Kamis, 31 Januari 2013

KONSEP NILAI UANG


A. NILAI UANG

Uang sebagai suatu benda mungkin tidak berguna. Selembar uang Rp. 1.000,-, sebagai selembar uang tidak memiliki manfaat apapun. Selembar uang tersebut baru memiliki manfaat saat diakui sebagai alat tukar. Kegunaannya terletak pada kapasitasnya untuk membeli barang /jasa. Jadi, nilai uang bukan terletak pada kesanggupannya memberi kepuasan langsung, tapi pada kapasitasnya untuk ditukar dengan barang/jasa.

Nilai uang adalah nilai turunan (derivative). Menurut Robertson dalam Mithani, “by value of money, we mean the amount of things in general which will be given in exchange for a unit of money.”[1]. Nilai tukar atau daya beli uang tergantung pada harga-harga barang/jasa. Hubungan antara daya beli uang (Vm ) dan harga-harga (P)adalah berbanding terbalik.


Ini merupakan konsepsi dari nilai uang relatif, yaitu nilai uang yang diukur dengan jumlah barang dan jasa yang dapat dibeli. Secara logis setiap barang pasti bisa dinilai dengan uang.  Sebagai alat tukar, maka nilai uang harus memiliki ‘general level of prices’. Namun untuk menentukan  ‘general level of prices’ harus menilai dulu semua  harga atas barang/jasa. Pada prakteknya menilai semua barang/jasa adalah proyek yang tidak efisien, karena tidak semua lapisanmasyarakat mengkonsumsi semua jenis barang/jasa tersebut. Untuk menyederhanakan penentuan nilai uang, maka dibuat beberapa indeks sebagau pemantau.

Beberapa indeks yang digunakan di Indonesia diantaranya:

a.       Angka indeks harga 9 macam bahan pokok (sembako)
Untuk menghitung indeks harga sembako, nilai uang dinyatakan dengan mempertimbangkan berbagai barang/jasa yang  konsumsi oleh masyarakat. Barang/jasa tersebut dipantau harganya pada perdagangan eceran secara teratur.

Barang/jasa yang dipilih adalah barang yang hampir pasti dikonsumsi oleh segenap masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya harga barang tidak sama untuk daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Sehingga untuk penentuan indeks harga sembako, harga barang yang dipantau adalah barang yang dikonsumsi oleh penduduk berpendapatan rendah.  Kebanyakan penduduk berpendapatan rendah ini bertempat tinggal di daerah perdesaan. Oleh sebab itu, nilai uang dengan ukuran ini sering disebut juga sebagai rural market value.

b.      Angka indeks biaya hidup (IBH)/angka indeks harga konsumen (IHK)
Berbeda dengan indeks sembako diatas yang memantau daerah rural, IBH dan IHK memantau nilai uang dari barang/jasa yang dikonsumsi keluarga perkotaan. Ukuran ini disebut retail value of money atau cost living indexes/consumer price index. Saat ini Indonesia telah meninggalkan penghitungan IBH dan masih menggunakan IHK.

B. PERUBAHAN NILAI UANG

Harga barang/jasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan harga ini bisa dipengaruhi oleh banyak faktor. 



Terlihat sangat jelas bahwa nilai mata uang terus menurun, karen a IHK terus meningkat.  Jadi, uang bisa menjadi ukuran nilai yangtidak konstan. Tidak peraturan untuk menetapkan nilai uang agar konstan dari waktu ke waktu. Irving Fisher  mengatakan, “ the purchasing power of money is reciprocal of the level pices, so that the study of the purchasing power of money is identical with the study of price level”.[2]


C. KESULITAN DALAM MENGUKUR PERUBAHAN NILAI UANG


Idealnya dalam menentukan nilai uang, semua jenis barang/jasa yang ada harus diberi harga dan di rekap. Namun in imerupakan praktek yang excessive, mengingat tidak semua barang/jasa aktif dalam kegiatan ekonomi. Cara untuk menyederhanakan penentuan ‘general level of price’ adalah dengan mengklasifikasi berbagai jenis barang/jasa yang ada. Langkah selanjutnya adalah menentukan beberapa barang/jasa sebagai indikator di tiap klasifikasi. Perubahan pada indikator-indikator tersebut dipantau untuk kemudian dinyatakan ke dlam bentuk indeks. Namun cara ini memiliki kekurangan, karena tiap indeks hanya mampu merepresentasikan kelompok klasifikasinya saja,  dengan tujuan, referensi tempat dan waktu yang  berbeda -beda. Perbedaan-perbedaan tersebut menyulitkan perbandingan dalam menentukan daya beli uang. Pada akhirnya perubahan ‘general level of price’ hanya menjadi petunjuk dari perubahan harga rata-rata, walaupun pada kenyataannya tidak semua barang berubah sebesar itu.

Masalah lainya berkaitan dengan referensi waktu. Pola konsumsi masyarakat darai waktu ke waktu cenderung berubah. Otoritas perlu memantau perubahan ini untuk merevisi jenis barang/jasa yang dijadikan indikator perubahan. Perbaikan jenis komoditi menuntut perubahan tahun dasar. Pada prakteknya perubahan tahun dasar membawa masalahnya sendiri, diantaranya adalah keberlanjutan dan penggunaan angka penimbang (weight) yang berbeda.Keulitan lainnya dalah pemakaian metode yangtepat dalam menentukan rata-rata yang tepat untuk angka indeks. Lazimnya rata-rata indeks  dihitung dengan arithmetic mean dan kadang-kadang dengan geometric mean. Itu sebabnya secara resmi, otoritas tidak pernah mengeluarkan angka indeks dari daya beli uang. Karena berbagai alasan diatas pulalah, angka indeks tidak bisa dijadikan basis terpercaya untuk perbandingan harga-harga internasional.



[1] D.M. Mithani, A Course in Monetery Theory
[2] M.C. Vaish, Monetary Theory

MENGHITUNG ANGKA INDEKS


Akrabkah telingan Anda dengan  kata ‘indeks’?.
IHSG (Indeks Harga Saham gabungan), IHK (Indeks Harga Konsumen), ITK (Indeks Tendensi Konsumen) atau indeks lainnya?
Sering bukan?

Tapi, apakah Anda memahami maksudnya?
Ketika indeks hari ini lebih besar dari pada indeks kemarin, apa artinya?

Wow, begitu banyak pertanyaan yang saya ajukan pada Anda.
Jika Anda merasa perlu untuk memahami Angka Indeks, ada baiknya Anda pelajari tulisan di bawah ini. 


Cukupkah definisi diatas memberi pengertian pada Anda tentang Angka Indeks?
Jika belum mungkin Anda perlu mencoba menghitungnya secara langsung.

Practice make perfect, right?

 Ayo, kita mulai dengan contoh berikut ini.

Bila Anda perhatikan pada Tabel 2, pada tahun 2010 semua indeks di tiap kabupaten adalah 100.

Nilai 100 ini karena gaji tahun 2010 dibandingkan dengan gaji tahun 2010 lagi dan dikalikan 100.
Sedangkan tahun berikutnya membandingkan tahun tersebut dengan tahun 2010 dan dikalikan seratus.
Karena yang dijadikan waktu rujukan adalah tahun 2010, maka tahun 2010 disebut sebagai tahun dasar.

Jadi, karena indeks membandingkan dua  nilai, maka ada
·             waktu dasar        :          tahun 2010 (dari contoh Tabel 1)
·             waktu tertentu     :          tahun 2011 s.d. 2012

Waktu dasar   :    adalah waktu yang dijadikan pembagi (rujukan) sebagai dasar perbandingan.

Waktu tertentu:   adalah waktu yang akan dibandingkan terhadap kegiatan pada waktu dasar, sehingga bisa melihat perubahan yang terjadi dari waktu dasar.

Perlu diingat:
Selain membandingkan dua waktu yang berbeda, angka indeks dapat digunakan juga untuk membandingkan dua  wilayah  yang berbeda  pula.

Demikian penjelasan singkat saya untuk edisi praktek ‘Menghitung Angka Indeks” kali ini. Tentunya Anda dapat melihat sebenarnya angka indeks adalah hanya seonggok penghitungan matematis yang sederhana. Tak disangka banyak indikator-indikator yang mengandalkan perhitungan sederhana ini.

Tapi kesederhanaan angka indeks tidak menurunkan gengsinya kan?
So, tidak aada alasan bagi Anda untuk tidak menguasainya. Selamat berlatih!



”Sesuatu yang besar, selalu terbangun dari sesuatu yang kecil.”
Marisa Wajdi!!!
Semoga Bermanfaat





Rabu, 30 Januari 2013

Negara yang Gagal Me-Redenominasi Mata Uang-nya


Pada postingan sebelumnya,saya mencoba menjabarkan negara-negara yang sukses dalam kebijakan redenominasi mata uangnya. Kali ini, untuk melengkapi khasanah kita, ada baiknya juga kita berkaca pada negara-negara yang gagal. Semoga bisa diambil manfaatnya.

Negara yang Gagal Me-Redenominasi Mata Uang-nya

1.      Rusia
Rusia sudah melakukan 3 kali redenominasi, yaitu tahun 1947, 1961 dan 1998.  Tahun 1998 inflasi Rusia mencapai 28%, akhirnya pemerintah kembali menetapkan kebijakan redenominasi Rubel dengan menghilangkan 3 digit nol. Sayang redenominasi Rubel tahun 1998 tidak berhasil. Masyarakat Rusia mengangap kebijakan tersebut sebagai  sebagai instrumen bagi pemerintah merampok kekayaan rakyat. Hal ini dikarenakan bank sentral gagal meyakinkan publik bahwa redenominasi tidak akan menimbulkan dampak pada harga. Sayangnya sentimen negatif lebih kuat berhembus. Akibatnya inflasi semakin parah dan mencapai 86% di tahun 1999.

2.      Argentina
Argentina: menghilangkan 13 angka nol melalui 4 kali operasi pada 1970, 1983, 1985, 1992

3.      Zimbabwe
Zimbabwe: menghilangkan 3 angka nol

4.      Korea Utara
Korea Utara pada akhir tahun 2009 melakukan redenominasi 100 won menjadi 1 won. Namun, saat warga hendak menggantikan uang lama won ke uang baru, stok uang baru tidak tersedia. Saat chaos terjadi, muncul pasar gelap yang mengambil kesempatan. Pasar gelap ini menprasaranai masyarakat yang menyelamatkanuangnya ke Yuan dan US$. Hal ini didasari kepanikan publik, khawatir won-nya sama sekali kehilangan nilai.

5.      Brazil
Brazil termasuk negara yang paling sering melakukan redenominasi.  Tercatat negara ini telah melakukan 6 kali operasi redenomisasi, yaitu tahun 1967, 1970, 1986, 1989, 1993 dan 1994.
Walau di tahun 1994 Brazil tercatat sebagai negara yang sukses melaksanakan redenomisasi, namun negeri Samba ini sempat juga merasakan kegagalan melakukan redenominasi yakni pada tahun 1986-1989. Brazil melakukan penyederhanaan mata uangnya dari cruzeiro menjadi cruzado. Namun, kurs mata uangnya justru terdepresiasi secara tajam terhadap USD hingga mencapai ribuan cruzado untuk setiap USD. Kegagalan ini dikarenakan pemerintah Brazil tidak mampu mengelola inflasi yang pada waktu itu masih mencapai 500% per tahun. Rendahnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah juga menjadi pangkal masalah kegagalan redenominasi pada tahun 1986 mengingat negeri itu masih dilanda konflik politik dan instabilitas pemerintahan yang mengikis kepastian berusaha. [1]
Brazil akhirnya berhasil dalam menerapkan redenominasi pada tahun 1994. Kombinasi sukses memangkas inflasi dan masuknya modal asing yang meningkatkan cadangan devisa merupakan faktor terpenting keberhasilan redenominasi di Brazil.

