A. NILAI UANG
Uang sebagai suatu benda mungkin tidak berguna.
Selembar uang Rp. 1.000,-, sebagai selembar uang tidak memiliki manfaat apapun.
Selembar uang tersebut baru memiliki manfaat saat diakui sebagai alat tukar.
Kegunaannya terletak pada kapasitasnya untuk membeli barang /jasa. Jadi, nilai
uang bukan terletak pada kesanggupannya memberi kepuasan langsung, tapi pada
kapasitasnya untuk ditukar dengan barang/jasa.
Nilai uang adalah nilai turunan (derivative). Menurut Robertson dalam
Mithani, “by value of money, we mean the
amount of things in general which will be given in exchange for a unit of
money.”[1].
Nilai tukar atau daya beli uang tergantung pada harga-harga barang/jasa.
Hubungan antara daya beli uang (Vm ) dan harga-harga (P)adalah berbanding
terbalik.
Ini merupakan konsepsi dari nilai uang relatif,
yaitu nilai uang yang diukur dengan jumlah barang dan jasa yang dapat dibeli.
Secara logis setiap barang pasti bisa dinilai dengan uang. Sebagai alat tukar, maka nilai uang harus
memiliki ‘general level of prices’. Namun untuk menentukan ‘general
level of prices’ harus menilai dulu semua harga atas barang/jasa. Pada prakteknya
menilai semua barang/jasa adalah proyek yang tidak efisien, karena tidak semua
lapisanmasyarakat mengkonsumsi semua jenis barang/jasa tersebut. Untuk
menyederhanakan penentuan nilai uang, maka dibuat beberapa indeks sebagau
pemantau.
Beberapa indeks yang digunakan di Indonesia
diantaranya:
a.
Angka indeks harga 9 macam bahan
pokok (sembako)
Untuk menghitung indeks harga
sembako, nilai uang dinyatakan dengan mempertimbangkan berbagai barang/jasa
yang konsumsi oleh masyarakat.
Barang/jasa tersebut dipantau harganya pada perdagangan eceran secara teratur.
Barang/jasa yang dipilih adalah
barang yang hampir pasti dikonsumsi oleh segenap masyarakat Indonesia. Pada
kenyataannya harga barang tidak sama untuk daerah perkotaan dan daerah
perdesaan. Sehingga untuk penentuan indeks harga sembako, harga barang yang
dipantau adalah barang yang dikonsumsi oleh penduduk berpendapatan rendah. Kebanyakan penduduk berpendapatan rendah ini bertempat
tinggal di daerah perdesaan. Oleh sebab itu, nilai uang dengan ukuran ini
sering disebut juga sebagai rural market
value.
b.
Angka indeks biaya hidup (IBH)/angka
indeks harga konsumen (IHK)
Berbeda dengan indeks sembako diatas
yang memantau daerah rural, IBH dan
IHK memantau nilai uang dari barang/jasa yang dikonsumsi keluarga perkotaan.
Ukuran ini disebut retail value of money
atau cost living indexes/consumer price
index. Saat ini Indonesia telah meninggalkan penghitungan IBH dan masih
menggunakan IHK.
B. PERUBAHAN NILAI UANG
Harga
barang/jasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan harga ini bisa
dipengaruhi oleh banyak faktor.
Terlihat
sangat jelas bahwa nilai mata uang terus menurun, karen a IHK terus
meningkat. Jadi, uang bisa menjadi
ukuran nilai yangtidak konstan. Tidak peraturan untuk menetapkan nilai uang
agar konstan dari waktu ke waktu. Irving Fisher
mengatakan, “ the purchasing power
of money is reciprocal of the level pices, so that the study of the purchasing
power of money is identical with the study of price level”.[2]
C. KESULITAN DALAM MENGUKUR PERUBAHAN NILAI UANG
Idealnya
dalam menentukan nilai uang, semua jenis barang/jasa yang ada harus diberi
harga dan di rekap. Namun in imerupakan praktek yang excessive, mengingat tidak semua barang/jasa aktif dalam kegiatan
ekonomi. Cara untuk menyederhanakan penentuan ‘general level of price’ adalah
dengan mengklasifikasi berbagai jenis barang/jasa yang ada. Langkah selanjutnya
adalah menentukan beberapa barang/jasa sebagai indikator di tiap klasifikasi.
Perubahan pada indikator-indikator tersebut dipantau untuk kemudian dinyatakan
ke dlam bentuk indeks. Namun cara ini memiliki kekurangan, karena tiap indeks
hanya mampu merepresentasikan kelompok klasifikasinya saja, dengan tujuan, referensi tempat dan waktu
yang berbeda -beda. Perbedaan-perbedaan
tersebut menyulitkan perbandingan dalam menentukan daya beli uang. Pada
akhirnya perubahan ‘general level of
price’ hanya menjadi petunjuk dari perubahan harga rata-rata, walaupun pada
kenyataannya tidak semua barang berubah sebesar itu.
Masalah
lainya berkaitan dengan referensi waktu. Pola konsumsi masyarakat darai waktu
ke waktu cenderung berubah. Otoritas perlu memantau perubahan ini untuk
merevisi jenis barang/jasa yang dijadikan indikator perubahan. Perbaikan jenis
komoditi menuntut perubahan tahun dasar. Pada prakteknya perubahan tahun dasar
membawa masalahnya sendiri, diantaranya adalah keberlanjutan dan penggunaan
angka penimbang (weight) yang
berbeda.Keulitan lainnya dalah pemakaian metode yangtepat dalam menentukan
rata-rata yang tepat untuk angka indeks. Lazimnya rata-rata indeks dihitung dengan arithmetic mean dan kadang-kadang dengan geometric mean. Itu sebabnya secara resmi, otoritas tidak pernah
mengeluarkan angka indeks dari daya beli uang. Karena berbagai alasan diatas
pulalah, angka indeks tidak bisa dijadikan basis terpercaya untuk perbandingan
harga-harga internasional.