(PURCHASING POWER PARITY) Part II
Pembangunan dikatakan berhasil saat terjadi pertumbuhan kinerja yang
positif. Kinerja pembangunan suatu wilayah, sebelumnya, hanya diukur dari total pendapatan wilayah. Pendapatan yang
distandarkan metode penghitungannya inilah yang dikenal sebagai Produk Nasional Bruto (PNB). Pen-standard-an,
penghitungan PNB, dilakukan agar factor keterbandingan antar wilayah bisa
terjaga. Bagaimanapun dalam setiap pengukuran kinerja, keterbandingan merupakan
factor yang tidak boleh diacuhkan.
Seiring berjalannya waktu, ukuran kinerja pembangunan yang hanya mengandalkan
PNB dirasa kurang menggigit. Hal tersebut terjadi karena adanya perubahan
paradigma dalam memandang pembangunan. Bila awalnya pembangunan disikapi dengan ‘mengejar pertumbuhan’, saat ini pembangunan dikaitkan dengan ‘mencapai kesejahteraan’. Pencapaian kesejahteraan tidak cukup melihat dimensi
ekonomi saja, namun juga perlu memperhitungkan dimensi social. Kebutuhan akan indicator
yang lengkap inilah yang melahirkan kesepakatan dalam penyusunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Sejauh ini IPM mampu memberikan gambaran pembangunan yang komprehensif, dengan mencakup
tiga dimensi pembangunan manusia yaitu: tingkat kesehatan; tingkat
pengetahuan; dan tingkat kehidupan yang layak. BPS adalah institusi resmi yang memiliki kewenangan dalam menghitung IPM di
Indonesia. Sebagai institusi resmi, BPS harus menjaga metode penghitungannya
sehingga tidak keluar dari konteks IPM internasional. Demikian pula halnya dalam penghitungan PPP. Sebagai wakil aspek ekonomi
dan kesejahteraan, PPP dihitung sesuai dengan konsep dan
definisi internasional. Walaupun demikian, dalam konsteks diluar IPM, PPP dapat
dihitung dengan metode yang berbeda dari pendekatan yang dilakukan oleh BPS.
Selama filosofi dari PPP yaitu sebagai ukuran tingkat kemampuan masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dapat terjelaskan.
Bila Anda merupakan pengguna data, maka akan paham betul betapa tidak
mudahnya mendapatkan data regional. Semakin kecil suatu wilayah, justru semakin
sulit mendapatkan datanya. Demikian pula dengan PPP. Untuk mendapatkan data
sampai tingkat kabupaten/kota diperlukan pendekatan yang berbeda dibandingkan
dengan penghitungan nasional. Sedangkan untuk multiple comparison antar provinsi, teknis yang
dikembangkan ICP sudah cukup memadai. Walaupun sampai sejauh ini angka IHK ibu kota propinsi tetap digunakan sebagai deflator dalam
menghitung nilai perkiraan nilai PPP
antar propinsi dalam harga konstan.
Namun seperti kata pepatah: “ ada banyak jalan menuju Rhoma”. Maka banyak
pula jalan dalam mendapatkan angka PPP regional. Adapun pendekatan yang bisa
dilakukan dalam penghitungan PPP adalah dengan cara :
1. Menghitung rata-rata konsumsi masyarakat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Pengeluaran.
2. Menghitung rata-rata konsumsi dari data Susenas Modul
Konsumsi, dan menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebagai penimbang.
3. Menghitung rata-rata konsumsi dari data Susenas Modul
Konsumsi, dan menggunakan Indeks Daya Beli (IDB) sebagai penimbang.
Setelah melalui evaluasi,
ternyata ada beberapa catatan berkaitan
dengan penggunaan tiap alternative tersebut.
1.
PDRB pengeluaran
kurang tepat bila digunakan dalam penghitungan PPP. Dalam suatu perekonomian, tidak
semua barang dan jasa yang diproduksi di wilayah tersebut digunakan oleh
penduduknya. Ada mobilisasi barang dan jasa berupa kegiatan ekspor-impor. Jadi
tidak hanya barang dan jasa yang bergerak keluar dan masuk wilayah, namun juga
arus pendapatan.
2.
Rata-rata konsumsi
yang dikoreksi dengan IHK tidak
dipilih sebagai indikator PPP karena IHK
hanya mencerminkan perbedaan daya beli daerah perkotaan. Disamping itu paket
komoditi yang digunakan dalam perhitungan IHK kurang mencerminkan kondisi pada saat terbentuk karena hanya
di tentukan dalam lima atau sepuluh tahun sekali (out of date).
3.
Hasil evaluasi
secara cermat menunjukan bahwa indikator terakhir dianggap paling baik sebagai
ukuran daya beli antar propinsi.
Pada akhirnya bagi anda yang
berminat untuk mencoba menghitung PPP, ketersediaan data menjadi factor penentu
dalam memilih metode.
Jadi,
Walaupun PPP selama ini hanya diperlakukan sebagai komponen IPM, namun
pemaknaan dari PPP secara utuh juga sangat PENTING. Adanya peningkatan daya
beli menunjukkan adanya peningkatan kemampuan untuk hidup layak, hingga pada
akhirnya peningkatan tersebut akan bermuara pada terentaskannya kemiskinan
dalam masyarakat.
Jangan lupa, kesenjangan ekonomi yang terjadi antar golongan pendapatan
juga perlu memperkaya analisis mengenai PPP ini. Bagaimanapun ekonomi tetaplah
motor bagi pembangunan. Dan ingat, pencapaian kesejahteraan berarti distribusi
pendapatan yang merata!
Glossary:
Produk Nasional Bruto: Besarnya Nilai Tambah Bruto (NTB) yang tercipta oleh penduduk domestik
dikurangi NTB produk yang diciptakan oleh penduduk non domestik, ditambah NTB
barang atau jasa yang diciptakan oleh penduduk domestik yang terjadi di
luar wilayah.
Produk Domestik Bruto: Besarnya NTB yang diciptakan selama satu periode penghitungan, yang terjadi
di suatu wilayah, tanpa melihat siapa yang memproduksinya, apakah penduduk
domestik atau non domestik.
Indeks Daya Beli: merupakan satu dari tiga komponen pembangunan manusia yang
didasarkan pada paritas daya beli (purchasing
power parity) disesuaikan dengan rumus Atkinson.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha