jenis kebijakan tersebut. Setidaknya kita
bisa memasang strategi yang tepat saat salah satu dari kebijakan itu diterapkan
oleh pemerintah. Bagaimanapun program pemerintah tidak akan pernah sukses tanpa
ada dukungan dari seluruh masyarakat.
1. SANERING
Definisi
|
:
|
Sanering (berasal dari bahasa Belanda)yang berarti pemotongan nilai mata uang sekaligus nilai tukarnya
|
Penyebab
|
:
|
inflasi
yang sangat tinggi (hiperinflasi),
kondisi makro ekonomi dalam keadaan tidak sehat
|
Dampak
|
:
|
turunnya
daya beli karena menurunnya nilai riil uang
|
Ilustrasi
|
:
|
Misalnya
negara memberlakukan kebijakan sanering Rp. 1.000,- menjadi Rp. 1.
Sebelum sanering uang Rp 1.000 dapat membeli beras 1 kg, setelah diberlakukan sanering uang Rp 1 ternyata tidak cukup lagi untuk membeli 1 kg beras. Salah satu peristiwa sanering yang traumatis bagi bangsa Indonesia terjadi pada tahun 1965. Kerugian besar akibat sanering tersebut dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Para pedagang dan produsen tidak bisa membeli/memproduksi barang lagi karena modalnya terpangkas, akibatnya supply barang berkurang. Saat demand barang tetap, sementara daya beli menurun, maka inflasi justru memburuk. Lebih lengkapnya Anda bisa baca kembali “Fobia Redenominasi” (*iklan*). |
2. REDENOMINASI
Definisi
|
:
|
menyederhanakan
angka nominal pada mata uang dengan cara membuang beberapa digit nol
|
Penyebab
|
:
|
Perbedaan
mendasar redenominasi dengan sanering ada pada saat penerapan kebijakan.
Sanering biasanya dilakukan untuk tindakan mengurangi jumlah uang yang beredar,
yang diharapkan bisa menekan inflasi.
Kondisi ini biasanya terjadi saat kondisi makro ekonomi sedang tidak
sehat. Sebaliknya redenominasi merupakan kebijakan moneter yang justru
mensyaratkan keadaan kondisi makro ekonomi yang stabil, dimana laju pertumbuhan
positif, inflasi terkendali. Redenominasi ini merupakan langkah yang harus
diambila karena inflasi (walaupun rendah) yang terjadi secara gradual dalam
waktu yang lama akan menurunkan nilai uang secara nyata.
Jika alasan redenominasi adalah inflasi, rasio
konversi dapat lebih besar dari 1. Biasanya merupakan bilangan positif kelipatan
sepuluh, seperti 10, 100, 1000, dst. Itulah sebabnya redenominasi disebut
sebagai ‘penghilangan nol’
|
Dampak
|
:
|
dalam teori ekonomi, redenominasi
tidak akan berdampak pada perubahan nilai riil uang, sehingga daya beli tidak akan berubah
|
Ilustrasi
|
:
|
Wacana
yang digulirkan Bank Indonesia di tahun 2012 ini adalah menghilangkan tiga
digit nol pada tiap pecahan rupiah. Uang Rp. 100.000,- ditukar menjadi Rp. 100,-. Jika uang Rp. 100.000,- saat ini bisa
membeli 10 kg beras, maka
setelah redenominasi uang Rp. 100,- tetap dipakai untuk membeli 10 kg beras.
|
3. DEVALUASI
Definisi
|
:
|
menyesuaikan nilai mata uang dalam negeri
dengan menurunkan nilainya terhadap mata uang asing atau acuan
|
Penyebab
|
:
|
inflasi
yang sangat tinggi (hiperinflasi)
|
Dampak
|
:
|
Devaluasi
dilakukan biasanya karena nilai uang mendapat intervensi (misalnya oleh pemerintah).
Upaya mengembalikan nilai uang kepada nilai sebenarnya
mengakibatkan’seolah-olah’ nilai uang berubah.
|
Ilustrasi
|
:
|
Misalnya
Rupiah (Rp.) terhadap Dollar Amerika Serikat (US$).
Nilai tukar Rp. dengan US$ terus mengalami fluktuasi dari waktu ke
waktu. Nilai tukar yang tidak stabil tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai
transaksi luar negeri. Bagi pelaku bisnis, terutama dalam kegiatan yang
berkaitan dengan transaksi luar negeri (ekspor-impor), kondisi ini sangat
beresiko. Salah perhitungan dalam memprediksi nilai tukar bisa menimbulkan
kerugian yang besar. Selain itu, kondisi ini membuka peluang bagi para
spekulan-spekulan yang mengambil keuntungan dengan menciptakan gimmick ekonomi. Jika ini terjadi,
yang dirugikan bukan hanya pengusaha, masyarakat pada umumnya, tapi juga
negara.
Sebagai contoh: untuk membangun suhu ekonomi yang kondusif Pemerintah Orde Baru sering menetapkan kurs tetap (fixed currency). Kurs tetap mengakibatkan Rp. Tidak lagi mencerminkan nilai riil-nya. Agar nilai tukar kembali merepresentasikan nilai riil-nya, pemerintah perlu merevisi kurs tetap secara berkala. |
Demikian
penjelasan ringkas yang berhasil saya simpulkan dari berbagai sumber. Semoga
bermanfaat.
Marisa
Wajdi !!!
Terima kasih banyak ibu penjelasannya sangat bermanfaar :)
BalasHapus