Starbucks awalnya hanya toko kecil pengecer biji kopi yang
telah disangrai. Gairah Jerry Baldwin dan Gordon Bowker, pendiri Starbucks, terhadap kopi-kopi
berkualitas membuat Howard Schultz tertarik. Ia pun ikut bergabung ke dalam Starbucks. Pengalaman yang
dimilikinya sebagai General Manager di Hammarplast membuat Schultz berusaha memperbaiki
keadaan Starbucks dan melakukan
pembaruan. Namun, tidak semua orang bersedia untuk berubah. Apalagi untuk
sesuatu hal yang baru dan belum pernah mereka lakoni.
Schultz, suatu hari datang dengan ide, mengganti Starbucks
dari toko penjual biji kopi, menjadi bar espresso bergaya Italia. Saat itu Starbucks
tengah berada dalam lilitan hutang. Para pemilik lainnya keberatan dengan ide
Schultz tersebut. Ketidak pastian adalah pilihan terakhir yang akan mereka
ambil dalam keadaan seperti itu.
Rupanya, penolakan rekan-rekannya dalam Starbucks tak
menyurutkan keyakinannya akan konsep bar espresso. Lalu ia mencari investor
untuk mencari dana. Ia tak mau mengulangi kesalahan Starbucks yang berhutang
untuk mendanai usahanya. Usaha Schultz tidaklah mudah. Dari 242 orang yang
ditemuinya, 212 orang menolaknya, melecehkannya dan menganggapnya gila.
“Gila! Satu
setengah dolar hanya untuk secangkir kopi? Orang Amerika tidak akan mau
mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk secangkir kopi.” Begitulah kira-kira
tanggapan orang-orang yang ditemuinya. Untungnya Schultz tidak berhenti percaya
pada intuisinya. Hingga akhirnya ia berhasil mengumpulkan dana yang bisa ia
gunakan untuk membeli Starbucks.
Masalah ternyata tidak berhenti sampai disitu. Tidak
hanya pendiri Starbucks yang tidak siap dengan perubahan, bahkan para
karyawannya pun demikian. Mereka menghadapi perubahan dengan sikap sinis dan
curiga.
Ternyata Scultz cukup matang dalam merencanakan perubahan
Starbucks. Ia merangkul para karyawan dengan kekeluargaan. Bahkan Schultz
percaya ‘sense of belonging ‘ dari
pada karyawannya akan menjadi landasan kuat bagi keberhasilan Starbucks, maka
Schultz pun menawarkan opsi saham bagi karyawan-karyawannya. Semua orang
menjadi giat bekerja, tidak hanya Schultz dan para investor yang ingin Starbucks
maju, tapi juga para karyawannya.
Merubah Starbucks
tidak hanya sekadar merubah komoditas yang dijual, tapi juga merubah hubungan
antara penjual dan pembeli. Alih-alih
hanya menawarkan secangkir kopi , Starbucks juga menawarkan suasana yang hangat
dan nyaman. Itulah yang membuat orang
tak ragu berkumpul di Starbucks, walau harga kopinya relatif lebih mahal
dibandingkan bar espresso lainnya. Dalam buku biografinya, Schultz membuka kunci kesuksesannya yaitu : Pour
Your Heart Into It.
Cintai pekerjaanmu.
*me note:
Saya pernah membaca buku Dee, "Filosofi Kopi"
Apakah Dee terinspirasi oleh Jerry Baldwin dan Gordon Bowker?
Dua pemuda yang penuh gairah dalam seni pembuatan kopi.
Kalau memang demikian, saya kira tak heran jika keduanya tidak setuju dengan perubahan Schultz.
Terutama Bowker, yang ia cintai adalah proses mendapatkan biji kopi berkualitas.
Sedangkan Schultz, berkonsentrasi bagaimana kopi itu disuguhkan.
Pour it into your heart, pour your heart into it.
*me note:
Saya pernah membaca buku Dee, "Filosofi Kopi"
Apakah Dee terinspirasi oleh Jerry Baldwin dan Gordon Bowker?
Dua pemuda yang penuh gairah dalam seni pembuatan kopi.
Kalau memang demikian, saya kira tak heran jika keduanya tidak setuju dengan perubahan Schultz.
Terutama Bowker, yang ia cintai adalah proses mendapatkan biji kopi berkualitas.
Sedangkan Schultz, berkonsentrasi bagaimana kopi itu disuguhkan.
Pour it into your heart, pour your heart into it.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha