Mata saya langsung terpaut saat menemukan sebuah laman yang memuat sebuah artikel yang berjudul Vivere Pericosolo. Tentu yang membuat menarik bukan karena frasa itu terdengar istimewa karena berbahasa Italia, tapi karena istilah itu digunakan oleh Sang Proklamator Soekarno sebagai judul pidatonya pada 17 Agustus 1964 “Tahun Vivere Pericoloso” atau populer disebut “Tavip”.
"Revolusi kita masih terus berjalan, dan bukan saja
berjalan, tetapi harus bertumbuh, dalam arti pengluasan, bertumbuh dalam arti
pemekaran konsepsi-konsepsi, sesuai dengan tuntutan zaman, sesuai dengan
tuntutan Amanat Penderitaan Rakyat….”
(Soekarno, 17/08/1964). Ar
“Vivere pericoloso” merupakan frasa yang terbentuk dari kata vivere, "hidup", dan pericoloso, "berbahaya") yang berarti "hidup penuh bahaya" atau "hidup menyerempet bahaya". Namun dalam bahasa Italia, bentuk yang benar adalah vivere pericolosamente.
Tentunya berlebihan jika saya menautkan Viveri pericoloso dalam kehidupan saya sehari-hari karena pastinya istilah tersebut dikoarkan Sang Proklamator buat negeri ini, bukan buat saya "para pencari aman". Namun, sebagai seorang manuasi rata-rata yang masih sangat rajin mengeluh saya merasa perlu menenungkannya. Entah, sepertinya terlalu jauh jika dihubungkan dengan ceramah yang baru saya dengar kemarin dari Ustadz Hanan Attaki tentang hidup yang bersusah-payah. Bahwasanya hakikat hidup ini adalah kesusahan, karena kenikmatan adanya di surga. Saya yang selama ini mengeluh setiap pagi ketika harus pergi ke kantor. Melenguh cukup keras untuk menepis rasa berat di dada membayangkan suasana kerja yang tidak nyaman, beban kerja yang memuakkan, perjalanan yang membosankan, ini dan itu. Hal utama yang mendorong saya untuk akhirnya berangkat kerja adalah karena ternyata saya masih butuh gaji.
Saya lupa kalau dibandingkan sebagian besar pegawai di kantor, gaji saya termasuk golongan "menengah ke atas". Betapa tidak bersyukurnya saya dengan masih mengeluhkan apa yang saya terima sampai hari ini, disaat banyak orang ingin berada di posisi seperti saya ini. Saya mengeluh karena saya membayangkan betapa nyamannya berkerja tanpa mengeluhkan apapun, karena situasi bekerja sudah nyaman, kolega sangat kooperatif dan kolaboratif, perjalanan nyaman tanpa macet dan perlu kebut-kebutan, kalau bisa saat malas di kantor bisa kerja dari rumah. Mantap sepertinya..
Lamunan itu melambung sampai si "Vivere Pericosolo" ini menjitak kepala saya dengan cukup tidak sopan, "hey kamu manusia yang kurang bersyukur.. hidup sebegini saja sudah membuatmu menjadi pengeluh. Padahal kenyamananmu didapat dari mereka yang berjuang. Pembantumu yang membuat rumahmu bersih sehingga kamu bisa kerja tanpa mikir beres-beres rumah. CS di kantor yang sedari pagi menyiapkan ruangan kerjamu bersih supaya kamu bisa langsung pakai. PC, printer, kertas dan sudah siap di mejamu tinggal kamu gunakan. Semua itu disiapkan agar kamu nyaman. Lalu apa kamu tidak ingat kalau ada yang bekerja supaya gajimu diterima tepat waktu, bekerja supaya pangkatmu naik berkala tanpa harus sogok sana sini. Bahkan tidak mustahil ada orang-orang yang harus nyerempet bahaya untuk mewujudkan apa yang kamu nikmati saat ini."
Yup, hidup ini penuh kesusahan karena segala sesuatunya perlu diupayakan . Bahkan nasi yang sudah disuapkan kemulut pun harus dikunyah dan telan untuk bisa masuk ke perut kita. So, nikmati usaha itu dan berdoalah semoga semuanya menjadi berkah. Jangan berpuas diri, berusahalan menjadi lebih baik, ber-evolusi, ber-revolusi untuk tumbuh dan maju. Hiduplah dalam kebaikan..
Ah perenungan ini mungkin cukup terlambat, karena sekarang sudah di hari kelima Januari 2024. Tapi tak apa, perenungan tidak selalu hanya dilakukan pada akhir tahun.. Bismillah..