Sabtu, 30 Maret 2013

Teori Basis Ekonomi


Teori Basis Ekonomi

Teori basis ekonomi ini dikemukakan oleh Harry W. Richardson (1973) yang menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah (Arsyad 1999:116). Dalam penjelasan selanjutnya dijelaskan bahwa pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja (job creation). Asumsi ini memberikan pengertian bahwa suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan apabila daerah tersebut dapat memenangkan persaingan pada sektor yang sama dengan daerah lain sehingga dapat menghasilkan ekspor (Suyatno 2000:146).

Ada serangkaian teori ekonomi sebagai teori yang berusaha menjalankan perubahan-perubahan regional yang menekankan hubungan antara sektor-sektor yang terdapat dalam perekonomian daerah. Teori yang paling sederhana dan populer adalah teori basis ekonomi (economic base theory).
Menurut Glasson (1990:63-64), konsep dasar basis ekonomi membagi perekonomian menjadi dua sektor yaitu:

1.       Sektor-sektor Basis
Sektor basis adalah sektor-sektor yang mengekspor barang-barang dan jasa ke tempat di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan atas masukan barang dan jasa mereka kepada masyarakat yang datang dari luar perbatasan perekonomian masyarakat yang bersangkutan.

2.       Sektor-sektor Bukan Basis
Sektor bukan basis adalah sektor-sektor yang menjadikan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang yang bertempat tinggal di dalam batas perekonomian masyarakat bersangkutan. Sektor-sektor tidak mengekspor barang-barang. Ruang lingkup mereka dan daerah pasar terutama adalah bersifat lokal.
Secara implisit  pembagian perekonomian regional yang dibagi menjadi dua sektor tersebut terdapat hubungan sebab-akibat dimana keduanya kemudian menjadi pijakan dalam membentuk teori basis ekonomi.

Bertambahnya kegiatan basis di suatu daerah akan menambah arus pendapatan ke dalam daerah yang bersangkutan sehingga menambah permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan, akibatnya akan menambah volume kegiatan bukan basis. Sebaliknya semakin berkurangnya kegiatan basis akan menurunkan permintaan terhadap produk dari kegiatan bukan basis yang berarti berkurangnya pendapatan yang masuk ke daerah yang bersangkutan. Dengan demikian kegiatan basis mempunyai peran sebagai penggerak utama.

Aktivitas sektor basis adalah pertumbuhan sektor tersebut menentukan pembangunan menyeluruh daerah itu, sedangkan aktivitas sektor non basis merupakan sektor sekunder (city folowing) artinya tergantung perkembangan yang terjadi dari pembangunan yang menyeluruh.

Teori basis ekonomi berupaya untuk menemukan dan mengenali aktivitas basis dari suatu wilayah, kemudian meramalkan aktivitas itu dan menganalisis dampak tambahan dari aktivitas ekspor tersebut. Konsep kunci dari teori basis ekonomi adalah bahwa kegiatan ekspor merupakan mesin pertumbuhan. Tumbuh tidaknya suatu wilayah ditentukan oleh bagaimana kinerja wilayah itu terhadap permintaan akan barang dan jasa dari luar.

Identifikasi Sektor Basis dan non-Basis


Salah satu cara dalam menentukan suatu sektor sebagai sektor basis atau non-basis adalah analisis Location Quotient (LQ). Arsyad (1999:315) menjelaskan bahwa teknik Location Quotient dapat membagi kegiatan ekonomi suatu daerah menjadi dua golongan yaitu:
1.       Kegiatan sektor ekonomi yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun di luar daerah yang bersangkutan. Sektor ekonomi seperti ini dinamakan sektor ekonomi potensial (basis)
2.       Kegiatan sektor ekonomi yang melayani pasar di daerah tersebut dinamakan sektor tidak potensial (non basis) atau local industry

Teori ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja (job creation) (Arsyad, 1999).
***

Kebijakan Proteksi dalam Perdagangan Internasional


Kebijakan Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional bisa memberikan keuntungan sekaligus menciptakan ancaman bagi perekonomian suatu negara. Untuk melindungi diri, maka suatu negara biasanya menerapkan suatu kebijakan yang bisa menguntungkan, setidaknya bagi negara itu sendiri.

KEBIJAKAN PROTEKSI
1.     Pengertian Kebijakan Proteksi
Kebijakan proteksi adalah kebijakan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri yang sedang tumbuh (infant industry), dan melindungi perusahaan baru dari perusahaan-perusahaan besar yang dari persaingan yang tidak adil, juga melindungi dari -persaingan barang-barang impor.

Industri-industri domestik yang baru berdiri biasanya memiliki struktur biaya yang masih tinggi, sehingga sulit bersaing dengan industri asing yang memiliki struktur biaya rendah (karena sudah memiliki skala ekonomi yang besar). Proteksi ini memberi kesempatan kepada industri domestik untuk belajar lebih efisien dan memberi kesempatan kepada tenaga kerjanya untuk memperoleh keterampilan. Kebijakan proteksi biasanya bersifat sementara. Jika suatu saat industri domestik dirasakan sudah cukup besar dan mampu bersaing dengan industri asing, maka proteksi akan dicabut.

2.     Proteksi dalam Perdagangan Internasional terdiri atas kebijakan :

a.   Tarif (pembahasan sangat lengkap dari kebijakan tarif dapat dilihat di sini)

b.    Kuota
Kuota adalah bentuk hambatan perdagangan yang menentukan jumlah maksimum suatu jenis barang yang dapat diimpor dalam suatu periode tertentu atau kebijakan pemerintah untuk membatasi jumlah barang yang diperdagangkan. Sama halnya tarif, pengaruh diberlakukannya kuota mengakibatkan harga-harga barang impor menjadi tinggi karena jumlah barangnya terbatas. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya pembatasan jumlah barang impor sehingga menyebabkan biaya rata-rata untuk masing-masing barang meningkat. Dengan demikian, diberlakukannya kuota dapat melindungi barang-barang dalam negeri dari persaingan barang luar negeri.  (penjelasan lebih lengkap, dapatkan di sini)

c.  Pelaranganimpor (pembahasan tentang pelarangan impor dapat dilihat di sini)

d.  Subsidi

Dengan adanya subsidi, produsen dalam negeri bisa menjual barangnya lebih murah, sehingga bisa bersaing dengan barang impor.

Subsidi yang diberikan bisa dalam berbagai bentuk, misalnya:
1) Subsidi langsung berupa sejumlah uang tertentu
2) Subsidi per unit produksi. (penjelasan lebih lanjut mengenai kebijakan subsidi dapat dilihat di sini)

e.  Dumping
Dumping adalah kebijakan yang dilakukan oleh suatu negara dengan cara menjual barang ke luar negeri lebih murah daripada dijual di dalam negeri atau bahkan di bawah biaya produksi.  Kebijakan dumping dapat meningkatkan volume perdagangan dan menguntungkan negara pengimpor, terutama menguntungkan konsumen mereka. (penjelasan lebih lengkap, dapatkan di sini)

3.     Faktor-faktor yang mendorong proteksi
Dalam perdagangan luar negeri konsep proteksi berarti usaha-usaha pemerintah yang membatasi atau mengurangi jumlah barang yang diimpor dari Negara-negara lain dengan tujuan untuk mencapai beberapa tujuan tertentu yang penting artinya dalam pembangunan Negara dan kemakmuran perekonomian negara.
Ada beberapa tujuan penting dari proteksi:
a.     Mengatasi masalah deflasi dan pengangguran.
b.     Mendorong perkembangan industri baru
c.     Mendiversifikasikan perekonomian
d.     Menghindari kemerosotan industri-industri tertentu
e.     Memperbaiki neraca pembayaran
f.     Menghindari neraca pembayaran
g.     Menghindari dumping
h.     Menambah pendapatan pemerintah

4.     Tujuan kebijakan proteksi adalah:
  •  Memaksimalkan produksi dalam negri.
  •  Memperluas lapangan kerja.
  •  Memelihara tradisional.
  •  Menghindari resiko yang mungkin timbul jika hanya menggantungkan diri pada satu komoditi andalan.
  • Menjaga stabilitas nasional, dan tidak menggantungkan diri pada negara lain.


5.     Konsep dan Praktik Proteksi
Proteksi meliputi tarif dan nontarif melalui tarif bea masuk, digolongkan atas dua jenis, yakni tarif nominal dan tarif efektif. Tarif nominal dinyatakan beberapa% dari nilai impor (fob), sedangkan tarif efektif dihitung dengan mengetahui lebih dulu nilai tambah suatu komoditi, yang dapat diciptakan di dalam negeri dan nilai tambah komoditi itu di pasar internasional. Kemudian, dihitung persentase perbedaannya. Proteksi nontarif dapat berupa pelarangan impor, membatasi impor, rintangan-rintangan administrasi, dan lisensi impor.

Kebijakan tarif dan nontarif ini berkaitan dengan variabel-variabel ekonomi lainnya, seperti pendapatan pemerintah, harga barang-barang di dalam negeri, termasuk dalam hal bahan baku, kurs mata uang di dalam negeri dan luar negeri, teknologi produksi, kesempatan kerja, dan berkaitan pula dengan produksi sektor pertanian dan efisiensi industri. Tingkat tarif yang relatif tinggi untuk barang-barang konsumsi akan mengurangi daya saing, sedangkan bagi bahan baku, akan menimbulkan harga yang relatif tinggi, dan sukar mendapat daya saing. Dalam batas waktu tertentu proteksi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi jika terus-menerus akan merugikan ekonomi di dalam negeri karena setiap komoditi akan mengalami masa jenuh. Produksi di dalam negeri relatif lebih banyak tersedia, sedangkan harganya relatif mahal maka kemampuan daya beli tidak naik sebagaimana diharapkan. Hal ini dapat menimbulkan keadaan under-capacity yang lebih tinggi, dan makin mendorong ekonomi biaya tinggi.

Dalam berbagai kasus di negara-negara Amerika Latin dan negara berkembang lainnya, proteksi juga menimbulkan konsentrasi pasar dan monopoli, dan malahan di Pakistan menimbulkan pula tekanan terhadap sektor pertanian, dan di Amerika Serikat tahun 1978-1982, telah menurunkan kesempatan kerja  40% pada industri mobil diperlukan proteksi dari saingan luar negeri. Proteksi yang tinggi dapat menimbulkan mata uang dalam negeri menjadi over-valued.

6.     Mengukur besarnya proteksi
Tarif atas barang impor meningkatkan harga barang yang dihasilkan oleh produsen dalam negeri. Dampak ini kerap merupakan tujuan utama dari tarif untuk melindungi produsen dalam negeri terhadap persaingan impor yang harganya lebih murah. Dalam menganalisis kebijakan perdagangan yang dijumpai dalam kenyataan, agaknya penting untuk mengetahui besarnya perlindungan (proteksi) dari tarif atau kebijakan perdagangan lain yang benar-benar diberikan kepada suatu industri. Besarnya perlindungan ini biasanya dinyatakan dalam persentase dari harga yang berlaku jika perdagangan berlangsung dengan bebas. Pembatasan impor gula, misalnya, dapat meningkatkan harga yang diperoleh produsen gula Amerika sebesar 45 persen.

Pengukuran demikian sepintas lalu tampaknya merupakan pengukuran gamblang dalam kasus tarif: jika jenis tarifnya berbentuk pajak ad valorem yang besarnya proporsional terhadap nilai impor, tingkat tarif itu sendiri niscaya mengukur besarnya proteksi; jika jenis tarifnya adalah spesifik, dengan membagi tarif dengan harga netto setelah tarif menghasilkan angka yang sama dengan tarif ad valorem.

Ada dua masalah dalam menghitung tingkat proteksi dengan cara sederhana di atas.

1.       Pertama, jika asumsi negara kecil buka merupakan pertimbangan yang akurat, maka sebagian dampak tarif akan menurunkan harga ekspor dan sebagian lagi berupa peningkatan harga Domestik, dan dampak dari kebijakan perdagangan terhadap harga ekspor terkadang sangat berarti. Dalam teori (meskipun jarang terjadi dalam kenyataan) sebetulnya bisa saja terjadi di mana tarif sebetulnya bisa menurunkan harga yang diterima produsen dalam negeri.

2.       Kedua, tarif bisa menimbulkan dampak yang berbeda di setiap tahapan produksi suatu barang.

Contoh sederhana dari permasalahan ini dapat dilukiskan dengan ilustrasi berikut.
Misalkan harga mobil di pasaran dunia adalah $8,000 dan harga keseluruhan suku cadangnya adalah $6,000. marilah kita bandingkan keadaan di dua negara: satu negara ingin mendorong pengembangan industri perakitan mobil dan yang lain telah memiliki industri perakitan dan menginginkan pengembangan industri suku cadang mobil. Untuk mendorong industri mobil dalam negeri, negara pertama mengenakan tarif sebesar 25 persen atas mobil yang diimpor, sehingga memungkinkan pengusaha perakitan di dalam negeri menetapkan harga $10,000 dan bukan $8,000. Dalam kasus, kita sudah salah kalau pengusaha perakitan mobil menerima proteksi hanya sebesar 25%.

Sebelum ada tarif, perusahaan perakitan dalam negeri akan berkiprah hanya kalau ia bisa memperoleh setidaknya $2,000 (selisih antara harga mobil $8,000 dan harga keseluruhan suku cadang $6,000);kini, ada tarif, ia dapat memperoleh paling tidak $4,000 (perbedaan harga mobil setelah tarif sebesar $4,000(perbedaan harga mobil setelah tariff sebesar $10,000 dengan biaya suku cadang sebesar $6,000). Artinya, tingkat tarif sebesar 25% memberikan pengusaha perakitan tingkat proteksi efektif (effective rate of protection sebesar 100%.

Di pihak lain, katakanlah di negara kedua, untuk mendorong produksi suku cadang di dalam negeri, mengenakan tarif 10% atas suku cadang yang diimpor, sehingga meningkatkan biaya suku cadang bagi pengusaha perakitan $6,600. Meskipun tak ada perubahan tarif atas mobil impor kebijakan ini menyebabkan usaha perakitan mobil dalam negeri kurang menguntungkan. Tanpa tarif merakit mobil didalam negeri akan menghasilkan $2,000 ($8,000-$6,000);setelah adanya tarif perakitan lokal hanya memperoleh $1,4000 ($8,000-$6,600). karena itu, disatu pihak tarif  memberikan proteksi positif kepada pabrik suku cadang, tetapi dilain pihak menimbulkan proteksi efektif  yang negatif bagi pengusaha perakitan sebesar 30% (-600/2000).

Dengan alasan yang serupa dengan contoh diatas para ekonom lebih merinci perhitungan untuk mengukur tingkat proteksi efektif yang sebetulnya diperoleh suatu sektor industri dengan adanya tarif dan kebijakan perdagangan lainnya. Kebijakan perdagangan yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi,kerap mengakibatkan tingkat proteksi efektif lebih tinggi dari tingkat tarif normalnya.

KEBIJAKAN PERGULAAN INDONESIA


KEBIJAKAN PERGULAAN INDONESIA

Sampai dengan tahun 2005, pemerintah pernah menerapkan berbagai kebijakan, yang secara langsung ataupun tidak langsung, berpengaruh terhadap industri gula Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input dan produksi, distribusi, dan kebijakan harga. Diantara berbagai kebijakan produksi dan kebijakan input, kebijakan yang paling signifikan dari pemerintah adalah kebijakan TRI yang tertuang dalam Inpres No. 9/1975, pada tanggal 22 April 1975. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan produksi gula serta pendapatan petani tebu. Esensi dari kebijakan tersebut adalah membuat petani menjadi manajer pada lahannya sendiri dengan dukungan pemerintah melalui kredit bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dengan melibatkan KUD, serta menciptakan suatu hubungan kerjasama antara petani tebu dan pabrik gula.

Di samping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula di pasar domestik. Beberapa kebijakan terpenting adalah Kepmenperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli pada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk mengimpor gula. Ketika harga gula domestik terus merosot pada pertengahan tahun 2002 dan tekanan produsen semakin kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importir hanya pada importir produsen dan importir terdaftar.

Gula yang diimpor oleh importir produsen hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75% berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan dalam Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/ 2002, 23 September 2002. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3100/kg. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan harga di dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen. Kebijakan ini direvisi dengan Kepmenperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 yang mewajibkan IT untuk menyangga harga di tingkat petani pada tingkat Rp 3410/kg. Pada Mei 2005, harga ditingkat petani yang merupakan harga minimum dengan mekanisme meksnisme dana talangan oleh investor ditetapkan Rp 3800/kg.

Beberapa Kebijakan Pemerintah yang Berkaitan dengan Industri Gula

Nomor SK/Keppres/Kepmen
Perihal
Tujuan
Keppres No. 43/1971, 14 Juli 1971
Pengadaan, penyaluran, dan pe­masaran gula
Menjaga kestabilan gula sebagai bahan pokok
Surat Mensekneg No. B.136/ABN SEKNEG/3/74, 27 Maret 1974
Penguasaan, pengawasan, dan penyaluran gula pasir non PNP
Penjelasan mengenai Keppres No. 43/1971 yang meliputi gula PN
Inpres No. 9/1975, 22 April 1975
Intensifikasi tebu (TRI)
Peningkatan produksi gula serta peningkatan pendapatan petani tebu
Kepmen Perdagangan dan Koperasi No. 122/Kp/III/81, 12 Maret 1981
Tataniaga gula pasir dalam negeri
Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani
Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987
Penetapan harga gula pasir pro­duksi dalam negeri dan impor
Menjamin stabilitas harga, devi­sa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik
UU No. 12/1992
Budidaya tanaman
Memberikan kebebasan pada petani untuk menanam komodi­tas sesuai dengan prospek pasar
Inpres No. 5/1997, 29 Desember 1997
Program pengembangan tebu rakyat
Pemberian peranan pada pelaku bisnis dalam rangka perdagang­an bebas
Inpres No. 5/1998, 21 Januari 1998
Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/1997
Kebebasan pada petani untuk memilih komoditas sesuai de­ngan UU No. 12/1992
Kepmen Perindag No. 25/MPP/Kep/1/1998
Komoditas yang diatur tata­nia­ga impornya
Mendorong efisiensi dan kelan­caran arus barang
Kepmenhutbun No. 282/Kpts-IX/1999, 7 Mei 1999
Penetapan hargaprovenue gula pasir produksi petani
Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produk­si
Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999, 5 Agus­tus 1999
Tataniaga impor gula
Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula oleh produsen
Kepermenindag No. 230/MPP/
Kep/6/1999, 5 Juni 1999
Mencabut Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999
Pembebanan tarif impor gula untuk melindungi industri dalam negeri
Kepmenkeu No. 324/KMK.01/2002
Perubahan bea masuk
Peningkatan efektivitas bea masuk
Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002
Tataniaga impor gula
Pembatasan pelaku impor gula hanya pada importir gula produsen dan importir gula terdaftar untuk peningkatan pendapatan petani/produsen
Kepmenperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004
Penyempurnaan tataniaga impor gula
IT wajib menyangga harga di tingkat petani dan impor dilakukan bila harga minimum Rp 3410

Kebijakan Impor Beras di Indonesia


Indonesia merupakan Negara yang sebagian besar masyarakatnya bertopang pada sektor pertanian sebagai mata pencaharian. Akan tetapi, petani Indonesia bukanlah merupakan mereka yang tingkat kesejahteraannya tinggi. Mereka merupakan orang-orang yang masih miskin dan terpinggirkan. Mereka sering dirugikan oleh masalah kebijakan perberasan yang dilakukan oleh pemerintah. Belum lagi masalah sosial ekonomi lain yang mereka hadapi sebagai petani. Permasalahan beras dan petani menjadi sebuah ironi bagi negeri ini. Sebuah ironi karena negara ini merupakan negara peghasil beras, akan tetapi melakukan impor beras dalam jumlah yang tidak sedikit. Pada umumnya sebagian masyarakat menganggap bahwa impor beras dipicu oleh produksi atau suplai beras dalam negeri yang tidak mencukupi. Akan tetapi, pada kenyataannya impor beras dilakukan ketika data statistik menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami surplus beras. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Angka Ramalan II (ARAM II) memperkirakan produksi padi pada tahun 2011 mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling (GKG), naik 2,4 persen dibandingkan tahun 2010Jika dikonversi ke beras, artinya pada tahun ini produksi beras nasional sebesar 38,2 juta ton. Apabila dibandingkan dengan konsumsi beras Indonesia sebanyak 34 juta ton per tahun, Indonesia sedang mengalami surplus beras sebanyak kurang lebih 4 juta ton beras. Jadi, mengapa pemerintah masih melakukan impor beras pada tahun ini ?

Kebijakan usaha pertanian di Indonesia
Menurut Surono (2001), berbagai kebijakan dalam usaha pertanian (beras) yang telah ditempuh pemerintah pada dasarnya kurang berpihak kepada kepentingan petani. Pertama, terdapat kebijakan tariff impor yang sangat rendah sehingga mendorong semakin mudahnya beras impor masuk dan melebihi kebutuhan dalam negeri. Kedua, penghapuan subsidi pupuk yang merupakan sarana produksi utama petani dapat mengurangi produktifitas petani. Selajutnya, teknologi yang dimiliki petani Indonesia juga sudah jauh tertinggal sehingga kualitas beras yang dihasilkan pada umumnya kalah dengan kualitas beras impor.

Kebijakan impor beras dari tahun ke tahun
Tahun 1998
Pada tahun 1998, terdapat kebijakan tarif impor nol persen. Kebijakan ini dilakukan karena kondisi krisis ekonomi yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang dan keadaan iklim yang tidak mendukung produksi gabah.

Tahun 2000
Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan poteksi terhadap pertanian padi nasional. Kebijakan tariff nol persen pun dihapuskan. Hal ini dikarenakan impor beras dari Negara asing makin membanjiri pasar domestik Indonesia semenjak diberlakukannya Perjanjian Pertanian Organisasi Perdagangan Dunia (Agreemet of Agriculture, World Trade Organization) pada tahun 1995. Akhirnya kebijakan proteksi berupa tariff ad-valorem sebesar 30 persen ditetapkan. Selain kebijakan tariff, terdapat juga kebijakan proteksi non-tarrif. Pada saat itu, kedua kebijakan proteksi, yaitu tariff dan non tariff berjalan sangat efektif. Petani lokal sangat terlindungi serta harga beras cenderung stabil. Akan tetapi, kebijakan proteksi seperti ini sudah tidak relevan lagi jika diterapkan sekarang. Saat ini kebijakan tersebut memang sudah tidak populer dan sudah sangat jarang dipakai oleh Negara-negara di dunia. Hal ini dikarenakan globalisasi yang semakin memaksa Negara-negara untuk terbuka terhadap Negara lain. Kalaupun Negara Indonesia menerapkan tariff terhadap impor beras, tariff itu sangatlah rendah sehingga harga beras impor menjadi lebih murah dari beras lokal. Dengan kualitas beras impor yang berada di atas kualitas beras lokal, beras lokal pun menjadi kalah saing dengan beras impor.

Tahun 2011
Berdasarkan data BPS, sejak tahun 2008 produksi beras nasional selalu surplus. Tetapi sejak tahun 2008 hingga kini, Impor beras terus dilakukan. Sampai Juli 2011, Pemerintah telah melakukan pengadaan beras melalui impor sebanyak 1,57 juta ton.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), beras impor tersebut paling banyak berasal dari Vietnam yaitu 892,9 ribu ton dengan nilai US$ 452,2 juta. Sementara beras impor Thailand, telah masuk sebanyak 665,8 ribu ton dengan nilai US$ 364,1 juta hingga Juli. Selain dari Vietnam dan Thailand, pemerintah juga mengimpor beras dari Cina, India, Pakistan, dan beberapa negara lainnya.

Mengapa Impor
Pertama, bulog mengklaim bahwa mereka mengimpor dengan tujuan mengamankan stok beras dalam negeri. Bulog berargumen bahwa data produksi oleh BPS tidak bisa dijadikan pijakan sepenuhnya. Perhitungan produksi beras yang merupakan kerjasama antara BPS dan Kementrian Pertanian ini masih diragukan keakuratannya, terutama metode perhitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian yang megandalkan metode pandangan mata.

Selanjutnya, data konsumsi beras juga diperkirakan kurang akurat. Data ini kemungkinan besar merupakan data yang underestimate atau overestimate. Angka konsumsi beras sebesar 139 kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Jika merujuk pada data BPS yang didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), konsumsi beras pada tahun ini mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka ini underestimate, karena SUSENAS memang tidak dirancang untuk menghitung nilai konsumsi beras nasional.      

Sebenarnya kebijakan impor beras ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas beras. Para petani dituntut untuk berproduksi bukan hanya mengandalkan kuantitas tetapi juga kualitas. Tentunya hal ini sedikit sulit terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Hal ini dikarenakan petani lokal relatif tertinggal dari petani luar negeri terutama dalam bidang teknologi. Pemerintah harus memberi kepastian jaminan pasar sebagai peluang mengajak petani bergiat menanam komoditas tanaman pangan.

Mengapa Tidak Impor
Kebijakan yang dipilih pemerintah untuk membuka kran Impor juga mendatangkan kontra. Pada satu sisi, keputusan importasi beras tersebut berlangsung ketika terjadi kenaikan harga beras saat ini. Selain itu, produksi padi dalam negeri dinyatakan cukup, dan masa panen masih berlangsung di banyak tempat. Bahkan berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi nasional tahun ini diperkirakan mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling, meningkat 1,59 juta ton (2,40%) dibandingkan tahun 2010 lalu. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 313,15 ribu hektar (2,36%), dan produktivitas sebesar 0,02 kuintal per hektar (0,04%). Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat tiga provinsi yang mencatat surplus padi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada beberapa daerah ini tentunya dapat dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk didistribusikan ke daerah lain yang mengalami defisit.  Selanjutnya, impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih menurut data BPS sekarang ini memiliki dampak negatif yang panjang, seperti berkurangnya devisa negara, disinsentif terhadap petani, serta hilangnya sumber daya yang telah terpakai dan beras yang tidak dikonsumsi dan terserap oleh bulog.

Daftar Krisis Ekonomi Sepanjang Sejarah Dunia


Kepanikan 1797
Krisis ekonomi berlangsung selama 3 tahun dari 1797 hingga 1800. Akibat dari deflasi Bank of England yang menyebar hingga lautan Atlantik dan Amerika Utara dan menyebabkan hancurnya perdagangan dan pemasaran real estate di Amerika Serikat dan sekitar Karibia. Ekonomi Inggris terpengaruh akibat adanya pembalikan deflasi selama perang dengan Perancis saat terjadinya revolusi Perancis.

Depresi 1807

Depresi terjadi selama tujuh tahun sejak 1807 hingga 1814. Undang-undang embargo Amerika Serikat 1807 pada saat itu diluluskan oleh kongres Amerika saat presiden Thomas Jefferson memimpin. Hal ini menghancurkan industri yang terkait dengan pengapalan. Kaum federal berusaha melawan embargo ini dan berusaha melakukan penyelundupan di New England.

Kepanikan 1819
Krisis terjadi selama 5 tahun dari 1819 hingga 1824. Ini adalah krisis finansial pertama yang mempengaruhi keuangan Amerika Serikat secara besar-besaran, bank-bank berjatuhan, munculnya pengangguran, dan merosotnya pertanian dan industri manufaktur. Ini juga menandakan berakhirnya ekspansi ekonomi yang mengikuti Perang 1812.

Kepanikan 1837
Berlangsung antara 1837 hingga 1843. Ekonomi Amerika jatuh secara tajam disebabkan kegagalan bank dan kurangnya keyakinan pada uang kertas. Spekulasi pasar menyebabkan bank di Amerika berhenti bertransaksi dalam bentuk koin emas dan perak.

Kepanikan 1857
Terjadi selama tiga tahun hingga tahun 1860. Kejatuhan Perusahaan Asuransi Hidup dan Kepercayaan Ohio menimbulkan ledakan spekulasi di sektor transportasi Amerika Serikat. Lebih dari 5000 bisnis gagal kurang dari setahun sejak terjadinya kepanikan dan kaum pengangguran melakukan protes di kawasan urban.

Kepanikan 1873
Terjadi selama enam tahun disebabkan masalah ekonomi di Eropa mengakibatkan jatuhnya Jay Cooke & Company, bank terbesar di Amerika Serikat. Hal ini juga menimbulkan spekulasi terhadap perang saudara di Amerika. Undang-undang koin 1873 juga memberikan kontribusi dalam jatuhnya harga perak yang menghancurkan industri pertambangan Amerika Utara.

Depresi Berkepanjangan
Sesuai namanya, depresi ini menelan waktu 23 tahun sejak 1873 hingga 1896. Runtuhnya Bursa Efek Vienna menyebabkan depresi ekonomi yang menyebar ke seluruh dunia. Ini sangat penting dicatat dimana pada periode ini, produksi industri global meningkat pesat. Di Amerika Serikat misalnya, pertumbuhan produksi mencapai empat kali lipat.

Kepanikan 1893
Terjadi selama tiga tahun hingga 1896. Terjadi akibat kegagalan Reading Railroad Amerika Serikat dan penarikan investor Eropa terhadap pasar saham serta jatuhnya bank-bank.

Resesi Perang Dunia I
Terjadi selama tiga tahun hingga 1921. Terjadinya hiper inflasi di Eropa menyebabkan kelebihan produksi besar-besaran di Amerika Utara.

Depresi Besar 1929
Depresi yang paling besar dan dikenang sepanjang sejarah. Terjadi selama 10 tahun sejak 1929 hingga 1939. Pasar saham di seluruh dunia saat itu berjatuhan dan bank-bank di Amerika Serikat mengalami kebangkrutan. Jutaan pengangguran bermunculan dan kemiskinan merajalela.

Resesi 1953
Terjadi selama satu tahun. Setelah periode inflasi perang Korea berakhir, banyak uang yang ditransferkan untuk keamanan nasional Amerika Serikat. Berubahnya kebijakan The Fed yang lebih membatasi tahun 1952 menyebabkan terjadinya inflasi yang lebih lanjut.

Krisis Minyak 1973
Terjadi selama dua tahun hingga 1975. Naiknya harga minyak yang ditetapkan oleh OPEC dan tingginya biaya yang dikeluarkan Amerika Serikat pada Perang Vietnam menyebabkan terjadinya stagflasi di Amerika Serikat.

Resesi Awal 1980
Terjadi di awal tahun 1980 selama dua tahun, revolusi Iran membuat melonjaknya harga minyak dan munculnya krisis energi 1979. Pergantian rezim di Iran menyebabkan menurunnya pasokan minyak sehingga harga minyak melambung. Ketatnya kebijakan moneter di Amerika Serikat untuk mengontrol inflasi menyebabkan terjadi resesi lainnya.

Resensi Awal 1990
Terjadi selama satu tahun dimana perdagangan produk industri dan manufaktur menurun.

Resesi Awal 2000
Terjadi selama dua tahun dari 2001 hingga 2003. Keruntuhan bisnis dot-com, serangan 11 September, dan skandal pembukuan menyebabkan krisis di sekitar Amerika Utara.

Depresi Ekonomi 2008
Depresi yang saat ini tengah melanda dunia. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya naiknya harga minyak yang menyebabkan naiknya harga makanan di seluruh dunia, krisis kredit dan bangkrutnya berbagai investor bank, meningkatnya pengangguran sehingga menyebabkan inflasi global. Bursa saham di beberapa negara terpaksa ditutup beberapa hari termasuk di Indonesia, harga-harga saham juga turut anjlok. Diperkirakan depresi ekonomi kali ini separah/ lebih parah dari depresi besar ekonomi 1929.



sumber: http://forum.tamanroyal.com/index.php?topic=510.0;wap2

Jumat, 29 Maret 2013

Sandungan Yunani bagi Jerman


Sandungan Yunani bagi Jerman


Beberapa bukti ini menuntun negara anggota Uni eropa untuk mengusir Yunani sebagai bagian masyarakat Uni Eropa.

Fakta:
1.    Yunani tidak berhasil mendekati sasaran konsolidasi yang disepakati dengan negara-negara kreditor. 
2.    Untuk mengembalikan kepercayaan pasar, negara-negara donor harus menarik konsekuensi dan menutup kucuran dana bagi Yunani. 
3.    Yunani tidak mampu memenuhi tuntutan penghematan, karena politik penghematan besar-besaran justru akan membuat perekonomian semakin terpuruk.
4.    Pemerintah Yunani baru harus diberi kesempatan untuk membuktikan keinginan reformasinya.


Dampak yang mungkin terjadi jika Yunani keluar dari Euro:
1.    Keluarnya Yunani dari Zona Eropa diharapkan bisa mengembalikan kepercayaan pasar sehingga bisa mengeluarkan Eropa dari krisis.
2.    Kemungkinan terjadinya “Euro-Crash”, keluarnya Yunani bisa menyebabkan bubarnya mata uang bersama Eropa (euro).
3.    Akan ada negara lain yang mengekor Yunani, keluar dari Zona Eropa.


Jerman Rugi 

Salah satu negara Eropa yang tersandung krisis Yunani adalah Jerman. Institut penelitian ekonomi  Ifo di München memperhitungkan, bahawa Jerman akan mengalami kerugian sampai 82 miliar Euro, jika Yunani tidak mampu membayar hutangnya dan keluar dari sistem Euro.  The Economist malah memperkirakan biaya yang lebih besar lagi.  Majalah ekonomi   itu menghitung bahwa program bantuan darurat Yunani bisa mencapai 50 miliar Euro, dimana Jerman  akan berandil 34 persen didalamnya. 

Akibat hilangnya kemampuan Yunani membayar utangnya, bank-bank Jerman harus rela kehilangan investasinya di Yunani dan mungkin membutuhkan kembali bantuan dari negara. Sektor keuangan akan menjadi beban bagi negara. 

Dengan berbagai asumsi dan ramalan tersebut diperhitungkan sekitar 120 miliar euro akan terserap hanya untuk mengatasi krisis Yunani tersebut. Nilai itu setara dengan 4,5 persen GDP Jerman. Jika Yunani keluar dari Euro, keuntungan bagi Jerman dan negara-negara donor lainnya adalah tidak perlu lagi mengeluarkan uang yang sia-sia. 

Tapi, untuk skenario yang berbeda-mengusir Yunani (Grexit)- malah membuat masalah baru. Ini sangat mungkin terjadi, jika terdapat kesalahan konstruksi mata uang Euro. Spekulasi terhadap mata uang bersama akan membawa Jerman dalam kepanikan pasar. 
Saat ini Kanselir Merkel tengah berusaha untuk melakukan pengawasan belanja yang efektif di negara-negara yang dilanda krisis utang. Ia masih menolak upaya penyelamatan berupa lisensi perbankan bagi paket bantuan penyelamatan ESM sampai obligasi bersama Eropa Eurobonds. Akibatnya risiko untuk pembayar pajak Jerman akan naik drastis. The Economist mengusulkan agar pelanggar defisit seperti Portugal, Irlandia, Spanyol, dan Siprus juga segera dikeluarkan seperti halnya Yunani.  Adapun biaya yang diperlukan Jerman dalam upaya penyelamatan ini  mencapai 15 persen GDP-nya. Untunglah negara kuat seperti Jerman memiliki pemasukan besar dari pajak, sehingga opsi ini masih mungkin diterima. Tapi tidak ada sesuatu yang dapat menjamin bahwa dengan Grexit, kepercayaan pasar bisa pulih. Lalu apa yangterjadi jika Italia (negara eropa dengan utang terbesar setelah Yunani) meminta bantuan juga ke zona Eropa?


Agaknya perjalanan krisis ekonomi  ini akan cukup panjang..

Pff..