9 Agustus 2017
Oleh:
Oleh:
Ari Kuncoro, Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Indonesia
Beberapa minggu terakhir ini media massa, media sosial, dan
kelompok Whatsapp diramaikan oleh perdebatan terjadinya perbedaan (discrepancy)
antara data makroekonomi Indonesia, yaitu pertumbuhan produk domestik bruto,
dan data/survei mikro di pasar retail. Beberapa foto yang menunjukkan betapa sepinya beberapa pusat
perbelanjaan yang terkenal turut menghiasi diskursus masyarakat tersebut.
Pertanyaan mendasar adalah mengapa walaupun pertumbuhan
ekonomi pada 2017 triwulan III cukup baik, yaitu sebesar 5,01 persen, tetapi
pada saat yang sama beberapa sumber menunjukkan terjadi pelemahan di pasar
retail, seperti penurunan konsumsi semen nasional sebesar 1,2 persen year on
year (yoy) pada semester I-2017, penurunan penjualan pakaian sebesar 15 persen
pada saat Lebaran, dan tingkat kekosongan perkantoran di area pusat perkotaan
(CBD) sebesar 18,4 persen.
Yang menarik kemudian di sela-sela perdebatan ini adalah
pendapat beberapa pakar bahwa yang terjadi sebenarnya adalah bukan perlambatan,
melainkan pergeseran dari tren belanja barang ke daring (online). Pendapat ini
menegaskan bahwa pengamatan mikro pada satu sektor saja tidaklah cukup untuk
menarik kesimpulan tentang keseluruhan perekonomian (economy wide). Untuk
itulah kita perlu melihat data makro yang lebih rinci sehingga gambaran
makro-mikro tidak putus.
Pengamatan tersebut dapat dilakukan jika ada data konsumen
yang langsung dapat disandingkan dengan data pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran
retail adalah bagian dari konsumsi, sementara konsumsi masyarakat adalah bagian
dari produk domestik bruto (PDB). Yang diperlukan adalah data konsumsi yang
memiliki rincian yang cukup lengkap menangkap beberapa tingkah laku masyarakat
dalam mengonsumsi, tidak sekadar hanya konsumsi agregat. Data triwulanan
terakhir PDB Badan Pusat Statistik memiliki informasi cukup lengkap untuk
memenuhi kebutuhan ini.
Makin menengok ke belakang, misalnya ke triwulan I-2011,
pertumbuhan PDB lebih tinggi sekitar 2,5 persen yoy dibandingkan dengan
pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Perbedaan tersebut menangkap tahun-tahun
terakhir dari ekspor boom yang berasal dari komoditas. Semakin menuju ke waktu
terkini, dimulai dari triwulan III-2013, dua garis tersebut bersatu atau
mengalami konvergensi yang menunjukkan bahwa dinamika pertumbuhan PDB tidak
dapat dipisahkan dari pertumbuhan konsumsi.
Dengan kata lain dinamika pertumbuhan konsumsi mendominasi
pertumbuhan PDB karena pangsanya adalah yang terbesar dalam PDB. Dinamika dari
PDB sebagian besar ditentukan oleh perkembangan konsumsi rumah tangga. Jika
pertumbuhan konsumsi masyarakat relatif datar, maka demikian juga dengan
pertumbuhan PDB.
Setelah akhir 2013, dalam waktu yang cukup lama, konsumsi
rumah tangga sebagai komponen pengeluaran yang terbesar dalam PDB (pertumbuhan
rata-rata 4,7 persen) suka tidak suka telah menjadi motor penggerak
perekonomian karena porsinya paling besar dalam PDB, yaitu rata-rata 54,4 persen.
Ditambah kontribusi dari komponen pengeluaran agregat lain yang lebih kecil dan
tidak bervariasi banyak, tidaklah mengherankan jika pertumbuhan PDB hampir
selalu berada pada kisaran 5 persen yoy mengikuti dinamika konsumsi rumah
tangga.
Pada gilirannya dinamika konsumsi rumah tangga akan
ditentukan oleh apa yang menjadi komponennya. Konsumsi masyarakat dapat dibagi
menjadi beberapa kategori: (1) makanan dan minuman selain di hotel dan
restoran; (2) piranti rumah tangga, termasuk pakaian dan sepatu; (3) perlengkapan
rumah tangga; (4) pendidikan dan kesehatan; (5) transportasi dan komunikasi;
dan (6) hotel dan restoran.
Yang terakhir ini menangkap aktivitas menikmati waktu luang
atau leisure, seperti menginap di hotel, makan di restoran, dan melakukan perjalanan
atau sekadar makan di luar sambil window shopping di mal.
Pertumbuhan belanja makanan dan minuman selain di hotel dan
restoran relatif tetap, yaitu sekitar 5 persen yoy. Yang menurun cukup
signifikan adalah konsumsi piranti rumah tangga, termasuk sepatu dan pakaian.
Pembelian perlengkapan rumah tangga (tahan lama) sedikit menurun. Pendidikan
dan kesehatan sedikit berfluktuasi walaupun sempat mengalami penurunan, tetapi
pertumbuhan di triwulan III-2017 melonjak cukup tajam. Yang menarik adalah
kategori konsumsi hotel dan restoran yang juga dapat menunjukkan tingkat
affluence masyarakat setelah kebutuhan yang lebih pokok terpenuhi.
Pergeseran pola konsumsi
Makan di restoran merupakan salah satu contoh dari perilaku
affluence atau gaya hidup hedonis. Gaya hidup hedonis sendiri mempunyai
beberapa tingkatan. Tingkat menikmati waktu luang dengan berekreasi dianggap
lebih tinggi daripada sekadar membeli barang tahan lama.
Tampaknya ada gejala di mana rumah tangga mencoba
mempertahankan gaya hidup leisure. Konsumsi kategori ini cenderung bertahan
walaupun ada sedikit fluktuasi, tetapi pada periode akhir pengamatan besarannya
justru meningkat. Kemacetan yang terjadi di Jalan Tol Jagorawi ke arah
Bogor/Puncak, Malang-Surabaya, Yogyakarta-Magelang; bandara yang sibuk pada
hari Jumat; dan tiket kereta api yang terjual habis pada saat long-weekend
sepertinya menggambarkan keinginan sebagian besar rumah tangga (kelas menengah)
untuk menikmati waktu luang keluar dari rutinitas. Tampaknya mereka berasal
dari segala lapisan pendapatan di kelas menengah.
Jika diambil satu merek saja di antrean gerbang tol,
misalnya Toyota Kijang, hampir semua tahun pembuatan ada, dari tahun 1980-an
sampai keluaran terbaru. Dalam kondisi pendapatan yang pas-pasan sebagai kelas
menengah, mereka menjadi sadar anggaran (budget conscious). Dalam perencanaan
keuangan, mereka tahu benar apa yang menjadi prioritas. Yang bukan lagi
prioritas utama adalah konsumsi piranti rumah tangga, termasuk pakaian dan
sepatu serta perlengkapan rumah tangga.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa pergeseran ini dirasakan
sekali sebagai perlambatan di sektor retail. Penulis teringat partisipasi
sebagai salah seorang panelis di diskusi panel ahli ekonomi yang
diselenggarakan Kompas pada November 2016. Dalam diskusi tersebut terungkap
bahwa terdapat stagnasi pada upah riel. Kenaikan upah secara nominal hanya
cukup secara pas-pasan untuk mempertahankan daya beli dan gaya hidup hedonis
yang sudah digemari masyarakat. Perilaku konsumsi gaya baru ini ditularkan
melalui pengamatan terhadap sekitar, media televisi, media sosial, dan
lain-lain.
Waktu itu kami belum terlalu mengerti bahwa ujung-ujungnya
akan seperti ini. Walaupun upah nominal naik, banyak pabrik mengurangi jam
kerja (karena permintaan luar negeri dan dalam negeri melemah), sehingga
pendapatan riil juga tidak meningkat banyak, bahkan cenderung turun dan bukan
semata-mata karena inflasi. Sebagai akibatnya, untuk mempertahankan tingkat
pendapatan yang cukup, mereka harus mengambil pekerjaan sambilan, misalnya
menjadi pengojek. Cara lain adalah dengan mengerahkan anggota keluarga untuk
turut bekerja guna menambah pendapatan rumah tangga (collective household
income).
Untuk membeli kebutuhan pokok memang masih mencukupi
(terlihat dari konstannya pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman di luar
restoran). Akan tetapi, karena sudah telanjur menikmati affluence dari gaya
hidup hedonis tingkat awal, tampaknya mereka bersedia menunda konsumsi barang
tahan lama asalkan dapat menikmati waktu luang (tecermin dari tetap tingginya pertumbuhan
konsumsi ”hotel dan restoran”).
Gaya hidup hedonis menikmati waktu luang (termasuk
jalan-jalan sebagai turis domestik) tampaknya mulai menggeser gaya hidup
hedonis dengan mempertontonkan barang atau gadget. Yang tadinya membeli baju
baru setahun sekali waktu Lebaran, mungkin sekarang cukup puas dengan memakai
baju lama yang penting bersih.
Kalau dulu telepon genggam diganti setiap enam bulan sekali,
mungkin sekarang cukup ganti dua tahun sekali. Yang dulu membeli semua
kebutuhan pokok di Indomaret dan Alfamart, sekarang untuk sebagian kebutuhan
cukup membelinya di tukang sayur dekat rumah. Mereka mungkin masih mengunjungi
mal-mal untuk makan di food court bersama keluarga, tetapi secara keseluruhan
bundel belanjanya mengecil. Mereka juga rela menahan belanja barang konsumsi
tahan lama sekadar untuk dapat menabung guna merayakan Lebaran di kampung
halaman di mana mereka merasa menjadi wong.
Seandainya saja terdapat kenaikan pendapatan riel rumah
tangga, perubahan pola konsumsi rumah tangga menuju konsumsi yang lebih
affluence mungkin tidak akan berdampak terlalu drastis seperti yang dirasakan
sekarang oleh industri retail. Kategori piranti dan pelengkapan rumah tangga
secara bersama-sama mengambil porsi sekitar 10 persen dari PDB sehingga
penurunan pertumbuhan akan segera berdampak signifikan terhadap sektor retail.
Tanpa kompensasi dari pertumbuhan konsumsi hotel dan
restoran serta komponen besar pengeluaran agregat, seperti konsumsi pemerintah,
investasi, dan ekspor; pertumbuhan PDB dapat saja jatuh sedikit di bawah 5
persen per tahun. Hal ini memberi gambaran mengapa pertumbuhan ekonomi (makro)
masih di atas 5 persen per tahun walaupun industri retail mengalami penurunan
pertumbuhan.
Perkembangan sisi pengeluaran konsumsi kemudian dipadankan
dengan beberapa produk terpilih sektor manufaktur. Industri makanan dan minuman
mempunyai pertumbuhan yang solid sesuai dengan pertumbuhan pengeluaran konsumsi
untuk hotel dan restoran. Tekstil dan garmen tampaknya mempunyai masalah dalam
mempertahankan pertumbuhan yang positif.
Hal ini sesuai dengan perlambatan sisi pengeluaran konsumsi
piranti rumah tangga. Sebaliknya produk kulit dan sepatu mempunyai pertumbuhan
yang cukup baik seiring dengan makin populernya gaya hidup berkegiatan di luar
rumah, seperti berkemah, naik sepeda, dan atletik. Bukan tidak mungkin
fasilitas belanja daring turut membantu kinerja industri ini.
Produk kayu dan rotan menunjukkan perkembangan yang sejalan
dengan tekstil dan garmen terkena dampak lesunya pengeluaran konsumen untuk
perangkat rumah tangga. Bahan kimia, farmasi, dan obat-obatan menunjukkan
pertumbuhan yang baik seiring dengan solidnya pengeluaran konsumen untuk
kesehatan. Barang metal, komputer, elektronik, dan furnitur mengalami kelesuan
sejalan dengan menurunnya pertumbuhan pengeluaran konsumsi untuk perlengkapan
rumah tangga.
Menggerakkan ekonomi
Salah satu hal yang menyebabkan perekonomian tetap dapat
tumbuh sekitar 5 persen per tahun adalah penduduk Indonesia yang berjumlah 250
juta yang merupakan konsumen sekaligus produsen. Anugerah ini bukanlah alasan
untuk berpangku tangan, melainkan dapat dianggap sebagai modal dasar. Tampaknya
fenomena anomali makro-mikro yang banyak diperdebatkan orang lebih disebabkan
oleh pergeseran pola konsumsi rumah tangga ke arah kehidupan konsumtif hedonis
menikmati waktu luang.
Fenomena ini merupakan peluang baru yang dapat dimanfaatkan
pemerintah untuk menggunakan wisata domestik sebagai salah satu penggerak
perekonomian dalam negeri. Agar perekonomian tumbuh di atas 5 persen, tetap diperlukan
kontribusi pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor. Investasi dan ekspor
harus digalakkan terus sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dengan menekan
ekonomi biaya tinggi dan memperbaiki sistem logistik di dalam negeri. Dalam hal
penghematan anggaran yang dilakukan pemerintah, struktur pemungutan anggaran
harus tetap memperhatikan dampak dari stimulus anggaran terhadap perekonomian.
Jika tujuannya adalah untuk menggerakkan perekonomian,
dampak pengganda (multiplier) terbesar adalah di satu daerah yang mempunyai
struktur ekonomi yang lengkap, mulai dari pertanian hingga industri manufaktur
dan jasa-jasa. Jika pengeluaran pemerintah diarahkan ke sektor pertanian di
perdesaan di daerah yang padat penduduknya, efek penggandanya akan berputar
semakin lama melalui hierarki desa, kota kecil, kota menengah, dan akhirnya
kota besar, menciptakan proses pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Rencana pemerintah untuk merevitalisasi 1.600 kilometer
jalan kereta api yang tidak aktif dapat dikategorikan sebagai kebijakan ”sapu
jagat” karena akan melibatkan daerah penduduk perkotaan dan perdesaan yang
relatif padat penduduknya (pertumbuhan inklusif) melalui public work, sektor
pariwisata termasuk usaha penginapan yang berbasis rumah tangga (home stay),
dan industri manufaktur kerajinan rakyat berbasis rumah tangga.
sumber: https://kompas.id/baca/opini/2017/08/09/anomali-data-makro-dan-mikro/
Sekedar catatan pribadi:
Artikel ini menarik untuk diabadikan dalam blog ini. Tulisan dari kolom opini Kompas dari bapak Ari Kuncoro ini ikut menyemarakkan hari-hari BPS yang semakin hiruk pikuk, karena tiba-tiba semua orang berteriak yang sama.. mereka meragukan data BPS.
Sebagai orang yang menjadi bagian dari BPS, saya harus menerima kritik dan saran. Harus legowo bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini. Bahwa pekerjaan kami banyak kekurangan di sana-sini. Tapi tolong pahami juga bahwa BPS menghitung statistik makro negara ini tidak mudah. Dan mohon berhati-hatilah dalam menganalisa sesuatu. Kasihan mereka yang ilmu ekonominya belum komprehensif, jika digiring oleh orang-orang pintar yang 'ignorant' Mencampur adukkan ekonomi makro dengan ekonomi mikro dengan gegabah. Membandingkan data makro dengan survei mikro? Get real, Guys!
Pesan untuk diri saya sendiri adalah: mulailah belajar lagi!
Marisa Wajdi!!!
Marisa Wajdi!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha