Kamis, 03 Januari 2013

PARITAS DAYA BELI II

(PURCHASING POWER PARITY) Part II

Pembangunan dikatakan berhasil saat terjadi pertumbuhan kinerja yang positif. Kinerja pembangunan suatu wilayah, sebelumnya, hanya diukur dari total pendapatan wilayah. Pendapatan yang distandarkan metode penghitungannya inilah yang dikenal sebagai Produk Nasional Bruto (PNB). Pen-standard-an, penghitungan PNB, dilakukan agar factor keterbandingan antar wilayah bisa terjaga. Bagaimanapun dalam setiap pengukuran kinerja, keterbandingan merupakan factor yang tidak boleh diacuhkan.

                                                  

Seiring berjalannya waktu, ukuran kinerja pembangunan yang hanya mengandalkan PNB dirasa kurang menggigit.   Hal tersebut terjadi karena adanya perubahan paradigma dalam memandang pembangunan. Bila awalnya pembangunan disikapi dengan ‘mengejar pertumbuhan’, saat ini pembangunan dikaitkan denganmencapai kesejahteraan’. Pencapaian kesejahteraan tidak cukup melihat dimensi ekonomi saja, namun juga perlu memperhitungkan dimensi social. Kebutuhan akan indicator yang lengkap inilah yang melahirkan kesepakatan dalam penyusunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).  

Sejauh ini IPM  mampu memberikan gambaran pembangunan yang komprehensif, dengan mencakup tiga dimensi pembangunan manusia yaitu:  tingkat kesehatan; tingkat pengetahuan; dan tingkat kehidupan yang layak. BPS adalah institusi resmi yang memiliki kewenangan dalam menghitung IPM di Indonesia. Sebagai institusi resmi, BPS harus menjaga metode penghitungannya sehingga tidak keluar dari konteks IPM internasional. Demikian pula halnya dalam penghitungan PPP. Sebagai wakil aspek ekonomi dan kesejahteraan, PPP dihitung sesuai dengan konsep dan definisi internasional. Walaupun demikian, dalam konsteks diluar IPM, PPP dapat dihitung dengan metode yang berbeda dari pendekatan yang dilakukan oleh BPS. Selama filosofi dari PPP yaitu sebagai ukuran tingkat kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dapat terjelaskan. 

 Bila Anda merupakan pengguna data, maka akan paham betul betapa tidak mudahnya mendapatkan data regional. Semakin kecil suatu wilayah, justru semakin sulit mendapatkan datanya. Demikian pula dengan PPP. Untuk mendapatkan data sampai tingkat kabupaten/kota diperlukan pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan penghitungan nasional. Sedangkan untuk multiple comparison antar provinsi, teknis yang dikembangkan ICP sudah cukup memadai. Walaupun sampai sejauh ini angka IHK ibu kota propinsi tetap digunakan sebagai deflator dalam menghitung nilai  perkiraan nilai PPP antar propinsi dalam harga konstan.
Namun seperti kata pepatah: “ ada banyak jalan menuju Rhoma”. Maka banyak pula jalan dalam mendapatkan angka PPP regional. Adapun pendekatan yang bisa dilakukan dalam penghitungan PPP adalah dengan cara :

1.  Menghitung rata-rata konsumsi masyarakat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Pengeluaran.
2.     Menghitung rata-rata konsumsi dari data Susenas Modul Konsumsi, dan menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebagai penimbang.
3.    Menghitung rata-rata konsumsi dari data Susenas Modul Konsumsi, dan menggunakan Indeks Daya Beli (IDB) sebagai penimbang.

Setelah melalui evaluasi, ternyata ada beberapa catatan  berkaitan dengan penggunaan tiap alternative tersebut.  

1.      PDRB pengeluaran kurang tepat bila digunakan dalam penghitungan PPP. Dalam suatu perekonomian, tidak semua barang dan jasa yang diproduksi di wilayah tersebut digunakan oleh penduduknya. Ada mobilisasi barang dan jasa berupa kegiatan ekspor-impor. Jadi tidak hanya barang dan jasa yang bergerak keluar dan masuk wilayah, namun juga arus pendapatan. 
2.      Rata-rata konsumsi yang dikoreksi dengan IHK tidak dipilih sebagai indikator PPP karena IHK hanya mencerminkan perbedaan daya beli daerah perkotaan. Disamping itu paket komoditi yang digunakan dalam perhitungan IHK kurang mencerminkan kondisi pada saat terbentuk karena hanya di tentukan dalam lima atau sepuluh tahun sekali (out of date). 
3.      Hasil evaluasi secara cermat menunjukan bahwa indikator terakhir dianggap paling baik sebagai ukuran daya beli antar propinsi.

 Pada akhirnya bagi anda yang berminat untuk mencoba menghitung PPP, ketersediaan data menjadi factor penentu dalam memilih metode.  

Jadi,
Walaupun PPP selama ini hanya diperlakukan sebagai komponen IPM, namun pemaknaan dari PPP secara utuh juga sangat PENTING. Adanya peningkatan daya beli menunjukkan adanya peningkatan kemampuan untuk hidup layak, hingga pada akhirnya peningkatan tersebut akan bermuara pada terentaskannya kemiskinan dalam masyarakat. 
Jangan lupa, kesenjangan ekonomi yang terjadi antar golongan pendapatan juga perlu memperkaya analisis mengenai PPP ini. Bagaimanapun ekonomi tetaplah motor bagi pembangunan. Dan ingat, pencapaian kesejahteraan berarti distribusi pendapatan yang merata!


Glossary:
Produk Nasional Bruto: Besarnya Nilai Tambah Bruto (NTB) yang tercipta oleh penduduk domestik dikurangi NTB produk yang diciptakan oleh penduduk non domestik, ditambah NTB barang atau jasa yang diciptakan oleh penduduk domestik  yang terjadi di luar wilayah.

Produk Domestik Bruto: Besarnya NTB yang diciptakan selama satu periode penghitungan, yang terjadi di suatu wilayah, tanpa melihat siapa yang memproduksinya, apakah penduduk domestik atau non domestik.

Indeks Daya Beli: merupakan satu dari tiga komponen pembangunan manusia yang didasarkan pada paritas daya beli (purchasing power parity) disesuaikan dengan rumus Atkinson.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha