Minggu, 20 Januari 2013

Kunci Sukses Starbuck


Starbucks awalnya hanya toko kecil pengecer biji kopi yang telah disangrai. Gairah Jerry Baldwin dan Gordon Bowker,  pendiri Starbucks, terhadap kopi-kopi berkualitas membuat Howard Schultz tertarik. Ia pun ikut  bergabung ke dalam Starbucks. Pengalaman yang dimilikinya sebagai General Manager di Hammarplast membuat Schultz berusaha memperbaiki keadaan Starbucks dan  melakukan pembaruan. Namun, tidak semua orang bersedia untuk berubah. Apalagi untuk sesuatu hal yang baru dan belum pernah mereka lakoni.

Schultz, suatu hari datang dengan ide, mengganti Starbucks dari toko penjual biji kopi, menjadi bar espresso bergaya Italia. Saat itu Starbucks tengah berada dalam lilitan hutang. Para pemilik lainnya keberatan dengan ide Schultz tersebut. Ketidak pastian adalah pilihan terakhir yang akan mereka ambil dalam keadaan seperti itu.

Rupanya, penolakan rekan-rekannya dalam Starbucks tak menyurutkan keyakinannya akan konsep bar espresso. Lalu ia mencari investor untuk mencari dana. Ia tak mau mengulangi kesalahan Starbucks yang berhutang untuk mendanai usahanya. Usaha Schultz tidaklah mudah. Dari 242 orang yang ditemuinya, 212 orang menolaknya, melecehkannya dan menganggapnya gila.

“Gila!  Satu setengah dolar hanya untuk secangkir kopi? Orang Amerika tidak akan mau mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk secangkir kopi.” Begitulah kira-kira tanggapan orang-orang yang ditemuinya. Untungnya Schultz tidak berhenti percaya pada intuisinya. Hingga akhirnya ia berhasil mengumpulkan dana yang bisa ia gunakan untuk membeli Starbucks.

Masalah ternyata tidak berhenti sampai disitu. Tidak hanya pendiri Starbucks yang tidak siap dengan perubahan, bahkan para karyawannya pun demikian. Mereka menghadapi perubahan dengan sikap sinis dan curiga.

Ternyata Scultz cukup matang dalam merencanakan perubahan Starbucks. Ia merangkul para karyawan dengan kekeluargaan. Bahkan Schultz percaya ‘sense of belonging ‘ dari pada karyawannya akan menjadi landasan kuat bagi keberhasilan Starbucks, maka Schultz pun menawarkan opsi saham bagi karyawan-karyawannya. Semua orang menjadi giat bekerja, tidak hanya Schultz dan para investor yang ingin Starbucks maju, tapi juga para karyawannya. 

Merubah Starbucks tidak hanya sekadar merubah komoditas yang dijual, tapi juga merubah hubungan antara penjual dan pembeli.  Alih-alih hanya menawarkan secangkir kopi , Starbucks juga menawarkan suasana yang hangat dan nyaman.  Itulah yang membuat orang tak ragu berkumpul di Starbucks, walau harga kopinya relatif lebih mahal dibandingkan bar espresso lainnya. Dalam buku biografinya, Schultz membuka  kunci kesuksesannya  yaitu : Pour Your Heart Into It.

 Cintai pekerjaanmu.

*me note:
Saya pernah membaca buku Dee, "Filosofi Kopi"
Apakah Dee terinspirasi oleh Jerry  Baldwin dan Gordon Bowker?
Dua pemuda yang penuh gairah dalam seni pembuatan kopi.
Kalau memang demikian, saya kira tak heran jika keduanya tidak setuju dengan perubahan Schultz.

Terutama Bowker, yang ia cintai adalah proses mendapatkan biji kopi berkualitas.
Sedangkan Schultz, berkonsentrasi bagaimana kopi itu disuguhkan.

Pour it into your heart, pour your heart into it.
   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha