10 Agustus 2017
Oleh: Rhenald Kasali
Dalam
CEO Forum Metro TV hari Kamis lalu (27/7/2017), saya sengaja mengundang Perry
Tristianto sebagai narasumber bersama para pengusaha properti. Kami membutuhkan
Perry untuk menguji kebenaran tentang lesunya pasar belakangan ini.
Seperti
pengusaha ritel dan properti lainnya, ternyata Perry mengkonfirmasi lesunya
pasar. “Sulit,” ujarnya. “Tahun lalu saja sudah susah, tahun ini lebih susah
lagi. Dan tahun depan saya yakin akan semakin susah …". Tapi ujungnya
Perry mengatakan, "semakin susah
bagi kita tak mau berubah!”
Perry
yang dikenal sebagai salah satu raja FO (Factory Outlet), tahu persis
pendapatan dari penjualannya di beragam FO di Bandung semakin hari semakin
turun. Tetapi, bedanya dengan pengusaha lainnya, ia tak mau menuding masalahnya
ada di daya beli. “Sudahlah,”
ujarnya lagi di Rumah Perubahan. “Masalahnya bukan di daya beli, tetapi gaya
hidup masyarakat yang terus berubah. Cepat sekali,” tambahnya.
Lawan-lawan Tak Kelihatan
Tentu
saja untuk melakukan validasi ucapan Perry, kita membutuhkan science. Dan
science membutuhkan data. Ilmu yang saya kuasai sesungguhnya bisa melakukannya. Hanya
masalahnya, lembaga-lembaga yang ditugaskan mengumpulkan data terperangkap
dalam sektor-sektor yang bisa dilihat secara kasat mata. Dan sektor-sektor itu
semuanya adalah konvensional.
Taksi
konvensional, properti konvensional, ritel konvensional, keuangan dan
pembayaran konvensional, penginapan (hotel) konvensional, otomotif yang dirajai
pemain-pemain lama, media dan periklanan konvensional dan seterusnya. Hampir
tak ada yang menunjukkan data substitusi atau prospek dari disruptornya. Ini
tentu bisa menyesatkan.
Sampai
kapanpun, kalau data-data yang dikumpulkan tetap seperti itu, maka kita akan
semakin cemas, sebab faktanya dunia konvensional cepat atau lambat akan
ditinggalkan konsumen baru, khususnya generasi millennials yang sekarang
usianya sudah mendekati 40 tahun.
Generasi
millennials itu mempunya cara pandang yang benar-benar berbeda dengan para incumbents
yang telah bertahun-tahun menjadi market leader. Uang (daya beli) mereka memang
belum sebesar generasi di atasnya yang lebih mapan, tetapi mereka bisa
mendapatkan barang-barang dan jasa-jasa yang jauh lebih murah di jalur
non-konvensional karena dunia ekonomi yang tengah peristiwa disruptif yang luar
biasa.
Di dunia
baru itu mereka dimanjakan pelaku usaha baru yang telah berhasil meremajakan
business process-nya. Mereka bukan pakai marketing konvensional (4P) melainkan
business model. Dan lawan-lawan tangguh pemain-pemain lama itu kini hadir tak
kasat mata, tak kelihatan.
Ibarat
taksi yang tak ada merknya di pintu, tanpa tulisan “taksi”, dan penumpang turun
tak terlihat tengah membayar. Sama sekali berada di luar orbit incumbent,
pengumpul data dari BPS dan lembaga-lembaga survei lainnya, ekonom, bahkan oleh
para wartawan sekaligus.
Kita
hanya disajikan angka-angka penurunan yang sudah diramalkan oleh penemu teori
Disruption, Christensen (1997), bahwa data-data itu sungguh tak valid.
Pernyataan Christensen itu bisa Anda buka di situs YouTube dalam suatu
wawancara di kampus MIT.
Di situ
Christensen menjelaskan pertemuannya dengan founder Intel, Andy Groove yang
sempat meninggalkannya setelah sekitar 5 menit mengundang Christensen. Namun
seminggu kemudian Andy menyesali perbuatannya dan kembali mengundang penemu
teori Disruption itu. Apa alasannya?
“Saya
akhirnya menyadari ucapan Anda bahwa pemain-pemain lama seperti Intel ini bisa
terdisrupsi oleh pendatang-pendatang baru yang masih kecil-kecil karena mereka
membuat produk yang simpel yang jauh lebih murah,” ujar Andy Groove seperti
ditirukan Christensen.
“Look,”
ujarnya lagi. “Saya membutuhkan data, tetapi dalam era disruption data yang ada
sudah tidak bisa dipakai lagi karena data yang kami kumpulkan adalah data-data
kemarin yang hanya cocok untuk melakukan pembenaran. Sedangkan kami butuh data
untuk melihat apa yang tengah dan yang
akan terjadi besok. Jadi yang saya butuhkan; kalau belum ada datanya adalah
teori. Dan teori Anda menjelaskan proses shifting itu.”
Intel
selamat berkat disruptive mindset-nya. Dan sekarang kita saksikan hal itu
tengah terjadi secara besar-besaran dalam landscape ekonomi Indonesia. Semua
orang bingung.
Tabloid
Kontan menyajikan judul menarik, “Gejala Anomali Ekonomi Indonesia” sembari
menunjukkan data-data penurunan pertumbuhan penjualan beragam sektor. Sayangnya
kita hanya membaca sektor-sektor yang, maaf, konvensional.
Kita tak
cermat membaca ketika penjualan sepeda motor turun sebesar 13,1 persen dan
semen turun1 persen untuk semester 1 tahun ini (dibanding periode yang sama
tahun lalu). Kemana ia beralih?
Juga tak
kita baca bahwa pendapatan PT Astra International naik 30 persen sepanjang
semester I tahun ini.
Yang
lain kita mendengarkan pandangan-pandangan yang saling bertentangan. Teman saya
pengusaha keramik terbesar di negeri ini mati-matian menjelaskan daya beli saat
ini sedang drop. Tetapi Perry Tristianto mengatakan, “Dulu saja,
Jakarta-Bandung atau sebaliknya cukup 2 jam. Sekarang 5 – 7 jam. Sulit bagi
saya untuk mengakui bahwa daya beli turun?”
Saya
tambahkan lagi, selama mudik lebaran kemarin (dipantau sekitar 4 minggu),
penumpang yang terbang dari 13 bandara di lingkungan AP 2 naik sekitar 11
persen. Lalu di Bandara Halim Perdanakusuma saja naiknya hingga 25 persen.
Blame
and Confirmation Trap
Kejadian-kejadian
ini jelas disukai para eksekutif yang bisnis-bisnisnya mengalami kelesuan.
Maaf, maksud saya, kita tiba-tiba seperti punya jawaban pembenaran. Semacam
konfirmasi. “Tuh kan, emang bener, daya beli turun. Jadi wajar, kan?”
Pada
saat saya tulis kolom ini pun banyak yang menunjukkan gejala serupa: mainan
anak-anak juga turun signifikan. Sama dengan data dari asosiasi pengusaha
angkutan truk.
Mengapa
kita tak belajar dari pertarungan mainan anak-anak antara Hasbro (yang naik
terus penjualanannya karena bertransformasi dari mainan monopoli ke mainan
transformer yang kaya "experience" dan online games) dengan Mattel
(yang dari masa ke masa hanya membuat boneka Barbie).
Para
penjaja mainan juga luput memonitor beralihnya anak-anak ke permainan yg
menantang seperti gym anak-anak, parkour dan mainan lain yang kaya engagement. Namun
alih-alih membaca weak signals, hari-hari ini komentar yang sering kita dengar
justru lebih banyak menghibur diri untuk membenarkan turunnya pencapaian
target.
Lantas
pertanyaannya, “memangnya kalau kondisi kembali membaik menurut versi itu,
katakanlah sekarang daya beli benar-benar turun (bukan shifting), nanti
manakala benar-benar sudah kembali lagi, katakanlah setahun dari sekarang, dan
daya beli membaik besar-besaran, lantas penjualan produk/jasa Anda benar-benar
kembali naik?”
Come on,
my brother. Itu benar-benar perangkap. A confirmation trap karena puluhan
pelaku usaha di bidang yang konvensional semua membenarkannya. Dan Anda pun
memiliki satu buah perangkap lagi: A blame trap. Ya, kita terlalu senang
mencari, pertama-tama, siapa yang bisa kita blame, kita salahkan, bukan
memecahkan masalah yang sebenarnya.
Realitas Lain
Kebetulan
sejak buku Disruption beredar akhir februari lalu, di Rumah Perubahan kami
mulai mengkaji kejadian-kejadian yang berada di luar orbit konvensional.
Kami
mendengarkan, mengecek kebenaran, mengumpulkan fakta-fakta yang terjadi dalam
aneka usaha yang berkembang di luar orbit yang kasat mata itu.
Kami
membuat semacam case study dan menyebarkannya kepada sejumlah eksekutif.
Sebulan sekali mereka datang dan mengikuti kuliah saya, membahas kasus-kasus
itu sehingga mereka bisa membedakan mana kasus tentang bisnis yang salah urus
dan mana yang terimbas disruption. Kami membagi ke dalam dua kelompok.
Kelompok
pertama, adalah para CEO dan pejabat-pejabat Eselon 1, komisaris perusahaan,
para rektor dan pemimpin-pemimpin strategis. Kami membahas bagaimana mereformulasi
strategi di era ini. Lalu kelompok kedua diikuti orang-orang marketing dan
sales, para CMO (Chief Marketing Officer).
Dalam
setiap pertemuan, kami menghadirkan CEO –CEO yang melakukan disruption dan yang
terdampak oleh disruption. Dari situ kami mengetahui apa yang setidaknya
terjadi atau bakal terjadi.
Kami
jadi mengerti mengapa penjualan sepeda motor turun, sementara kendaraan yang
lain justru tengah kebanjiran permintaan. Kami jadi mengerti mengapa Sevel
ditutup, mengapa supermarket-supermarket besar kini kesulitan akibat perbaikan
distribusi yang dilakukan produsen-produsen besar.
Kami
jadi mengerti mengapa suasana perdagangan di Harco (Glodok), Mangga Dua dan
bahkan Pasar Tanah Abang serta Electronic City yang dulu ramai kini mulai terganggu.
Kami
juga mengecek sektor-sektor non-konvensional. Tidak terlalu sulit karena dua
start up lahir dari tempat kami, yang satu situs pengumpulan dana (crowd
funding) dan satu lagi situs peternakan yang semua saling terjalin kerjasama
dengan start up-start up besar Nusantara lainnya dalam bidang fintech dan
retail. Kami bisa lebih mudah mengintip data-data mereka.
Dari
berbagai pertemuan dengan para CEO itu, saya juga mendapatkan data-data yang
bertentangan dengan pandangan tentang memudarnya daya beli.
Minggu
lalu saya juga sempat makan malam dengan CEO perusahaan tepung tererigu besar
yang langsung mengecek data produksi dari ponselnya. Ia mencatat kenaikan
permintaan yang masih terus berlanjut meskipun hari raya telah lewat. Bahkan
hari raya Lebaran saja ia mengaku sebagian besar pegawainya tak bisa libur demi
mengejar produksi.
Tetapi
yang lebih menarik adalah membaca data-data perputaran uang dalam bisnis
non-konvensional yang akhirnya tampak dalam bidang logistik.
Saya
memilih perusahaan yang paling sering disebut situs-situs belanja online
semisal JNE atau JNT. Sekali lagi dari JNE saya mendapatkan data pengiriman
barang yang sangat signifikan.
Tetapi
yang mengagetkan saya terutama adalah perubahan pola penyaluran barang dan
sentra-sentra pengiriman. Harus kita akui, shifting yang tengah terjadi sangat
berdampak pada semua pemain lama.
Tak
banyak yang menyadari bahwa beras dan bahan-bahan pokok yang dibeli para
pedagang dan konsumen di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi saja sudah berawal
dari Tokopedia dan Bukalapak.
Barang-barang
pangan itu juga bukan lagi diambil dari sentra-sentra konvensional yang selama
ini kita kenal. Petanya telah berubah.
Saya
juga membaca bahwa perbaikan di sektor perhubungan, khususnya tol laut, jalan
tol, pelabuhan-pelabuhan dan bandara-bandara baru telah membuat rezeki beralih
dari pedagang-pedagang besar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya ke berbagai
daerah. Dari pengusaha-pengusaha besar ke ekonomi kerakyatan.
Saya
ingin kembali ke rekan saya, Perry Tristianto, si raja FO yang tadi saya
ceritakan. Karena penjualan FO sudah bukan zamannya lagi dan turun terus, ia
pun telah mengalihkan usahanya dari ritel konvensional ke bidang wisata.
“Saya
menemukan perbedaannya. Justru sekarang daya beli itu ada di segmen bawah.
Mereka yang naik sepeda motor bersama keluarga mampu ke kawasan wisata,
dipungut biaya, dan mengucapkan terima kasih. Sementara yang membawa mobil
Mercedes komplain: mengapa harus bayar?"
Saya
mengerti fenomena disruption ini masih sulit dipahami para incumbents yang
telah bertahun-tahun menjadi "penguasa" dalam bisnisnya
masing-masing. Namun hendaknya kita sadar bahwa banyak hal telah berubah dan
kita telah tinggal dalam kubangan aneka perangkap, di antaranya adalah
"the past (success) trap".
Saya tak
mengatakan daya beli telah tumbut besar-besaran. Saya hanya mengatakan terlalu
dini menuding penurunan pendapatan dan penjualan karena daya beli. Mungkin
bukan itu masalahnya.
sumber: http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/29/120323026/daya-beli-terpuruk-tetapi-jalan-semakin-macet
Sekedar Catatan:
Hmm.. tulisan yang menenangkan. Seperti biasa Rhenald Kasa mencoba para penyimaknya untuk melihat dari perspektif yang berbeda. Tidak melulu satu arah dengan yang sedang ramai. Saya senang ada 'mereka' yang bisa dengan tenang melihat sisi-sisi objektif dalam melihat sebuah fenomena. Mungkin tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, hanya saja karena kita melihat dar sudut pandang yang berbeda
Marisa Wajdi!!!