6.      Afghanistan
Kekisruhan redenominasi Korea Utara terjadi juga di Afghanistan. Tahun 2002, pemerintah Afghanistan memberlakukan pemotongan 3 digit nol mata uang Afghani. Sayangnya, masyarakat tidak cukup mempercayai pemerintah yang meminta agar proses konversi berjalan natural. Kelangkaan mata uang baru terjadi setelah masyarakat berbondong-bondong memborong mata uang baru. Akibatnya nilai mata uang lama menjadi merosot tajam. Demikian pula permintaan akan US$ meningkat tajam, akibatnya kurs terhadap US$ merosot tajam pula.[2]

7.      Belanda
Ketika Euro disepakati sebagai mata uang bersama Uni Eropa, otomatis mata uang lama dari negara-negara Eropa pemakai euro, seperti Gulden Belanda, juga mengalami redenominasi. Belanda juga saat terjadi penyesuaian Gulden menjadi Euro cukup mengalami masalah. Pedagang tidak menyikapi perubahan mata uang dengan nilai konversi yang baru, karena konversi Gulden menajdi Euro tidak berupa bilangan bulat kelipatan 10. Sebagai contoh, barangyang semula berharga 5 Gulden, dijual menjadi 5 Euro, padahal Euro berada diatas nilai Gulden, akibatnya inflasi terjadi. Kenaikan harga yang terjadi bukan karena pengaruh supply-demand, tapi sebab keputusan publik menyederhanakan masalah.

Marisa Wajdi!!!

Negara yang Sukses Me-Redenominasi Mata Uang-nya


Dalam rangka melengkapi seri "Redenominasi", kali ini saya memposting sebuah ringkasan dari negara-negara yang pernah melakukan Redenominasi dan Sukses. Semoga ada yang bisa kita ambil manfaatnya.

Negara yang Sukses Me-Redenominasi Mata Uang-nya

1.      Turki
Turki melakukan redenominasi karena laju inflasi yang terus meninggi sejak tahun 1970. Inflasi yang tinggi tersebut menyebabkan nilai ekonomi di negara tersebut mencapai hitungan triliun, bahkan kuadriliun. Turki meredenominasi mata uang secara bertahap dengan memperhatikan stabilitas perekonomian dalam negerinya. Proses redenominasi mata uang Lira menghabiskan waktu selama 7 tahun, dimulai tahun 2005.
Dalam redenominasi Lira, semua uang lama Turki (TL) dikonversi menjadi Lira baru (YTL, Y dalam bahasa Turki berarti “Yeni” atau baru). Redenominasi Turki, menetapkan penghapusan 6 digit nol. Jadi, kurs konversi 1 YTL = 1.000.000 TL.
Pada tahap awal, mata uang TL dan YTL beredar secara simultan selama setahun. Kemudian mata uang lama ditarik secara bertahap digantikan dengan YTL. Pada tahap selanjutnya, sebutan “Yeni” pada uang baru dihilangkan sehingga mata uang YTL kembali menjadi TL dengan nilai redenominasi. Selama tahap redenominasi, keadaan perekonomian tetap terjaga. Inflasi Turki pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 juga tetap stabil dikisaran 8-9%.[1]

2.      Rumania
Setelah rezim komunis jatuh pada tahun 1989, negara ini mengalami ketidakstabilan ekonomi. Tahun 2000 Rumania mampu menytabilkan ekonomi makronya dengan ciri-ciri: pertumbuhan ekonomi tinggi, tingkat pengangguran rendah. Namun inflasi terus melambung mengakibatkan turunnya nilai uang Lei. Tuntutan ekonomi sehat semakin besar setelah negara ini bergabung dengan Uni Eropa di tahun 2002[2]. Terinspirasi kesuksesan Redenominasi Turki, Gubernur Bank Nasional Rumania, Mugur Isarescu merancang program yang sama.
1 Juli 2005, bank sentral  Rumania memperkenalkan lembaran uang baru, 100 Lei. Uang ini dibuat persis uang lembaran tertinggi Rumania, 1 juta Lei. Hanya angka dan keterangan nominal yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi efek psikologis dalam penggunaan uang. Sama halnya dengan kekhawatiran banyak pihak di Indonesia, bahwa redenominasi tetap akan menimbulkan inflasi karena adanya efek psikologis tersebut. Selain nominal, penyebutan mata uang juga diubah dengan kode RON untuk mata uang yang baru, dan ROL untuk mata uang yang lama.
Dalam redenominasi Lei, semua uang lama Rumania (ROL) dikonversi menjadi RON. Redenominasi Rumania, menetapkan penghapusan 4 digit nol. Jadi, kurs konversi 1 RON= 1.0.000 ROL.
Kedua mata uang, baik RON dan ROL masih berlaku sampai 1,5 tahun. Tepat tanggal 31 desember 2006, ROL ditarik, tapi masih bisa ditukarkan ke bank kapanpun.
Redenominasi Rumania ternyata menunjukkan hasil yang memuaskan. Setelah redenominasi, nilai tukar mata uang Rumania menguat: terhadap dolar AS menjadi 2,98 Lei; dan terhadap Euro menjadi 3,6 Lei.
Sebagai perbandingan, sebelum redenominasi, 30 Juni 2005, nilai tukar terhadap US$ sebesar 29,891 Lei dan terhadap Euro sebesar 36,050 Lei. Hasil ini mendukung usaha Rumania untuk bisa menggunakan Euro. Tahun 2007[3] Rumania memiliki tingkat pengangguran sebesar 4%, cukup rendah dibandingkan dengan negara Eropa lainnya, seperti Polandia, Perancis, Jerman dan Spanyol dengan rasio utang luar negeri terhadap PDB Rumania yang cukup rendah (20.3%).

3.      Polandia
Polandia berhasil menghilangkan 4 angka nol dalam 1 kali operasi pada tahun 1995
4.      Ukraina
Ukraina berhasil melaksanakan redenomisasi yang menghilangkan 5 angka nol dalam 1 kali operasi pada tahun 1996.
5.      Bulgaria
Lev Bulgaria  pernah di redenominasi akibat inflasi yang tinggi, sehingga100 lev (lama) setara dengan 1 lev (baru.)[4]
6.      Brazil
Brazil termasuk negara yang paling sering melakukan redenominasi.  Tercatat negara ini telah melakukan 6 kali operasi redenomisasi, yaitu tahun 1967, 1970, 1986, 1989, 1993 dan 1994.
Walau di tahun 1994 Brazil tercatat sebagai negara yang sukses melaksanakan redenomisasi, namun negeri Samba ini sempat juga merasakan kegagalan melakukan redenominasi yakni pada tahun 1986-1989. Kombinasi sukses memangkas inflasi dan masuknya modal asing yang meningkatkan cadangan devisa merupakan faktor terpenting keberhasilan redenominasi tahun 1994 di Brazil.

Selasa, 29 Januari 2013

MEMAHAMI REDENOMINASI, SANERING, DEVALUASI



Dalam tulisan saya sebelumnya, tentang fobia redenominasi, saya memaparkan perjalanan sejarah redenominasi Indonesia. Kali ini saya mencoba memaparkan secara ringkas definisi dari redenominasi, sanering  dan devaluasi. Istilah-istilah ekonomi tersebut adalah istilah yang berkaitan dengan perubahan mata uang. Namun bentuk ketiganya memiliki perbedaan mendasar. Perbedaan yang ada bisa memiliki implikasi yang berbeda pula. Sebagai masyarakat pengguna mata uang tidak salah jika kita memahami definisi ketiga jenis kebijakan tersebut. Setidaknya kita bisa memasang strategi yang tepat saat salah satu dari kebijakan itu diterapkan oleh pemerintah. Bagaimanapun program pemerintah tidak akan pernah sukses tanpa ada dukungan dari seluruh masyarakat.

1.             SANERING


Definisi
:
Sanering (berasal dari bahasa Belanda)yang berarti pemotongan nilai mata uang sekaligus nilai tukarnya

Penyebab
:
inflasi yang  sangat tinggi (hiperinflasi), kondisi makro ekonomi dalam keadaan tidak sehat

Dampak 
:
turunnya daya beli karena menurunnya nilai riil uang

Ilustrasi
:
Misalnya negara memberlakukan kebijakan sanering Rp. 1.000,- menjadi   Rp. 1.

Sebelum sanering uang Rp 1.000 dapat membeli beras 1 kg, setelah diberlakukan sanering  uang Rp 1 ternyata tidak cukup lagi untuk membeli 1 kg beras.

Salah satu peristiwa sanering yang traumatis bagi bangsa Indonesia terjadi pada tahun 1965. Kerugian besar akibat sanering tersebut dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Para pedagang dan produsen tidak bisa membeli/memproduksi barang lagi karena modalnya terpangkas, akibatnya supply barang berkurang. Saat demand barang tetap, sementara daya beli menurun, maka inflasi justru memburuk. Lebih lengkapnya Anda bisa baca kembali “Fobia Redenominasi” (*iklan*).


2.      REDENOMINASI


Definisi
:
menyederhanakan angka nominal pada mata uang dengan cara membuang beberapa digit nol

Penyebab
:

Perbedaan mendasar redenominasi dengan sanering ada pada saat penerapan kebijakan. Sanering biasanya dilakukan untuk tindakan mengurangi jumlah uang yang beredar, yang diharapkan bisa menekan inflasi.  Kondisi ini biasanya terjadi saat kondisi makro ekonomi sedang tidak sehat. Sebaliknya redenominasi merupakan kebijakan moneter yang justru mensyaratkan keadaan kondisi makro ekonomi yang stabil, dimana laju pertumbuhan positif, inflasi terkendali. Redenominasi ini merupakan langkah yang harus diambila karena inflasi (walaupun rendah) yang terjadi secara gradual dalam waktu yang lama akan menurunkan nilai uang secara nyata.

 Jika alasan redenominasi adalah inflasi, rasio konversi dapat lebih besar dari 1. Biasanya merupakan bilangan positif kelipatan sepuluh, seperti 10, 100, 1000, dst. Itulah sebabnya redenominasi disebut sebagai ‘penghilangan nol’

Dampak 
:
dalam teori ekonomi, redenominasi tidak akan berdampak pada perubahan nilai riil uang, sehingga daya beli tidak akan berubah

Ilustrasi
:
Wacana yang digulirkan Bank Indonesia di tahun 2012 ini adalah menghilangkan tiga digit nol pada tiap pecahan rupiah. Uang Rp. 100.000,- ditukar menjadi  Rp. 100,-. Jika  uang Rp. 100.000,- saat ini bisa membeli  10 kg beras, maka setelah redenominasi uang Rp. 100,- tetap dipakai untuk membeli 10 kg beras.

3.      DEVALUASI


Definisi
:
menyesuaikan nilai mata uang dalam negeri dengan menurunkan nilainya terhadap mata uang asing atau acuan

Penyebab
:
inflasi yang sangat tinggi (hiperinflasi)

Dampak 
:

Devaluasi dilakukan biasanya karena nilai uang mendapat intervensi (misalnya oleh pemerintah). Upaya mengembalikan nilai uang kepada nilai sebenarnya mengakibatkan’seolah-olah’ nilai uang berubah. 

Ilustrasi
:
Misalnya Rupiah (Rp.) terhadap Dollar Amerika Serikat (US$).
Nilai tukar Rp. dengan US$ terus mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu. Nilai tukar yang tidak stabil tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai transaksi luar negeri. Bagi pelaku bisnis, terutama dalam kegiatan yang berkaitan dengan transaksi luar negeri (ekspor-impor), kondisi ini sangat beresiko. Salah perhitungan dalam memprediksi nilai tukar bisa menimbulkan kerugian yang besar. Selain itu, kondisi ini membuka peluang bagi para spekulan-spekulan yang mengambil keuntungan dengan menciptakan gimmick ekonomi. Jika ini terjadi, yang dirugikan bukan hanya pengusaha, masyarakat pada umumnya, tapi juga negara. 
Sebagai contoh: untuk  membangun suhu ekonomi yang kondusif Pemerintah Orde Baru sering menetapkan kurs tetap (fixed currency). Kurs tetap mengakibatkan Rp. Tidak lagi mencerminkan nilai riil-nya. Agar nilai tukar kembali merepresentasikan nilai riil-nya, pemerintah perlu merevisi kurs tetap secara berkala.


Demikian penjelasan ringkas yang berhasil saya simpulkan dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat.

Marisa Wajdi !!!