Skip to main content

MENGGUGAT AKURASI DATA SEKTORAL

Kompas, 10 Aug 2017

Oleh MAYLING OEY-GARDINER 
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia dan anggota Komisi Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia



Impiankah untuk berharap bahwa karut marut data beras belakangan ini bisa menjadi dorongan bagi semua kementerian untuk memperbaiki akurasi data sektoral yang menjadi tanggung jawabnya, hingga mampu menghasilkan statistik yang mencerminkan fakta keadaan sebenarnya?

Jika bukan impian, itulah yang diharapkan peneliti-ilmuwan agar dapat melaporkan fakta atau kebenaran yang ada dalam dunia empiris. Bagaimana tidak. Peneliti tentu saja mengharapkan pengambilan keputusan oleh pejabat secara berkelanjutan bisa terus memperbaiki kehidupan rakyat bermasyarakat. Hal ini hanya bisa diwujudkan jika pengambilan keputusan terkait kebijakan tersebut didasarkan pada fakta kebenaran yang ditunjukkan oleh data statistik yang dikumpulkan secara akurat, ilmiah, dan bertanggung jawab. 

Kelemahan akurasi data sebenarnya tidak hanya terjadi pada beras, dan juga tidak hanya terjadi pada kementerian yang terkait dengan urusan beras, tetapi juga pada persoalan dan instansi-instansi lain.

Data sektoral bermutu 

Secara undang-undang, data sektoral, terutama data administratif, merupakan tanggung jawab kementerian. Dalam struktur kementerian, ada unit yang bernama litbang (penelitian dan pengembangan), yang membawahi unit bernama pusdatin (pusat data dan informasi). Oleh karena itu, jika mencari data kementerian, tentu saja kita mulai dari pusdatin. 

Sayangnya, kendati memiliki program komputer canggih, jarang ada staf pusdatin yang menguasai ilmu data yang dibutuhkan dan cara memperoleh, mengelola, dan mengolahnya. Dengan bangga pengunjung diberi tahu bahwa sistem yang ada mampu memberikan data real time, kapan saja dapat diperoleh data pada waktu diminta. Sebagai contoh, dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil) dapat memberikan angka ”jumlah penduduk”. Namun, analis dan pengambil keputusan kebijakan cenderung memerlukan data statistik yang menggambarkan perkembangan, misalnya. Mungkin data real time sebenarnya merupakan angka hasil pemasukan data (data input) tanpa ada yang tahu kebenarannya. 

Hasil investigasi oleh penulis menemukan bahwa tugas unit pusdatin sering dikerjakan oleh tenaga yang tidak selalu memiliki latar belakang pendidikan yang dibutuhkan. Boleh dikatakan jarang ditemukan petugas yang memiliki kemampuan menghasilkan statistik yang diperlukan, seperti angka partisipasi, angka kesakitan, dan prevalensi. Sementara sistem administrasi yang ada tidak menyediakan staf yang mampu memeriksa kelengkapan dan kebenaran data yang dimasukkan. Dalam sistem desentralisasi, keadaan jadi lebih sulit karena pusat tak dapat secara langsung berhubungan dengan unit pengumpul data di daerah. Data sektoral diterbitkan dengan bekerja sama dengan BPS. Setiap tahun ada terbitan kementerian dan dinas yang bekerja sama dengan BPS, yang menghasilkan ”Statistik Indonesia” dan ”Daerah (provinsi, kabupaten) dalam Angka”. Hasilnya, angka statistik tahunan bisa naik-turun bagaikan ayunan, tanpa ada yang tahu, tanpa ada yang peduli.

Tentu saja tidak ada yang tahu jika yang dilaporkan hanya 1 (satu) angka untuk 1 (satu) tahun, sebagaimana ditemukan dalam 1 (satu) terbitan statistik nasional dan daerah. Yang perlu dirisaukan tentu saja adalah penggunaan ataupun penyebutan angka yang tidak sesuai fakta, tetapi ada kalanya, dan bahkan sering, dijadikan sebagai landasan pengambilan keputusan kebijakan, baik di pusat maupun di daerah. Atau mungkinkah keputusan kebijakan diambil tanpa pengetahuan fakta lapangan?

Data dan Kebijakan

Data yang diterbitkan menimbulkan pertanyaan kebijakan publik. Berikut disajikan beberapa contoh yang seharusnya menggambarkan keadaan belakangan ini. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diterbitkan BPS dalam Statistik Indonesia (terbitan tahunan) terjadi perubahan berikut. Sejalan dengan tren penurunan fertilitas yang menjanjikan kemungkinan bangsa Indonesia menikmati bonus demografi pada 2020, jumlah murid SD menurun dari 27,6 juta menjadi 26,1 juta antara 2010 dan 2014, atau sebanyak 1,5 juta hanya dalam waktu empat tahun saja. Anehnya, penurunan jumlah murid yang demikian besar itu malah dibarengi pertambahan jumlah sekolah dasar sebanyak 709 unit, dari 146.804 unit menjadi 147.513 unit. Namun, yang lebih mengejutkan adalah kebijakan pemerintah yang merespons penurunan jumlah murid dengan penambahan guru sebanyak 194.133 orang (dari 1,5 juta menjadi 1,7 juta orang). Suatu jumlah yang tidak kecil, tetapi mungkin sekali populer mengingat kementerian memperoleh tambahan anggaran yang besar sekali, meskipun hingga kini tidak menghasilkan perbaikan mutu pendidikan anak bangsa. Hingga sekarang belum ada yang meminta pertanggungjawaban pemerintah, penyebabnya kemungkinan besar adalah karena tak ada yang tahu. 

Pertanyaan untuk Menristek dan Dikti agak berbeda. Dalam waktu yang sama, jumlah mahasiswa bertambah 1,1 juta orang (145.474 di PTN dan 963.160 di PTS). Gejala ini lumrah mengingat perluasan kelas menengah. Sebagian dari pertambahan tersebut diakomodasi dalam 140 kampus baru (dari 3.185 menjadi 3.325). Anehnya perkembangan tersebut dibarengi pengurangan jumlah dosen sebanyak 35.736 orang (595 orang dari PTN dan 36.331 orang dari PTS), atau 21 persen dari keadaan 2014. Apakah hal tersebut merupakan akibat dari kebijakan pemerintah yang sangat merugikan mahasiswa swasta, anak bangsa Indonesia yang tidak dapat ditampung di PTN? Benarkah sepertinya pemerintah dengan sengaja menelantarkan mahasiswa kurang mampu (sehingga terpaksa masuk PTS), atau sebenarnya merupakan akibat dari kurang akuratnya data yang ada? Demikian pula dapat diajukan pertanyaan terkait kebijakan kesehatan, khususnya ketersediaan pelayanan rumah sakit. 

Data yang ada menunjukkan kecenderungan penyediaan pelayanan yang bias untuk kaum berada. Dalam empat tahun terakhir terjadi peningkatan yang sangat tajam jumlah rumah sakit umum (RSU) dan rumah sakit khusus (RSK), yang cenderung berada di kota tempat tinggal kaum mampu. Sebaliknya, puskesmas yang lebih banyak melayani kaum kurang mampu di kabupaten, bahkan di kecamatan, tidak banyak bertambah. Jumlah RSU bertambah 556 unit atau 43 persen (dari 1.299 unit menjadi 1.855 unit) dan RSK bertambah 218 unit atau 65 persen (dari 333 unit menjadi 551 unit); sedangkan jumlah puskesmas bertambah 726 unit atau hanya 8 persen, dari 9.005 unit menjadi 9.731 unit. Dapatkah dikatakan bahwa data tersebut merupakan hasil kebijakan kementerian yang berpihak pada kaum berada? Atau, seperti data kementerian lainnya, akibat dari kualitas data? 

Sebelum rakyat mempertanyakan kebijakan pemerintah— setelah melihat data yang diterbitkan BPS sebagai pertanggunganjawaban kepada publik—kementerian diharapkan lebih memperhatikan unit penghasil datanya. Unit ini dapat menjadi jendela mengumumkan fakta melalui data statistik dan informasi keadaan dan rencana tujuan kebijakan. Unit tersebut diharapkan tidak bertindak defensif menutup diri dengan menolak publik memperoleh data tentang keadaan sebenarnya. Sebaliknya, unit tersebut seyogianya diberdayakan dengan sumber daya dan dana yang memadai agar dihasilkan data yang bermutu dan akurat sesuai fakta di lapangan. 

***

Sekedar catatan:

Saya sadar betul, bahwa Saya bukan orang yang bisa membaca makna implisit yang ingin orang lain sampaikan. Perasaan tidak paham Saya alami ketika membaca tulisan Prof. Mayling Oey-Gardiner diatas. Setahu saya Prof. Mayling Oey-Gardiner adalah salah satu tokoh yang sangat mendukung sepak terjang BPS. Beliau adalah salah satu dari banyak orang pintar yang tahu tantangan dan hambatan yang dihadapi BPS. Tapi, tulisan diatas terasa menunjukkan sebaliknya. Ah, mungkin perasaan Saya saja. 

Saya kira Prof. Mayling Oey-Gardiner tahu pasti alasan dan latar belakang kenapa BPS harus 'membantu' kementerian dalam mengumpulkan data sektoral. Tepat seperti yang beliau katakan, bahwa sumber daya manusianya ada di BPS. Dalam  dunia yang sempurna, alangkah indahnya jika kementerian mengumpulkan data sektoral yang berkualitas, seterusnya BPS tinggal meramu dan menghitung indikator makro yang dibutuhkan oleh para stakeholder. Indahnya.... Saya menunggu masa itu datang.


Marisa Wajdi!!!

Comments

Popular posts from this blog

SIR RONALD AYLMER FISHER (1890-1962)- "Pengembang Distribusi F"

Fisher   adalah pakar statistika, pertanian eksperimental, dan genetika kuantitatif asal Inggris. Richard Dawkins, tokoh pendukung neo-Darwinisme dan atheisme, menyebutnya sebagai “Pengganti Darwin terbesar”, dan ahli sejarah statistika Anders Hald menyebut “Fisher adalah seorang jenius yang dengan sendirian menciptakan dasar-dasar ilmu statistika modern”. Nama : Sir   Ronald Aylmer Fisher   TTL : Inggris, 17 Februari 1890 Peran dalam Statistika : pemberi landasan bagi banyak aspek dalam statistika modern, khususnya di bidang statistika inferensi, yang mempelajari teori estimasi dan uji hipotesis. Ia juga dikenal sebagai orang yang mampu menyatukan dua kutub perdebatan di awal perkembangan genetika modern: antara kutub genetika kuantitatif dan genetika kualitatif (genetika Mendel) Sumbangan Fisher Prinsip Disain Eksperimen maksimum likelihood sufficiency ,   ancilarity Diskriminator Lin

TABEL INPUT-OUTPUT: Penyajian Tabel

#6 Penyajian Tabel Input-Output Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa suatu tabel I-O sebenarnya terdiri dari 4 (empat) kuadran, yaitu kuadran I merupakan kuadran input antara ( intermediate inputs ) atau kuadran konsumsi antara ( intermediate consumptions ), kuadran 2 merupakan kuadran permintaan akhir ( final demands ) atau konsumsi akhir ( final consumptions ), kuadran 3 merupak kuadran nilai tambah ( value added ) atau kudaran input primer ( primary inputs ), dan kuadran 4 merupakan kuadran keterkaitan nilai tambah dengan permintaan akhir ( interrelated between value added and final demands ).   Tetapi buku ini hanya mengenalkan suatu tabel I-O dengan menggunakan 3 (tiga) kuadran saja, yaitu kuadran 1, 2, dan 3, mengikuti tabel I-O yang disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Paling tidak, suatu tabel I-O dapat disusun dengan menggunakan kombinasi dari 4 (empat) bentuk susunan berikut, yaitu: Tabel I-O model impor bersaing ( competitive import Input-Output mod

Proyeksi Perubahan Piramida Penduduk Indonesia 2010-2035

Peristiwa lahir, mati dan pindah merupakan peristiwa alamiah yang bisa terjadi di suatu wilayah. Hal tersebutlah yang mengakibatkan adanya dinamika penduduk di wilayah tersebut. Karena merupakan peristiwa alamiah, maka dinamika penduduk bisa berlangsung walaupun tanpa intervensi. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa tanpa adanya intervensi maka tingkat kelahiran dan kematian bisa sangat tinggi. Padahal salah satu indikator perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat adalah: rendahnya tingkat kematian dan rendahnya angka ketergantungan. Transisi demografi di Indonesia, berlangsung secara perlahan namun terus menerus. Hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010) menunjukkan adanya transisi demografi yang  mengubah struktur umur penduduk Indonesia. sejak tahun 1971. Keberhasilan berbagai program dalam mengintervensi dinamika penduduk telah mampu menggeser anak-anak dan remaja, berusia dibawah 15 tahun, yang biasanya besar dan berat di bagian bawah dari piramida penduduk Indonesia, ke bagian