Minggu, 03 September 2017

Regional Labour Market Dynamics The Gender Employment Gap

These are propositions of INGE NOBACK thesis
Regional Labour Market Dynamics The Gender Employment Gap
  1. Although the gender employment gap is becoming smaller over time, the gender hours gap is actually widening.
  2. Specifically in The Netherlands, an increase in working hours is a more obvious solution for the decline in labour supply due to the aging than an increase in the retirement age.
  3. High quality and affordable child care is assumed to stimulate an increase in the working hours for women, but personal preferences and societal expectation may prevent this outcome from happening.
  4. Aging might pose a bigger threat to our current welfare levels than anticipated if women also take a significant share in the care for dependent elderly people.
  5. Part-time jobs have contributed greatly to the high level of female labour participation in the Netherlands but also present a serious hurdle in the career opportunities of women.
  6. In a traditional corporate culture, working full-time over four days of nine hours enhances the career opportunities for women, but has a negative effect on the career opportunities of men.
  7. Female emancipation is far from complete since less than half of Dutch women are economically independent.
  8. However powerful our technology and complex our corporation, the most remarkable feature of the modern working world may in the end be internal, consisting in an aspect of our mentalities: in the widely held belief that our work should make us happy
    ”. (Alain Botton)
  9. Reason is not automatic, those who deny it cannot be conquered by it
    ”. (Ayn Rand)
Note: You can find her PDF in here
Read More

DAYA BELI TERPURUK, TETAPI JALAN SEMAKIN MACET

10 Agustus 2017
Oleh: Rhenald Kasali


Dalam CEO Forum Metro TV hari Kamis lalu (27/7/2017), saya sengaja mengundang Perry Tristianto sebagai narasumber bersama para pengusaha properti. Kami membutuhkan Perry untuk menguji kebenaran tentang lesunya pasar belakangan ini.

Seperti pengusaha ritel dan properti lainnya, ternyata Perry mengkonfirmasi lesunya pasar. “Sulit,” ujarnya. “Tahun lalu saja sudah susah, tahun ini lebih susah lagi. Dan tahun depan saya yakin akan semakin susah …". Tapi ujungnya Perry mengatakan,  "semakin susah bagi kita tak mau berubah!”

Perry yang dikenal sebagai salah satu raja FO (Factory Outlet), tahu persis pendapatan dari penjualannya di beragam FO di Bandung semakin hari semakin turun. Tetapi, bedanya dengan pengusaha lainnya, ia tak mau menuding masalahnya ada di daya beli. “Sudahlah,” ujarnya lagi di Rumah Perubahan. “Masalahnya bukan di daya beli, tetapi gaya hidup masyarakat yang terus berubah. Cepat sekali,” tambahnya.

Lawan-lawan Tak Kelihatan

Tentu saja untuk melakukan validasi ucapan Perry, kita membutuhkan science. Dan science membutuhkan data. Ilmu yang saya kuasai sesungguhnya bisa melakukannya. Hanya masalahnya, lembaga-lembaga yang ditugaskan mengumpulkan data terperangkap dalam sektor-sektor yang bisa dilihat secara kasat mata. Dan sektor-sektor itu semuanya adalah konvensional.

Taksi konvensional, properti konvensional, ritel konvensional, keuangan dan pembayaran konvensional, penginapan (hotel) konvensional, otomotif yang dirajai pemain-pemain lama, media dan periklanan konvensional dan seterusnya. Hampir tak ada yang menunjukkan data substitusi atau prospek dari disruptornya. Ini tentu bisa menyesatkan.

Sampai kapanpun, kalau data-data yang dikumpulkan tetap seperti itu, maka kita akan semakin cemas, sebab faktanya dunia konvensional cepat atau lambat akan ditinggalkan konsumen baru, khususnya generasi millennials yang sekarang usianya sudah mendekati 40 tahun.

Generasi millennials itu mempunya cara pandang yang benar-benar berbeda dengan para incumbents yang telah bertahun-tahun menjadi market leader. Uang (daya beli) mereka memang belum sebesar generasi di atasnya yang lebih mapan, tetapi mereka bisa mendapatkan barang-barang dan jasa-jasa yang jauh lebih murah di jalur non-konvensional karena dunia ekonomi yang tengah peristiwa disruptif yang luar biasa.

Di dunia baru itu mereka dimanjakan pelaku usaha baru yang telah berhasil meremajakan business process-nya. Mereka bukan pakai marketing konvensional (4P) melainkan business model. Dan lawan-lawan tangguh pemain-pemain lama itu kini hadir tak kasat mata, tak kelihatan.

Ibarat taksi yang tak ada merknya di pintu, tanpa tulisan “taksi”, dan penumpang turun tak terlihat tengah membayar. Sama sekali berada di luar orbit incumbent, pengumpul data dari BPS dan lembaga-lembaga survei lainnya, ekonom, bahkan oleh para wartawan sekaligus.

Kita hanya disajikan angka-angka penurunan yang sudah diramalkan oleh penemu teori Disruption, Christensen (1997), bahwa data-data itu sungguh tak valid. Pernyataan Christensen itu bisa Anda buka di situs YouTube dalam suatu wawancara di kampus MIT.

Di situ Christensen menjelaskan pertemuannya dengan founder Intel, Andy Groove yang sempat meninggalkannya setelah sekitar 5 menit mengundang Christensen. Namun seminggu kemudian Andy menyesali perbuatannya dan kembali mengundang penemu teori Disruption itu. Apa alasannya? 

“Saya akhirnya menyadari ucapan Anda bahwa pemain-pemain lama seperti Intel ini bisa terdisrupsi oleh pendatang-pendatang baru yang masih kecil-kecil karena mereka membuat produk yang simpel yang jauh lebih murah,” ujar Andy Groove seperti ditirukan Christensen.

“Look,” ujarnya lagi. “Saya membutuhkan data, tetapi dalam era disruption data yang ada sudah tidak bisa dipakai lagi karena data yang kami kumpulkan adalah data-data kemarin yang hanya cocok untuk melakukan pembenaran. Sedangkan kami butuh data untuk melihat apa yang tengah  dan yang akan terjadi besok. Jadi yang saya butuhkan; kalau belum ada datanya adalah teori. Dan teori Anda menjelaskan proses shifting itu.”

Intel selamat berkat disruptive mindset-nya. Dan sekarang kita saksikan hal itu tengah terjadi secara besar-besaran dalam landscape ekonomi Indonesia. Semua orang bingung.

Tabloid Kontan menyajikan judul menarik, “Gejala Anomali Ekonomi Indonesia” sembari menunjukkan data-data penurunan pertumbuhan penjualan beragam sektor. Sayangnya kita hanya membaca sektor-sektor yang, maaf, konvensional.

Kita tak cermat membaca ketika penjualan sepeda motor turun sebesar 13,1 persen dan semen turun1 persen untuk semester 1 tahun ini (dibanding periode yang sama tahun lalu). Kemana ia beralih?

Juga tak kita baca bahwa pendapatan PT Astra International naik 30 persen sepanjang semester I tahun ini.

Yang lain kita mendengarkan pandangan-pandangan yang saling bertentangan. Teman saya pengusaha keramik terbesar di negeri ini mati-matian menjelaskan daya beli saat ini sedang drop. Tetapi Perry Tristianto mengatakan, “Dulu saja, Jakarta-Bandung atau sebaliknya cukup 2 jam. Sekarang 5 – 7 jam. Sulit bagi saya untuk mengakui bahwa daya beli turun?”

Saya tambahkan lagi, selama mudik lebaran kemarin (dipantau sekitar 4 minggu), penumpang yang terbang dari 13 bandara di lingkungan AP 2 naik sekitar 11 persen. Lalu di Bandara Halim Perdanakusuma saja naiknya hingga 25 persen.

Blame and Confirmation Trap

Kejadian-kejadian ini jelas disukai para eksekutif yang bisnis-bisnisnya mengalami kelesuan. Maaf, maksud saya, kita tiba-tiba seperti punya jawaban pembenaran. Semacam konfirmasi. “Tuh kan, emang bener, daya beli turun. Jadi wajar, kan?” 

Pada saat saya tulis kolom ini pun banyak yang menunjukkan gejala serupa: mainan anak-anak juga turun signifikan. Sama dengan data dari asosiasi pengusaha angkutan truk.

Mengapa kita tak belajar dari pertarungan mainan anak-anak antara Hasbro (yang naik terus penjualanannya karena bertransformasi dari mainan monopoli ke mainan transformer yang kaya "experience" dan online games) dengan Mattel (yang dari masa ke masa hanya membuat boneka Barbie).

Para penjaja mainan juga luput memonitor beralihnya anak-anak ke permainan yg menantang seperti gym anak-anak, parkour dan mainan lain yang kaya engagementNamun alih-alih membaca weak signals, hari-hari ini komentar yang sering kita dengar justru lebih banyak menghibur diri untuk membenarkan turunnya pencapaian target.

Lantas pertanyaannya, “memangnya kalau kondisi kembali membaik menurut versi itu, katakanlah sekarang daya beli benar-benar turun (bukan shifting), nanti manakala benar-benar sudah kembali lagi, katakanlah setahun dari sekarang, dan daya beli membaik besar-besaran, lantas penjualan produk/jasa Anda benar-benar kembali naik?”

Come on, my brother. Itu benar-benar perangkap. A confirmation trap karena puluhan pelaku usaha di bidang yang konvensional semua membenarkannya. Dan Anda pun memiliki satu buah perangkap lagi: A blame trap. Ya, kita terlalu senang mencari, pertama-tama, siapa yang bisa kita blame, kita salahkan, bukan memecahkan masalah yang sebenarnya.

Realitas Lain

Kebetulan sejak buku Disruption beredar akhir februari lalu, di Rumah Perubahan kami mulai mengkaji kejadian-kejadian yang berada di luar orbit konvensional.

Kami mendengarkan, mengecek kebenaran, mengumpulkan fakta-fakta yang terjadi dalam aneka usaha yang berkembang di luar orbit yang kasat mata itu.

Kami membuat semacam case study dan menyebarkannya kepada sejumlah eksekutif. Sebulan sekali mereka datang dan mengikuti kuliah saya, membahas kasus-kasus itu sehingga mereka bisa membedakan mana kasus tentang bisnis yang salah urus dan mana yang terimbas disruption. Kami membagi ke dalam dua kelompok.

Kelompok pertama, adalah para CEO dan pejabat-pejabat Eselon 1, komisaris perusahaan, para rektor dan pemimpin-pemimpin strategis. Kami membahas bagaimana mereformulasi strategi di era ini. Lalu kelompok kedua diikuti orang-orang marketing dan sales, para CMO (Chief Marketing Officer).

Dalam setiap pertemuan, kami menghadirkan CEO –CEO yang melakukan disruption dan yang terdampak oleh disruption. Dari situ kami mengetahui apa yang setidaknya terjadi atau bakal terjadi.

Kami jadi mengerti mengapa penjualan sepeda motor turun, sementara kendaraan yang lain justru tengah kebanjiran permintaan. Kami jadi mengerti mengapa Sevel ditutup, mengapa supermarket-supermarket besar kini kesulitan akibat perbaikan distribusi yang dilakukan produsen-produsen besar.

Kami jadi mengerti mengapa suasana perdagangan di Harco (Glodok), Mangga Dua dan bahkan Pasar Tanah Abang serta Electronic City yang dulu ramai kini mulai terganggu.

Kami juga mengecek sektor-sektor non-konvensional. Tidak terlalu sulit karena dua start up lahir dari tempat kami, yang satu situs pengumpulan dana (crowd funding) dan satu lagi situs peternakan yang semua saling terjalin kerjasama dengan start up-start up besar Nusantara lainnya dalam bidang fintech dan retail. Kami bisa lebih mudah mengintip data-data mereka.

Dari berbagai pertemuan dengan para CEO itu, saya juga mendapatkan data-data yang bertentangan dengan pandangan tentang memudarnya daya beli.

Minggu lalu saya juga sempat makan malam dengan CEO perusahaan tepung tererigu besar yang langsung mengecek data produksi dari ponselnya. Ia mencatat kenaikan permintaan yang masih terus berlanjut meskipun hari raya telah lewat. Bahkan hari raya Lebaran saja ia mengaku sebagian besar pegawainya tak bisa libur demi mengejar produksi.

Tetapi yang lebih menarik adalah membaca data-data perputaran uang dalam bisnis non-konvensional yang akhirnya tampak dalam bidang logistik.

Saya memilih perusahaan yang paling sering disebut situs-situs belanja online semisal JNE atau JNT. Sekali lagi dari JNE saya mendapatkan data pengiriman barang yang sangat signifikan.

Tetapi yang mengagetkan saya terutama adalah perubahan pola penyaluran barang dan sentra-sentra pengiriman. Harus kita akui, shifting yang tengah terjadi sangat berdampak pada semua pemain lama.

Tak banyak yang menyadari bahwa beras dan bahan-bahan pokok yang dibeli para pedagang dan konsumen di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi saja sudah berawal dari Tokopedia dan Bukalapak.

Barang-barang pangan itu juga bukan lagi diambil dari sentra-sentra konvensional yang selama ini kita kenal. Petanya telah berubah.

Saya juga membaca bahwa perbaikan di sektor perhubungan, khususnya tol laut, jalan tol, pelabuhan-pelabuhan dan bandara-bandara baru telah membuat rezeki beralih dari pedagang-pedagang besar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya ke berbagai daerah. Dari pengusaha-pengusaha besar ke ekonomi kerakyatan.

Saya ingin kembali ke rekan saya, Perry Tristianto, si raja FO yang tadi saya ceritakan. Karena penjualan FO sudah bukan zamannya lagi dan turun terus, ia pun telah mengalihkan usahanya dari ritel konvensional ke bidang wisata.

“Saya menemukan perbedaannya. Justru sekarang daya beli itu ada di segmen bawah. Mereka yang naik sepeda motor bersama keluarga mampu ke kawasan wisata, dipungut biaya, dan mengucapkan terima kasih. Sementara yang membawa mobil Mercedes komplain: mengapa harus bayar?"

Saya mengerti fenomena disruption ini masih sulit dipahami para incumbents yang telah bertahun-tahun menjadi "penguasa" dalam bisnisnya masing-masing. Namun hendaknya kita sadar bahwa banyak hal telah berubah dan kita telah tinggal dalam kubangan aneka perangkap, di antaranya adalah "the past (success) trap".

Saya tak mengatakan daya beli telah tumbut besar-besaran. Saya hanya mengatakan terlalu dini menuding penurunan pendapatan dan penjualan karena daya beli. Mungkin bukan itu masalahnya.



sumber: http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/29/120323026/daya-beli-terpuruk-tetapi-jalan-semakin-macet


Sekedar Catatan:

Hmm.. tulisan yang menenangkan. Seperti biasa Rhenald Kasa mencoba para penyimaknya untuk melihat dari perspektif yang berbeda. Tidak melulu satu arah dengan yang sedang ramai. Saya senang ada 'mereka' yang bisa dengan tenang melihat sisi-sisi objektif dalam melihat sebuah fenomena. Mungkin tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, hanya saja karena kita melihat dar sudut pandang yang berbeda

Marisa Wajdi!!!
Read More

PENGADILAN UNTUK SANG AHLI STATISTIK

Oleh: Bustanul Arifin



Artikel ini bagus sekali. Menceritakan nasib Andreas Georgiou, ahli statistik yang sudah melalang buana 30 tahun, namun pada 2000 memutuskan pulang ke Yunani, tanah tumpah darahnya yang ekonominya sedang morat marit.

Karena dari lulusan kampus ternama dan bekerja dua dasawarsa jadi pimpinan IMF, pemerintah Yunani langsung menawarinya jadi kepala badan statistik Yunani (Elstat). Selama 8 tahun mengepalai Elstat, ekonomi Yunani tidak kunjung membaik, malah semakin runyam.

Jari untuk saling menyalahkan sudah menunjuk kemana-mana. Rakyat, pemerintah yg naik turun, negara kreditor, IMF, dan kanselir Jerman Angela Merkel, gantian menjadi kambing hitam.

Karena semua membela diri dengan sengit dan saling ancam, tiba-tiba semua pihak melakukan shoot the messenger (menghabisi pembawa pesan). Semua telunjuk menunjuk sang pembawa pesan yakni Andreas Georgiou.

Tiba-tiba kejaksaan agung mengeluarkan tuntutan penjara seumur hidup ke Georgiou atas tuduhan kriminal membesar-besarkan angka inflasi. Akibatnya pemerintah Yunani menerima bailout IMF yg mensyarakat penerapan austerity (kebijakan ketatkan ikat pinggang) yg sangat ketat. Sehingga subsidi dicabut habis dan rakyat menderita. Tuduhan ini didukung semua partai (termasuk partai presiden berkuasa Prokopis Pavlopoulos).

Apa respons Georgiou setelah dicampakkan negerinya dengan tuduhan yg sangat merendahkan integritasnya itu ? Dia dengan bantuan penuh asosiasi biro statistik Eropa (Eurostat) tentu saja melawan. "Saya menggunakan data yang akurat, perhitungan saya menggunakan formula yg sahih, dan sudah terlihat hasilnya pada perbaikan ekonomi Yunani. Apa yang salah ?" tegasnya.

Bagaimana nasib Georgious akhirnya ? Apa saja formula statistik yg dia gunakan untuk menyembuhkan Yunani ? dan Geolorgious ternyata bukan ahli statistik pertama yg masuk penjara di negara yg kena krisis. Siapa saja para martir itu ? Adakah dari Indonesia ? 


Sekedar Catatan

Sejauh ini belum ada statistisi Indonesia yang dipenjara gara-gara angka yang dirilisnya. Kalau dimarahin atau dicuekin Presiden/Wapres/ Menteri/Gubernur/Bupati atau dicurigai pakar/media/komentator, itu mah sudah biasa. Kita tidak bisa memuaskan semua pihak bukan?.

Tinggal re-instrospeksi saja, apakah kita sebagai statistisi bisa mempertanggungjawabkan metodologi yang kita pakai?


Marisa Wajdi!!!
Read More

MENGGUGAT AKURASI DATA SEKTORAL

Kompas, 10 Aug 2017

Oleh MAYLING OEY-GARDINER 
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia dan anggota Komisi Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia



Impiankah untuk berharap bahwa karut marut data beras belakangan ini bisa menjadi dorongan bagi semua kementerian untuk memperbaiki akurasi data sektoral yang menjadi tanggung jawabnya, hingga mampu menghasilkan statistik yang mencerminkan fakta keadaan sebenarnya?

Jika bukan impian, itulah yang diharapkan peneliti-ilmuwan agar dapat melaporkan fakta atau kebenaran yang ada dalam dunia empiris. Bagaimana tidak. Peneliti tentu saja mengharapkan pengambilan keputusan oleh pejabat secara berkelanjutan bisa terus memperbaiki kehidupan rakyat bermasyarakat. Hal ini hanya bisa diwujudkan jika pengambilan keputusan terkait kebijakan tersebut didasarkan pada fakta kebenaran yang ditunjukkan oleh data statistik yang dikumpulkan secara akurat, ilmiah, dan bertanggung jawab. 

Kelemahan akurasi data sebenarnya tidak hanya terjadi pada beras, dan juga tidak hanya terjadi pada kementerian yang terkait dengan urusan beras, tetapi juga pada persoalan dan instansi-instansi lain.

Data sektoral bermutu 

Secara undang-undang, data sektoral, terutama data administratif, merupakan tanggung jawab kementerian. Dalam struktur kementerian, ada unit yang bernama litbang (penelitian dan pengembangan), yang membawahi unit bernama pusdatin (pusat data dan informasi). Oleh karena itu, jika mencari data kementerian, tentu saja kita mulai dari pusdatin. 

Sayangnya, kendati memiliki program komputer canggih, jarang ada staf pusdatin yang menguasai ilmu data yang dibutuhkan dan cara memperoleh, mengelola, dan mengolahnya. Dengan bangga pengunjung diberi tahu bahwa sistem yang ada mampu memberikan data real time, kapan saja dapat diperoleh data pada waktu diminta. Sebagai contoh, dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil) dapat memberikan angka ”jumlah penduduk”. Namun, analis dan pengambil keputusan kebijakan cenderung memerlukan data statistik yang menggambarkan perkembangan, misalnya. Mungkin data real time sebenarnya merupakan angka hasil pemasukan data (data input) tanpa ada yang tahu kebenarannya. 

Hasil investigasi oleh penulis menemukan bahwa tugas unit pusdatin sering dikerjakan oleh tenaga yang tidak selalu memiliki latar belakang pendidikan yang dibutuhkan. Boleh dikatakan jarang ditemukan petugas yang memiliki kemampuan menghasilkan statistik yang diperlukan, seperti angka partisipasi, angka kesakitan, dan prevalensi. Sementara sistem administrasi yang ada tidak menyediakan staf yang mampu memeriksa kelengkapan dan kebenaran data yang dimasukkan. Dalam sistem desentralisasi, keadaan jadi lebih sulit karena pusat tak dapat secara langsung berhubungan dengan unit pengumpul data di daerah. Data sektoral diterbitkan dengan bekerja sama dengan BPS. Setiap tahun ada terbitan kementerian dan dinas yang bekerja sama dengan BPS, yang menghasilkan ”Statistik Indonesia” dan ”Daerah (provinsi, kabupaten) dalam Angka”. Hasilnya, angka statistik tahunan bisa naik-turun bagaikan ayunan, tanpa ada yang tahu, tanpa ada yang peduli.

Tentu saja tidak ada yang tahu jika yang dilaporkan hanya 1 (satu) angka untuk 1 (satu) tahun, sebagaimana ditemukan dalam 1 (satu) terbitan statistik nasional dan daerah. Yang perlu dirisaukan tentu saja adalah penggunaan ataupun penyebutan angka yang tidak sesuai fakta, tetapi ada kalanya, dan bahkan sering, dijadikan sebagai landasan pengambilan keputusan kebijakan, baik di pusat maupun di daerah. Atau mungkinkah keputusan kebijakan diambil tanpa pengetahuan fakta lapangan?

Data dan Kebijakan

Data yang diterbitkan menimbulkan pertanyaan kebijakan publik. Berikut disajikan beberapa contoh yang seharusnya menggambarkan keadaan belakangan ini. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diterbitkan BPS dalam Statistik Indonesia (terbitan tahunan) terjadi perubahan berikut. Sejalan dengan tren penurunan fertilitas yang menjanjikan kemungkinan bangsa Indonesia menikmati bonus demografi pada 2020, jumlah murid SD menurun dari 27,6 juta menjadi 26,1 juta antara 2010 dan 2014, atau sebanyak 1,5 juta hanya dalam waktu empat tahun saja. Anehnya, penurunan jumlah murid yang demikian besar itu malah dibarengi pertambahan jumlah sekolah dasar sebanyak 709 unit, dari 146.804 unit menjadi 147.513 unit. Namun, yang lebih mengejutkan adalah kebijakan pemerintah yang merespons penurunan jumlah murid dengan penambahan guru sebanyak 194.133 orang (dari 1,5 juta menjadi 1,7 juta orang). Suatu jumlah yang tidak kecil, tetapi mungkin sekali populer mengingat kementerian memperoleh tambahan anggaran yang besar sekali, meskipun hingga kini tidak menghasilkan perbaikan mutu pendidikan anak bangsa. Hingga sekarang belum ada yang meminta pertanggungjawaban pemerintah, penyebabnya kemungkinan besar adalah karena tak ada yang tahu. 

Pertanyaan untuk Menristek dan Dikti agak berbeda. Dalam waktu yang sama, jumlah mahasiswa bertambah 1,1 juta orang (145.474 di PTN dan 963.160 di PTS). Gejala ini lumrah mengingat perluasan kelas menengah. Sebagian dari pertambahan tersebut diakomodasi dalam 140 kampus baru (dari 3.185 menjadi 3.325). Anehnya perkembangan tersebut dibarengi pengurangan jumlah dosen sebanyak 35.736 orang (595 orang dari PTN dan 36.331 orang dari PTS), atau 21 persen dari keadaan 2014. Apakah hal tersebut merupakan akibat dari kebijakan pemerintah yang sangat merugikan mahasiswa swasta, anak bangsa Indonesia yang tidak dapat ditampung di PTN? Benarkah sepertinya pemerintah dengan sengaja menelantarkan mahasiswa kurang mampu (sehingga terpaksa masuk PTS), atau sebenarnya merupakan akibat dari kurang akuratnya data yang ada? Demikian pula dapat diajukan pertanyaan terkait kebijakan kesehatan, khususnya ketersediaan pelayanan rumah sakit. 

Data yang ada menunjukkan kecenderungan penyediaan pelayanan yang bias untuk kaum berada. Dalam empat tahun terakhir terjadi peningkatan yang sangat tajam jumlah rumah sakit umum (RSU) dan rumah sakit khusus (RSK), yang cenderung berada di kota tempat tinggal kaum mampu. Sebaliknya, puskesmas yang lebih banyak melayani kaum kurang mampu di kabupaten, bahkan di kecamatan, tidak banyak bertambah. Jumlah RSU bertambah 556 unit atau 43 persen (dari 1.299 unit menjadi 1.855 unit) dan RSK bertambah 218 unit atau 65 persen (dari 333 unit menjadi 551 unit); sedangkan jumlah puskesmas bertambah 726 unit atau hanya 8 persen, dari 9.005 unit menjadi 9.731 unit. Dapatkah dikatakan bahwa data tersebut merupakan hasil kebijakan kementerian yang berpihak pada kaum berada? Atau, seperti data kementerian lainnya, akibat dari kualitas data? 

Sebelum rakyat mempertanyakan kebijakan pemerintah— setelah melihat data yang diterbitkan BPS sebagai pertanggunganjawaban kepada publik—kementerian diharapkan lebih memperhatikan unit penghasil datanya. Unit ini dapat menjadi jendela mengumumkan fakta melalui data statistik dan informasi keadaan dan rencana tujuan kebijakan. Unit tersebut diharapkan tidak bertindak defensif menutup diri dengan menolak publik memperoleh data tentang keadaan sebenarnya. Sebaliknya, unit tersebut seyogianya diberdayakan dengan sumber daya dan dana yang memadai agar dihasilkan data yang bermutu dan akurat sesuai fakta di lapangan. 

***

Sekedar catatan:

Saya sadar betul, bahwa Saya bukan orang yang bisa membaca makna implisit yang ingin orang lain sampaikan. Perasaan tidak paham Saya alami ketika membaca tulisan Prof. Mayling Oey-Gardiner diatas. Setahu saya Prof. Mayling Oey-Gardiner adalah salah satu tokoh yang sangat mendukung sepak terjang BPS. Beliau adalah salah satu dari banyak orang pintar yang tahu tantangan dan hambatan yang dihadapi BPS. Tapi, tulisan diatas terasa menunjukkan sebaliknya. Ah, mungkin perasaan Saya saja. 

Saya kira Prof. Mayling Oey-Gardiner tahu pasti alasan dan latar belakang kenapa BPS harus 'membantu' kementerian dalam mengumpulkan data sektoral. Tepat seperti yang beliau katakan, bahwa sumber daya manusianya ada di BPS. Dalam  dunia yang sempurna, alangkah indahnya jika kementerian mengumpulkan data sektoral yang berkualitas, seterusnya BPS tinggal meramu dan menghitung indikator makro yang dibutuhkan oleh para stakeholder. Indahnya.... Saya menunggu masa itu datang.


Marisa Wajdi!!!
Read More

ANOMALI DATA MAKRO DAN MIKRO

9 Agustus 2017

Oleh:  
Ari Kuncoro, Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Beberapa minggu terakhir ini media massa, media sosial, dan kelompok Whatsapp diramaikan oleh perdebatan terjadinya perbedaan (discrepancy) antara data makroekonomi Indonesia, yaitu pertumbuhan produk domestik bruto, dan data/survei mikro di pasar retail. Beberapa foto yang menunjukkan betapa sepinya beberapa pusat perbelanjaan yang terkenal turut menghiasi diskursus masyarakat tersebut.

Pertanyaan mendasar adalah mengapa walaupun pertumbuhan ekonomi pada 2017 triwulan III cukup baik, yaitu sebesar 5,01 persen, tetapi pada saat yang sama beberapa sumber menunjukkan terjadi pelemahan di pasar retail, seperti penurunan konsumsi semen nasional sebesar 1,2 persen year on year (yoy) pada semester I-2017, penurunan penjualan pakaian sebesar 15 persen pada saat Lebaran, dan tingkat kekosongan perkantoran di area pusat perkotaan (CBD) sebesar 18,4 persen.

Yang menarik kemudian di sela-sela perdebatan ini adalah pendapat beberapa pakar bahwa yang terjadi sebenarnya adalah bukan perlambatan, melainkan pergeseran dari tren belanja barang ke daring (online). Pendapat ini menegaskan bahwa pengamatan mikro pada satu sektor saja tidaklah cukup untuk menarik kesimpulan tentang keseluruhan perekonomian (economy wide). Untuk itulah kita perlu melihat data makro yang lebih rinci sehingga gambaran makro-mikro tidak putus.

Pengamatan tersebut dapat dilakukan jika ada data konsumen yang langsung dapat disandingkan dengan data pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran retail adalah bagian dari konsumsi, sementara konsumsi masyarakat adalah bagian dari produk domestik bruto (PDB). Yang diperlukan adalah data konsumsi yang memiliki rincian yang cukup lengkap menangkap beberapa tingkah laku masyarakat dalam mengonsumsi, tidak sekadar hanya konsumsi agregat. Data triwulanan terakhir PDB Badan Pusat Statistik memiliki informasi cukup lengkap untuk memenuhi kebutuhan ini.

Makin menengok ke belakang, misalnya ke triwulan I-2011, pertumbuhan PDB lebih tinggi sekitar 2,5 persen yoy dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Perbedaan tersebut menangkap tahun-tahun terakhir dari ekspor boom yang berasal dari komoditas. Semakin menuju ke waktu terkini, dimulai dari triwulan III-2013, dua garis tersebut bersatu atau mengalami konvergensi yang menunjukkan bahwa dinamika pertumbuhan PDB tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan konsumsi.

Dengan kata lain dinamika pertumbuhan konsumsi mendominasi pertumbuhan PDB karena pangsanya adalah yang terbesar dalam PDB. Dinamika dari PDB sebagian besar ditentukan oleh perkembangan konsumsi rumah tangga. Jika pertumbuhan konsumsi masyarakat relatif datar, maka demikian juga dengan pertumbuhan PDB.

Setelah akhir 2013, dalam waktu yang cukup lama, konsumsi rumah tangga sebagai komponen pengeluaran yang terbesar dalam PDB (pertumbuhan rata-rata 4,7 persen) suka tidak suka telah menjadi motor penggerak perekonomian karena porsinya paling besar dalam PDB, yaitu rata-rata 54,4 persen. Ditambah kontribusi dari komponen pengeluaran agregat lain yang lebih kecil dan tidak bervariasi banyak, tidaklah mengherankan jika pertumbuhan PDB hampir selalu berada pada kisaran 5 persen yoy mengikuti dinamika konsumsi rumah tangga.

Pada gilirannya dinamika konsumsi rumah tangga akan ditentukan oleh apa yang menjadi komponennya. Konsumsi masyarakat dapat dibagi menjadi beberapa kategori: (1) makanan dan minuman selain di hotel dan restoran; (2) piranti rumah tangga, termasuk pakaian dan sepatu; (3) perlengkapan rumah tangga; (4) pendidikan dan kesehatan; (5) transportasi dan komunikasi; dan (6) hotel dan restoran.

Yang terakhir ini menangkap aktivitas menikmati waktu luang atau leisure, seperti menginap di hotel, makan di restoran, dan melakukan perjalanan atau sekadar makan di luar sambil window shopping di mal.

Pertumbuhan belanja makanan dan minuman selain di hotel dan restoran relatif tetap, yaitu sekitar 5 persen yoy. Yang menurun cukup signifikan adalah konsumsi piranti rumah tangga, termasuk sepatu dan pakaian. Pembelian perlengkapan rumah tangga (tahan lama) sedikit menurun. Pendidikan dan kesehatan sedikit berfluktuasi walaupun sempat mengalami penurunan, tetapi pertumbuhan di triwulan III-2017 melonjak cukup tajam. Yang menarik adalah kategori konsumsi hotel dan restoran yang juga dapat menunjukkan tingkat affluence masyarakat setelah kebutuhan yang lebih pokok terpenuhi.

Pergeseran pola konsumsi

Makan di restoran merupakan salah satu contoh dari perilaku affluence atau gaya hidup hedonis. Gaya hidup hedonis sendiri mempunyai beberapa tingkatan. Tingkat menikmati waktu luang dengan berekreasi dianggap lebih tinggi daripada sekadar membeli barang tahan lama.

Tampaknya ada gejala di mana rumah tangga mencoba mempertahankan gaya hidup leisure. Konsumsi kategori ini cenderung bertahan walaupun ada sedikit fluktuasi, tetapi pada periode akhir pengamatan besarannya justru meningkat. Kemacetan yang terjadi di Jalan Tol Jagorawi ke arah Bogor/Puncak, Malang-Surabaya, Yogyakarta-Magelang; bandara yang sibuk pada hari Jumat; dan tiket kereta api yang terjual habis pada saat long-weekend sepertinya menggambarkan keinginan sebagian besar rumah tangga (kelas menengah) untuk menikmati waktu luang keluar dari rutinitas. Tampaknya mereka berasal dari segala lapisan pendapatan di kelas menengah.

Jika diambil satu merek saja di antrean gerbang tol, misalnya Toyota Kijang, hampir semua tahun pembuatan ada, dari tahun 1980-an sampai keluaran terbaru. Dalam kondisi pendapatan yang pas-pasan sebagai kelas menengah, mereka menjadi sadar anggaran (budget conscious). Dalam perencanaan keuangan, mereka tahu benar apa yang menjadi prioritas. Yang bukan lagi prioritas utama adalah konsumsi piranti rumah tangga, termasuk pakaian dan sepatu serta perlengkapan rumah tangga.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa pergeseran ini dirasakan sekali sebagai perlambatan di sektor retail. Penulis teringat partisipasi sebagai salah seorang panelis di diskusi panel ahli ekonomi yang diselenggarakan Kompas pada November 2016. Dalam diskusi tersebut terungkap bahwa terdapat stagnasi pada upah riel. Kenaikan upah secara nominal hanya cukup secara pas-pasan untuk mempertahankan daya beli dan gaya hidup hedonis yang sudah digemari masyarakat. Perilaku konsumsi gaya baru ini ditularkan melalui pengamatan terhadap sekitar, media televisi, media sosial, dan lain-lain.

Waktu itu kami belum terlalu mengerti bahwa ujung-ujungnya akan seperti ini. Walaupun upah nominal naik, banyak pabrik mengurangi jam kerja (karena permintaan luar negeri dan dalam negeri melemah), sehingga pendapatan riil juga tidak meningkat banyak, bahkan cenderung turun dan bukan semata-mata karena inflasi. Sebagai akibatnya, untuk mempertahankan tingkat pendapatan yang cukup, mereka harus mengambil pekerjaan sambilan, misalnya menjadi pengojek. Cara lain adalah dengan mengerahkan anggota keluarga untuk turut bekerja guna menambah pendapatan rumah tangga (collective household income).

Untuk membeli kebutuhan pokok memang masih mencukupi (terlihat dari konstannya pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman di luar restoran). Akan tetapi, karena sudah telanjur menikmati affluence dari gaya hidup hedonis tingkat awal, tampaknya mereka bersedia menunda konsumsi barang tahan lama asalkan dapat menikmati waktu luang (tecermin dari tetap tingginya pertumbuhan konsumsi ”hotel dan restoran”).

Gaya hidup hedonis menikmati waktu luang (termasuk jalan-jalan sebagai turis domestik) tampaknya mulai menggeser gaya hidup hedonis dengan mempertontonkan barang atau gadget. Yang tadinya membeli baju baru setahun sekali waktu Lebaran, mungkin sekarang cukup puas dengan memakai baju lama yang penting bersih.

Kalau dulu telepon genggam diganti setiap enam bulan sekali, mungkin sekarang cukup ganti dua tahun sekali. Yang dulu membeli semua kebutuhan pokok di Indomaret dan Alfamart, sekarang untuk sebagian kebutuhan cukup membelinya di tukang sayur dekat rumah. Mereka mungkin masih mengunjungi mal-mal untuk makan di food court bersama keluarga, tetapi secara keseluruhan bundel belanjanya mengecil. Mereka juga rela menahan belanja barang konsumsi tahan lama sekadar untuk dapat menabung guna merayakan Lebaran di kampung halaman di mana mereka merasa menjadi wong.

Seandainya saja terdapat kenaikan pendapatan riel rumah tangga, perubahan pola konsumsi rumah tangga menuju konsumsi yang lebih affluence mungkin tidak akan berdampak terlalu drastis seperti yang dirasakan sekarang oleh industri retail. Kategori piranti dan pelengkapan rumah tangga secara bersama-sama mengambil porsi sekitar 10 persen dari PDB sehingga penurunan pertumbuhan akan segera berdampak signifikan terhadap sektor retail.

Tanpa kompensasi dari pertumbuhan konsumsi hotel dan restoran serta komponen besar pengeluaran agregat, seperti konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor; pertumbuhan PDB dapat saja jatuh sedikit di bawah 5 persen per tahun. Hal ini memberi gambaran mengapa pertumbuhan ekonomi (makro) masih di atas 5 persen per tahun walaupun industri retail mengalami penurunan pertumbuhan.

Perkembangan sisi pengeluaran konsumsi kemudian dipadankan dengan beberapa produk terpilih sektor manufaktur. Industri makanan dan minuman mempunyai pertumbuhan yang solid sesuai dengan pertumbuhan pengeluaran konsumsi untuk hotel dan restoran. Tekstil dan garmen tampaknya mempunyai masalah dalam mempertahankan pertumbuhan yang positif.

Hal ini sesuai dengan perlambatan sisi pengeluaran konsumsi piranti rumah tangga. Sebaliknya produk kulit dan sepatu mempunyai pertumbuhan yang cukup baik seiring dengan makin populernya gaya hidup berkegiatan di luar rumah, seperti berkemah, naik sepeda, dan atletik. Bukan tidak mungkin fasilitas belanja daring turut membantu kinerja industri ini.

Produk kayu dan rotan menunjukkan perkembangan yang sejalan dengan tekstil dan garmen terkena dampak lesunya pengeluaran konsumen untuk perangkat rumah tangga. Bahan kimia, farmasi, dan obat-obatan menunjukkan pertumbuhan yang baik seiring dengan solidnya pengeluaran konsumen untuk kesehatan. Barang metal, komputer, elektronik, dan furnitur mengalami kelesuan sejalan dengan menurunnya pertumbuhan pengeluaran konsumsi untuk perlengkapan rumah tangga.

Menggerakkan ekonomi

Salah satu hal yang menyebabkan perekonomian tetap dapat tumbuh sekitar 5 persen per tahun adalah penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta yang merupakan konsumen sekaligus produsen. Anugerah ini bukanlah alasan untuk berpangku tangan, melainkan dapat dianggap sebagai modal dasar. Tampaknya fenomena anomali makro-mikro yang banyak diperdebatkan orang lebih disebabkan oleh pergeseran pola konsumsi rumah tangga ke arah kehidupan konsumtif hedonis menikmati waktu luang.

Fenomena ini merupakan peluang baru yang dapat dimanfaatkan pemerintah untuk menggunakan wisata domestik sebagai salah satu penggerak perekonomian dalam negeri. Agar perekonomian tumbuh di atas 5 persen, tetap diperlukan kontribusi pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor. Investasi dan ekspor harus digalakkan terus sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dengan menekan ekonomi biaya tinggi dan memperbaiki sistem logistik di dalam negeri. Dalam hal penghematan anggaran yang dilakukan pemerintah, struktur pemungutan anggaran harus tetap memperhatikan dampak dari stimulus anggaran terhadap perekonomian.

