Paradigma
Perbankan Syariah
Perbankan syariah merupakan bagian dari ekonomi
syariah, dimana ekonomi syariah merupakan bagian dari muamalat (hubungan antara manusia dengan manusia). Oleh karena itu,
perbankan syariah tidak bisa dilepaskan dari al Qur`an dan As-Sunnah sebagai
sumber hukum Islam. Perbankan syariah tidak dapat dilepaskan dari paradigma
ekonomi syariah. Adapun paradigma ekonomi syariah yang dimaksud adalah:
1. Tauhid.
”Dan aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”
(51:56).
Misi utama manusia
diciptakan oleh Allah SWT adalah untuk menghambakan diri kepada Allah SWT: Hal
ini adalah implementasi tauhid seorang hamba kepada Pencipta-Nya. Dasar
ketauhidan ini menjuruskan manusia untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan
perintah Allah sesuai dengan petunjuk-Nya, yaitu Al Qur’an dan As-Sunnah.
2. Allah SWT sebagai pemilik harta yang hakiki.
” Kepunyaan
Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi…” (2:284).
Prinsip
ekonomi syariah memandang Allah SWT sebagai pemilik hakiki dari harta. Manusia
hanya mendapatkan titipan harta dari-Nya, sehingga cara mendapatkan dan
membelanjakan harta juga harus sesuai dengan aturan Allah SWT.
3. Visi global
dan jangka panjang.
”Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan” (28: 77).
”Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”
(23:107).
Dalam dimensi
waktu, ekonomi syariah mempertimbangkan dampak jangka panjang, bahkan hingga
kehidupan setelah dunia (akhirat). Sedangkan dalam dimensi wilayah, manfaat
dari ekonomi syariah harus dirasakan bukan hanya oleh manusia, melainkan juga alam
semesta.
4. Keadilan.
”Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil” (4: 48).
Allah SWT telah
memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Bahkan, kebencian seseorang terhadap
suatu kaum tidak boleh dibiarkan sehingga menjadikan orang tersebut menjadi
tidak adil.
”Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (5:8).
5. Akhlaq mulia.
”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlaq yang mulia” (HR. Malik).
Islam
menganjurkan penerapan akhlaq mulia bagi setiap manusia. Termasuk saat mereka
beraktivitas dalam ekonomi.
6. Persaudaraan.
”Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara..” (49:10).
”Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal.” (49:13).
Islam
memandang bahwa setiap orang beriman adalah bersaudara. Konsep persaudaraan
mengajarkan agar orang beriman bersikap egaliter, peduli terhadap sesama dan
saling tolong menolong. Islam juga mengajarkan agar perbedaan suku dan bangsa
bukanlah untuk dijadikan sebagai pertentangan, melainkan sebagai sarana untuk
saling mengenal dan memahami.
Filosofi Perbankan
Syariah
Dalam tulisannya yang dipublikasikan di Surat Kabar Republika, Rabu, 6 Maret
2013, Drs
Syafaruddin Alwi, MS. (Pengawas Manajemen BMT Beringharjo) menyatakan bahwa filosofi
perbankan syariah pada dasarnya diturunkan dari filosofi keuangan Islam.
Pemahaman akan filosofi perbankan syariah sangat perlu
digalakkan mengingat adanya kecenderungan persepsi yang inherent (melekat)
pada sebagian masyarakat bahwa perbedaan perbankan syariah dengan bank konvensional hanya terletak pada
bunga saja. Dimana dalam Islam konsep
bunga adalah riba yang hukumnya haram (ingin tahu lebih banyak tentang riba menurut beberapa agama? Sila lihat disini). Persepsi
tersebut tidak sepenuhnya salah, hanya saja kurang komprehensif. Sebenarnya
perbedaan fundamental antara keduanya terletak pada filosofi yang mendasari
keputusan manajemen dan filosofi bisnisnya.
Filosofi bisnis ini mencakup area yang luas dan
meliputi berbagai isu seperti: keyakinan, praktik, dan pedoman operasional
bisnis. Perbankan konvensional pada dasarnya bertumpu ada prinsip ekonomi
belaka, yaitu meletakkan keuntungan maksimal sebagai motif utama bisnisnya. Sementara prinsip bisnis dalam Islam
meletakkan tujuan dalam dua sisi yaitu faktor religius dan juga faktor
keuntungan di mana elemen moral menjadi platform bisnisnya yang terpusat pada
prinsip keadilan dan keseimbangan.
Khan (1983), menyatakan bahwa tujuan dari bank Islam
adalah mengembangkan, memelihara dan meningkatkan penggunaan prinsip-prinsip
Islam, hukum dan tradisi dalam semua transaksi, keuangan, bisnis dan kegiatan
bisnis lainnya. Sejalan dengan pendapat Khan, Ali (1988) menyatakan bahwa
sistem keuangan Islam tidak hanya dikenalkan sebagai anti riba, melainkan juga didifusikan ke dalam prinsip-prinsip
keadilan sosial dan regulasi, rules, prosedur, dan instrument-instrumen
lain guna mendukung implementasi prinsip keadilan, keseimbangan, dan kejujuran
dalam transaksi bisnis.
Ekonomi Islam merupakan refleksi relijius. Khaf (1989)
mengemukakan bahwa sistem ekonomi Islam harus dikembangkan berdasarkan suatu
ideologi yang menjelasan sistem dengan dua komponen yaitu: fondasi dan tujuan,
prinsip dan konsep. Dengan landasan pemikiran filosofis seperti itu, maka
perbankan syariah memiliki “warna” yang lebih jelas berbeda dengan perbankan
konvensional terutama dalam pengambilan keputusan manjemen operasional
perbankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha