Suatu tempo, seorang blogger pernah menuliskan komenter pedasnya di sebuah situs pewarta warga (Kompasiana) tentang petugas pengumpul data BPS yang dianggapnya sebagai “surveyor kedai kopi”. Emosi saya tersulut dan hati saya terluka bak tertusuk sembilu kala membaca komentar pedas tersebut.

Sedikit yang tahu bahwa deretan digit-digit angka statistik yang tersua di ruang publik selama ini sebetulnya merupakan hasil kerja yang sangat melelahkan, betul-betul menguras tenaga dan pikiran (very exhausted).
Ada banyak cerita tentang pengabdian tak kenal lelah dan ketulusan untuk memberikan sesuatu yang berguna untuk pembangunan negeri di balik angka-angka itu.

Sulitnya medan tugas bukanlah satu-satunya tantangan berat kegiatan pengumpulan data statistik di negeri ini. Masih rendahnya kesadaran masyarakat sebagai responden/sumber data juga merupakan tantangan yang tak kalah berat. Seringkali semangat yang berapi-api untuk mengumpulkan data harus terhenti di pos satpam atau padam saat dikejar anjing. Penolakan untuk didata masih sering terjadi.
Menghasilkan angka statistik yang mampu memotret kondisi Indonesia secara utuh bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, negeri yang kita cintai ini bukan main luasnya, mencapai 1,9 juta km2 yang membentang dari Sabang hingga Boven Digoel.
Secara administratif, negeri yang maha luas ini terdiri dari 33 provinsi, 497 kabupaten/kota, 6.598 kecamatan, 76.613 desa/kelurahan, dan dihuni oleh sekitar 236,7 juta jiwa (BPS, Sensus Penduduk 2010).

Tapi ini berbilang, bukan main banyaknya. Semuanya harus dihitung mulai dari jumlah orang miskin, jumlah orang menganggur hingga jumlah butir-butir padi yang tercecer di sawah-sawah petani yang luasnya sekitar 8 juta hektar itu. Singkat kata, semuanya harus dipotret lewat angka untuk mengetahui sejauh mana kemajuan-sekaligus kemunduran-yang telah dicapai negeri ini.
Dan, kamilah 16.800 orang itu. Para statistisi BPS, yang senantiasa berupaya memberikan kemampuan terbaik, bekerja tak kenal lelah untuk merekam sejarah pembangunan negeri ini dengan data.

Kami juga menyisir daerah perbatasan jauh lebih dalam ketimbang para petugas TNI sekalipun. Jika tak percaya, silakan kunjungi salah satu rumah yang menurut Anda paling ujung di perbatasan Bavon Digoel dan Pupua Nugini, di pintu rumah itu pasti akan Anda dapati sepotong stiker Sensus Penduduk 2010, bukti bahwa petugas kami telah sampai ke sana. Karenanya, kami juga sebetulnya berkontribusi dalam mengawal daerah perbatasan. Kami memang tidak memanggul senjata, hanya sebatang pensil dan setumpuk dokumen yang setidaknya dengan itu membuat penduduk di daerah perbatasan sadar bahwa mereka adalah bagian dari NKRI yang harus diketahui kondisi dan keberadaannya.

Jangan sekali-kali menyebut kami secara membabi buta dan pukul rata sebagai “surveyor kedai kopi” karena kami telah bekerja dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang ada. (*)
Salam Statistik
by : Kadir Ruslan
by : Kadir Ruslan
http://frisepdo.blogspot.com/2012/10/petugas-bps-bukan-surveyor-kedai-kopi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha