Minggu, 02 Agustus 2015

Riba dari Berbagai Sudut Pandang Agama dan Budaya

Artikel ini akan mengupas pandangan dari berbagai agama terhadap Riba.

-ISLAM-

Riba menurut Al - Quran
Pengharaman Riba dilakukan secara bertahap.
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong orang yang membutuhkan.
 “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum [30]: 39)
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah  mengancam dengan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
“Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,   dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 160-161)
Tahap ketiga, Allah mengharamkan riba yang berlipat ganda. Sedangkan riba yang tidak berlipat ganda belum diharamkan. Allah berfirman :
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”(Ali Imran 130).
Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan  syarat  dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari  praktek pembungaan uang pada saat itu.

Note: Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit.
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (Al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 39).

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan menganugerahinya rizki yang tidak diasangka-sangka”. [Q,.s.Ath-Thalaq: 2]

Tahap keempat, Allah  dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman baik bunga yang kecil maupun besar. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.

 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”(Al-Baqarah: 278-279).

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275).

Allooh memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.(QS Al-Baqarah: 276).

Hadist yang berkaitan dengan riba:
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allooh, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allooh.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).

Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).

Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).

Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur.(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230).

Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279).

Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasul?. Beliau menjawab, syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri ketika peperangan berkecamuk, menuduh wanita suci berzina”. (HR..dari Abu Hurairah).
Dalam hadits lain Nabi barsabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syurga dan tidak merasakan nikmatnya, yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama, peminum kahamar, Kedua pemakan riba, Ketiga, pemakan harta anak  yatim dan keempat, durhaka kepada orang tuanya”.(H.R. Hakim).

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh akan ada sekelompok orang dari umatku yang berada dalam keburukan, kesombongan, permainan dan kesia-siaan, maka jadilah mereka itu kera dan babi-babi dengan sebab mereka menganggap halal apa-apa yang haram dan dengan sebab memakan riba.” (Hadits riwayat At-Targhib)

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Riba meskipun banyak namun akibatnya akan menjadi sedikit.” (Hadits riwayat Al-Hakim, dalam Shahih Jami, Al-Albani)  

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Menjelang kedatangan hari kiamat tampak (menyebar) riba, perzinaan dan khamar (minuman keras).” (Hadits riwayat Ath-Thabrani).

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila telah tampak perzinaan dan riba di suatu negeri, maka mereka berarti telah menghalalkan adzab dari Allah untuk diri mereka.” (Hadits riwayat Ath-Tharbani, Al-Hakim dan Hadits ini ada di Shahih Jami Al-Albani)

Di antara sekian hadits yg membicarakan tentang azab yg diterima “tukang” riba kelak di hari kiamat dibawakan Al-Imam Bukhari rahimahullahu dlm kitab Shahih- dari shahabat yg mulia Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu dlm hadits yg panjang tentang mimpi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara isi mimpi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikisahkan: “Aku melihat pada malam itu dua orang laki2 mendatangiku. Lalu kedua mengeluarkan aku menuju ke tanah yg disucikan. Kemudian kami berangkat hingga kami mendatangi sebuah sungai darah. Di dlm ada seorang lelaki yg sedang berdiri sementara di atas bagian tengah sungai tersebut ada seorang lelaki yg di hadapan terdapat bebatuan. Lalu menghadaplah lelaki yg berada di dlm sungai. Setiap kali lelaki itu hendak keluar dari dlm sungai lelaki yg berada di bagian atas dari tengah sungai tersebut melempar dgn batu pada bagian mulutnya. mk si lelaki itu pun tertolak ke tempat semula. Setiap kali ia hendak keluar ia dilempari dgn batu pada mulut hingga ia kembali pada posisi semula . Aku pun bertanya: ‘Siapa orang itu ?’ Dijawab: ‘Orang yg engkau lihat di dlm sungai darah tersebut adl pemakan riba’.”

Dan sabda Nabi shallahu ‘alahiwasallam, “Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah Ta’ala maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya”.

-YAHUDI-
Agama Yahudi melarang praktik pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama (Old Testament) maupun undang-undang Talmud. Riba dalam Yudaisme sangat dicerca dan dicemooh. Kata Ibrani untuk bunga ‘neshekh‘, secara harfiah berarti “menggigit”. Pengertian ini merujuk pada bunga tinggi yang menyengsarakan. Dalam Keluaran dan Imamat, kata “riba” selalu berkaitan dengan pelarangan pinjaman kepada orang miskin dan melarat. Sementara dalam Ulangan, larangan ini diperluas untuk mencakup semua peminjaman uang. Selain itu, dalam kitab Talmud, dilarang mengambil bunga dalam beberapa jenis kontrak penjualan, sewa dan kerja. Larangan mendapatkan bunga tinggi tersebut tidak dianggap sebagai kejahatan dengan sanksi pidana mati melainkan hanya sebagai pelanggaran moral.