Jika tujuannya adalah untuk menggerakkan perekonomian, dampak pengganda (multiplier) terbesar adalah di satu daerah yang mempunyai struktur ekonomi yang lengkap, mulai dari pertanian hingga industri manufaktur dan jasa-jasa. Jika pengeluaran pemerintah diarahkan ke sektor pertanian di perdesaan di daerah yang padat penduduknya, efek penggandanya akan berputar semakin lama melalui hierarki desa, kota kecil, kota menengah, dan akhirnya kota besar, menciptakan proses pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Rencana pemerintah untuk merevitalisasi 1.600 kilometer jalan kereta api yang tidak aktif dapat dikategorikan sebagai kebijakan ”sapu jagat” karena akan melibatkan daerah penduduk perkotaan dan perdesaan yang relatif padat penduduknya (pertumbuhan inklusif) melalui public work, sektor pariwisata termasuk usaha penginapan yang berbasis rumah tangga (home stay), dan industri manufaktur kerajinan rakyat berbasis rumah tangga.

sumber: https://kompas.id/baca/opini/2017/08/09/anomali-data-makro-dan-mikro/


Sekedar catatan pribadi:
Artikel ini menarik untuk diabadikan dalam blog ini. Tulisan dari kolom opini Kompas dari bapak Ari Kuncoro ini ikut menyemarakkan hari-hari BPS yang semakin hiruk pikuk, karena tiba-tiba semua orang berteriak yang sama.. mereka meragukan data BPS. 

Sebagai orang yang menjadi bagian dari BPS, saya harus menerima kritik dan saran. Harus legowo bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini. Bahwa pekerjaan kami banyak kekurangan di sana-sini. Tapi tolong pahami juga bahwa BPS menghitung statistik makro negara ini tidak mudah. Dan mohon berhati-hatilah dalam menganalisa sesuatu. Kasihan mereka yang ilmu ekonominya belum komprehensif, jika digiring oleh orang-orang pintar yang 'ignorant' Mencampur adukkan ekonomi makro dengan ekonomi mikro dengan gegabah. Membandingkan data makro dengan survei mikro? Get real, Guys! 

Pesan untuk diri saya sendiri adalah: mulailah belajar lagi!

Marisa Wajdi!!!
Read More

Senin, 21 Agustus 2017

Perdebatan Ideologi tentang Pertumbuhan Penduduk dan Pembangunan Ekonomi

Perdebatan tentang hubungan pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi membentuk tiga kelompok yang memiliki pandangan yang berbeda, yaitu:
1.     Kaum Nasionalis
Kaum nasionalis beranggapan bahwa pertumbuhan penduduk akan menstimulasi pembangunan ekonomi. Ide dasarnya adalah dengan penduduk yang banyak akan mendorong produktivitas yang tinggi dan kekuasaan yang tinggi pula. Pendapat ini didasarkan pada pengalaman Revolusi Industri. Pada saat itu di Eropa, kenaikan produksi pertanian selalu diikuti oleh pertumbuhan penduduk. Menurut nasionalis, penduduk yang banyak akan menimbulkan pembukaan lahan pertanian baru, pembangunan irigasi, produksi pupuk dan meciptakan inovasi-inovasi lain yang berkaitan dengan revolusi pertanian. Akibatnya produksi pertanian akan naik dengan cepat. Walau sempat meredup, karena tidak banyak terbukti,  pandangan ini kembali menggema di tahun 70-an lewat  buku Julian L. Simon yang berjudul The Economy of Population Growth (1977).  Simon melakukan studi di beberapa Negara, sehingga menyimpulkan bahwa pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap pembangunan ekonomi dapat dibagi menjadi dua. (1) pertumbuhan penduduk dalam jangka pendek memang berpengaruh negatif. (2) dalam jangka panjang pertumbuhan penduduk mempunyai pengaruh yang positif terhadap pembangunan ekonomi.
2.     Kelompok Marxist.
Kelompok Marxisme percaya pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi tidak memiliki hubungan. Menurut Marxisme, semua masalah pertumbuhan ekonomi, seperti kemiskinan, kelaparan, dan masalah sosial lainnya, bukan disebabkan pertumbuhan penduduk, tetapi semata-mata merupakan kegagalan institusi sosial maupun ekonomi di daerah tersebut.
Letak persoalannya apakah Negara tersebut kapitalis atau sosialis. Menurut Marx, pemerintah di negara kapitalis akan mempertahankan pertumbuhan penduduk agar upah tetap rendah. Tetapi di dalam pemerintahan sosialis, hal tersebut tidak akan terjadi. Tetapi pengalaman di Kuba setelah revolusi menunjukkan bahwa justru yang terjadi adalah apa yang diungkapkan oleh Malthus. Pada saat itu tingkat kematian kasar melonjak tinggi, usia kawin cenderung turun dan pelarangan terhadap keluarga berencana. Jelas hal-hal tersebut merupakan “Malthusian response.
3.     Kelompok Neo-Malthusian
Kelompok Neo-Malthusian sejak awal menentang Marxist. Pada prinsipnya mereka mengikuti teori Malthus, dengan ide bahwa pertumbuhan penduduk apabila tidak dikontrol akan menghilangkan hasil-hasil yang diperoleh dari pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, pertumbuhan penduduk yang tinggi akan mengakibatkan gagalnya pembangunan.
Sumber Bacaan:
Todaro M.P. 1994.
Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta. Penerbit Erlangga

Weeks.J.R.1986. Population. California. Wadsworth Publishing Company
Read More

Rabu, 16 Agustus 2017

MENGENAL LEBIH DEKAT TENTANG "VARIABEL" ATAU "PEUBAH"

Pengertian Variabe

Ketika memperlajari aljabar kita mengenal istilah Variabel, Konstanta, dan Koefisien. Dalam pengertian aljabar "Variabel" adalah lambang pengganti suatu bilangan yang belum diketahui nilainya dengan jelas. Variabel disebut juga peubah, biasanya dilambangkan dengan huruf kecil   a, b, c, ... z.

Sama halnya dengan pengertian diatas, "Variabel" dalam ilmu statistik adalah suatu besaran yang dapat diubah atau berubah. Dalam konteks penelitian, variabel adalah objek penelitian. Variabel adalah objek penting (main object), karena penelitian tidak dapat terlaksana tanpa adanya variabel. Dengan menggunakan variabel, akan lebih mudah dalam memahami masalah. Biasanya bentuk soal yang menggunakan teknik ini adalah soal menghitung (counting) atau menentukan suatu bilangan.

Menurut F.N Kerlinger, variabel adalah sebuah konsep, yang memiliki nilai yang bermacam-macam (vary). Sejalan dengan pendapat Brown (1998:7), “variable is something that may vary or differ”.  Dan menurut Davis (1998:23), “variable is simply symbol or a concept that can assume any one of a set of values”. 

Berdasarkan sifat datanya variabel dapat dibagi menjadi variabel kuantitatif dan variabel kualitatif. Variabel kuantitatif diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu variabel diskrit (discrete) dan variabel kontinu (continous).

Tipe-tipe Variable:

  1. Variabel Bebas (Independent Variable)
  2. Variabel Tidak Bebas (Dependent Variable)
  3. Variabel Moderat (Moderate Variable)
  4. Variabel Kontrol (Control Variable)
  5. Variabel Perantara (Intervening Variable)


1. Variabel Bebas (Independent Variable)

Nama lain dari Variabel Bebas adalah Peubah Bebas Variabel Prediktor, Variabel Pengaruh, Varibel Kausa, Variabel Perlakuan (treatment), Variabel Risiko, dan Variabel Stimulus. Variabel Eksogen ( istilah dalam Structural Equation Modelling (SEM/ Permodelan Persamaan Struktural).

Variabel ini merupakan variabel yang bisa mempengaruhi perubahan pada Variabel Terikat (Dependent Variable), tidak berlaku sebailknya. Oleh karena itu, variabel ini disebut variabel bebas (independent).

Pada contoh diatas, “promosi” adalah variable bebas yang dapat dimanipulasi dan dilihat pengaruhnya terhadap “minta beli”, misalnya apakah promosi yang dilakukan di televisi akan mempunyai pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan melalui koran.

2. Variabel Tidak Bebas (Dependent Variable) 

Variabel tidak bebas sering disebut juga sebagai Variabel Konsekuen, Variabel Kriteria, Variabel Pengaruh, Variable Terikat, Variabel Tergantung, Variabel Output, Variabel Endogen (istilah alam SEM).

Disebut Variabel tidak bebas karena nilainya tergantung variabel bebasnya. Variabel tidak bebas adalah variabel yang varibilitasnya diamati, dan diukur untuk menentukan pengaruh yang disebabkan oleh variabel bebas. Variable tidak bebas merupakan respon variabel bebas.

Pada contoh diatas, pengaruh promosi terhadap minat beli sepeda motor, maka variabel terikatnya adalah “minat beli” Seberapa besar pengaruh promosi terhadap minat beli konsumen untuk sepeda motor tersebut. Untuk meyakinkan pengaruh variabel bebas promosi di TV terhadap minat beli, maka media TV dapat diganti dengan media koran. Jika besaran pengaruhnya berbeda, maka manipulasi terhadap variabel bebas membuktikan adanya hubungan antara variabel promosi dan minat beli konsumen.

3. Variabel Moderat (Moderate  Variable)

Variabel independen kedua merupakan nama lain untuk variabel moderator.

Variabel Moderator adalah variabel yang berpengaruh baik itu memperkuat maupun memperlemah  hubungan (relation) antara variabel bebas dan variabel terikat. Variabel moderat biasanya sengaja dipilih oleh peneliti untuk menentukan apakah kehadirannya berpengaruh terhadap  hubungan antara variabel bebas pertama dan variabel tidak bebas.

Pada kasus adanya hubungan antara promosi dengan minat beli, peneliti memilih variabel moderatnya ialah “harga”. Dengan dimasukkannya variabel moderat harga, peneliti ingin mengetahui apakah besaran hubungan kedua variabel tersebut berubah. Jika berubah, maka keberadaan variabel moderat berperan, sedang jika tidak berubah maka variabel moderat mempengaruhi hubungan kedua variabel yang diteliti.

Contoh:
Hipotesis:  Ada hubungan antara promosi di media televisi dengan meningkatnya kesadaran merk HP X.
Variabel Bebas           : “Promosi”
Variabel Tidak Bebas : “Kesadaran Merk”
Variabel Moderat        : “Media Promosi

4.  Variabel  Kontrol (Control Variable)

Pengertian Variabel Kontrol adalah variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan sehingga hubungan variabel bebas terhadap variabel terikat tidak dipengaruhi oleh faktor dari luar yang tidak diteliti. Variabel kontrol sering dipakai oleh peneliti dalam penelitian yang bersifat membandingkan, melalui penelitian eksperimental.

Biasanya dalam penelitian, peneliti berusaha menghilangkan/menetralkan pengaruh yang dapat mengganggu hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Variabel yang pengaruhnya dinetralkan inilah yang disebut Variabel Kontrol. Jika tidak dikontrol, variabel tersebut bisa memperbesar bias analisis.

Contoh:
Hipotesis: Ada pengaruh warna motor dengan minat beli di kalangan perempuan.
Variabel bebas           : “Warna”
Variabel Tidak Bebas : “Minat Beli”
Variabel Moderat        : “Perempuan”

Dalam contoh ini, variabel kontrolnya adalah Jenis Kelamin Perempuan, dengan asumsi bahwa hanya perempuan yang terpengaruh factor warna ketika minat membeli motor

5. Varibel Perantara (Intervening Variable)

Nama lain Variabel Perantara adalah Variabel Penyela, atau Variabel Antara.

Variabel ini terletak diantara Variabel Bebas dan Variabel Tidak Bebas, sehingga Variabel Bebas tidak secara langsung mempengaruhi berubahnya atau timbulnya Variabel Tidak Bebas. Secara teoritis, Variabel Perantara mempunyai pengaruh, tetapi tidak dapat diamati dan diukur. Pengaruhnya harus disimpulkan dari pengaruh-pengaruh Variabel Bebas dan Variabel Moderat terhadap gejala yang sedang diteliti.

Contoh:
Hipotesis: Promosi yang baik akan mempengaruhi peningkatan minat beli.
Variabel bebas                            : “Promosi yang  Baik”
Variabel Tidak Bebas                  : “Minat Beli”
Variabel Perantara/Pengganggu : “Kualitas Motor”

Pada dasarnya promosi yang baik akan meningkatkan minat beli, namun kualitas motor yang akan dijual juga mempengaruhi minat beli calon konsumen.

Jenis Variabel:

Secara bentuknya variabel dibagi menjadi Variable Konkrit dan Variabel Hipotetikal.
  • VARIABEL KONKRIT adalah variabel yang pengaruhnya dapat dilihat secara konkrit. Dalam hal ini yang termasuk Variabel Konkrit adalah Variabel Bebas, Varibel Tidak Bebas, Variabel Kontrol, dan Variabel Moderat .  Kesemua variabel tersebut dapat diobservasi.
  • VARIABEL HIPOTETIK  adalah variabel yang pengaruhnya tidak terlihat secara konkrit. Variabel Perantara secara teoritis mempunyai pengaruh terhadap Variabel Tidak Bebas,  tapi tidak dapat diukur dan dimanipulasi. Itulah sebabnya Varibel Perantara merupakan Variabel Hipotetikal.

 ______

Demikian, semoga bisa membantu Anda untuk mengenal dan memahami "Variabel".
Jika Anda merasa terbantu, tolong tinggalkan jejak di section "comment" di bawah ini ya..

Terimakasih..


Marisa Wajdi








Read More