Kitab Exodus (Keluaran ) 22:25 menyatakan:
(Tuhan berkata): Jika kamu meminjamkan uang diantara kamu kepada salah satu dari orang-orang Ku yang membutuhkannya, maka jangan kamu berbuat seperti yang dilakukan ”money lender” (dengan mengenakan bunga), jangan dibebankan bunga (no interest) kepada peminjam itu” (dikutip dari versi Internasional yang baru).


Kitab Deuteronomy (Ulangan) 23:19 menyatakan:
Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.” 


Kitab Deuteronomy (Ulangan) 23:20 menyatakan:
Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.


Kitab Levicitus (Imamat) 35:7 menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”

Dalam agama Yahudi, Kitab Taurat (bahasa Yahudi untuk Hukum Musa atau Pentateuch, lima kitab pertama Perjanjian Lama) melarang riba di kalangan bangsa Yahudi, sementara paling tidak satu orang ahli melihat dalam Talmud (Hukum Lisan yang melengkapi Kitab Tertulis untuk kaum Yahudi ortodoks) suatu bias yang konsisten terhadap ‘kemunculan riba atau laba’ (Neusner, 1990).

-NASRANI-
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang tidak menyetujui praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :
Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya ber-bagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII – XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI – tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.
Larangan riba dalam kitab Injil diantaranya sebagai berikut:

(Tuhan berfirman):
Kitab Levicitus (Imamat) 35: Jika ada salah satu dari rakyat bangsamu menjadi miskin dan tidak mampu menghidupi dirinya, bantulah dia seperti halnya kamu (membantu) orang asing atau pendatang, hingga ia dapat melanjutkan kehidupannya diantara kamu.

Kitab Levicitus (Imamat) 36: Janganlah mengambil sesuatu bunga darinya, tetapi takutlah kepada Tuhanmu, sedemikian sehingga penghuni desamu dapat melanjutkan untuk tinggal / hidup diantara kamu.

Kitab Levicitus (Imamat) 37: Kamu tidak boleh meminjamkan uang kepadanya dengan berbunga atau menjual makanan padanya dengan suatu laba.

Dalam agama Kristen, pelarangan yang keras atas riba berlaku selama lebih dari 1.400 tahun. Secara umum, semua kontrol ini menunjukkan bahwa penarikan bunga apa pun dilarang. Tetapi, secara berangsur-angsur hanya bunga yang terlalu tinggi yang dianggap sebagai mengandung riba, dan undang-undang riba yang melarang bunga berlebihan semacam itu masih berlaku hingga saat ini di banyak negara Barat dan beberapa negara muslim Bagi umat Kristen abad pertengahan, pengambilan apa yang sekarang kita sebut bunga adalah usury(bunga yang berlebih-lebihan), dan usury adalah dosa, dikutuk dengan kata-kata yang sangat keras.

(Ingin tahu lebih panjang dan lebar mengenai riba dalam Nasrani kunjungi link ini)

-Kalangan YUNANI dan ROMAWI-
Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut:
·         Pinjaman biasa (6 % – 18%)
·         Pinjaman properti (6 % – 12 %)
·         Pinjaman antarkota (7% – 12%)
·         Pinjaman perdagangan dan industri (12% – 18%)
Untuk kalangan bangsa Yunani dan Romawi, terdapat dinamika terkait pelarangan praktik pengambilan bunga. Namun demikian, tidak terdapat perbedaan pendapat tentang riba yang merupakan suatu hal yang amat keji dan merugikan. Para ahli filsafat Yunani dan Romawi terkemuka yaitu Plato, Aristoteles, Cato, dan Cicero mengutuk orang – orang romawi yang mempratikkan pengambilan bunga.

  • Plato (427–347 SM)  mengecam sistem bunga karena dua alasan. Pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga menjadi alat golongan kaya dalam mengeksploitasi golongan miskin.
  • Aristoteles (384–322 SM) mencermati perubahan fungsi uang yang telah menjadi komoditas. Aristotles memandang bahwa fungsi uang hanyalah sebagai alat tukar medium of exchange. Uang bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Aristoteles pernah berkata “pecunia pecuniam non parit” (uang tidak bisa melahirkan uang).
  • Sedangkan ahli filsafat Romawi Cicero memberi nasihat pada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan yaitu memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga.
  • Cato memberikan dua ilustrasi untuk menggambarkan perbedaan antara perniagaan dan memberi pinjaman yakni pertama, perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai risiko, sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuaru yang tidak pantas. Kedua, dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat yang berarti bahwa kejahatan bunga melalui sistem riba lebih jahat dari tindak kriminal pencurian.

Upaya untuk menangani bunga ini dilakukan di Roma dengan cara pembatasan suku bunga menjadi 10% saja. Tahun 342 SM, diumumkan adanya lex genucia yang melarang pengambilan bunga berapapun tingkatannya sehingga membungakan uang sama dengan kejahatan. Beberapa pengecualian juga terjadi misalnya pemberian uang muka untuk perdagangan laut (foenus naticum).
Pada masa Kaisar Justinian, tinggi bunga diatur hingga 6% untuk penjaman umum, 8% untuk kerajinan dan perdagangan, 4% untuk bangsawa tinggi, dan tetapi 12%  untuk perdagangan maritim. Adanya pengecualian inilah yang menimbulkan peluang riba dimana para bangsawan Romawi tergiur dan akhirnya juga berupaya mendapatkan penghasilan dari riba.


Pada masa Romawi, sekitar abad V SM hingga IV M terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan ‘tingkat maksimal yang dibenarkan hukum’ (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable).

-HINDU-BUDHA-
Praktek riba (rente) dalam agama Hindu dan Budha dapat kita temukan dalam naskah kuno India. Teks - teks Veda India kuno (2.000-1.400 SM) mengkisahkan “lintah darat” (kusidin) disebutkan sebagai pemberi pinjaman dengan bunga. Atau dalam dalam teks Sutra (700-100 SM) dan Jataka Buddha (600-400 SM) menggambarkan situasi sentimen yang menghina riba.
Di India Kuno hukum yang berdasarkan Weda, kitab suci tertua agama Hindu, mengutuk riba sebagai sebuah dosa besar dan melarang operasi bunga (Gopal, 1935: Rangaswani, 1927). Vasishtha, pembuat hukum Hindu yang terkenal sepanjang waktu, membuat hukum khusus melarang kasta yang lebih tinggi (Brahmana dan Ksatria), menjadi rentenir atau pemberi pinjaman dengan bunga tinggi (Visser dan Mcintosh, 1998). Juga, dalam Jataka, riba disebut sebagai “hypocritical ascetics are accused of practising it”.


Pada abad kedua, riba telah menjadi istilah yang lebih relatif, seperti yang tersirat dalam hukum Manu, “ditetapkan bunga melampaui tingkat hukum yang berlaku.

Di antara rujukan terkenal yang paling kuno tentang usury (riba) ditemukan dalam munuskrip agama India Kuno dan Jain (1929) menyajikan ringkasan dengan sangat baik tentang riba tersebut dalam karyanya pada Indigenous Banking in India. Dokumen yang paling awal berasal dari teks Vedic India Kuno (2000-1.400 SM), yang mana usurer (kusidin) disebut beberapa kali dan diinterpretasikan sebagai setiap orang meminjamkan dengan memungut bunga. Rujukan yang lebih sering dan rinci   tentang pembayaran dengan bunga ditemukan kemudian dalam teks Sutra (700-100 SM) dalam Jakatas (600-400 SB) (Visser dan Mcintosh, 1998) (sumber: Suyanto,M., 2009). 

Ringkasan sloka dari I Nyoman DJ
Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang dibenarkan dalan Hindu sepanjang sebagai usaha produktif yang saling menguntungkan.
Mengambil 8 per 100 sampai dengan 2 per seratus adalah tidak menimbulkan dosa/Kharma buruk jika diambil dari uang yang sudah berkembang untuk kebaikan atau menguntungkan dan telah menimbulkan "Punia".
Mengambil bunga uang tidak menimbulkan dosa/Kharma buruk jika diambil dari uang telah berkembang demi kebaikan.
Membungakan uang dari pinjaman yang diberikan pada orang yang ditimpa kesusahan adalah dosa besar/Kharma sangat buruk, selain itu meminjamkan uang untuk sekedar mendapatkan bunganya tanpa mempertimbangkan tujuan orang yang meminjam juga menimbulkan dosa, karena bisa saja uang tersebut digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan "Dharma" (Kebaikan).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha