- Although the gender employment gap is becoming smaller over time, the gender hours gap is actually widening.
- Specifically in The Netherlands, an increase in working hours is a more obvious solution for the decline in labour supply due to the aging than an increase in the retirement age.
- High quality and affordable child care is assumed to stimulate an increase in the working hours for women, but personal preferences and societal expectation may prevent this outcome from happening.
- Aging might pose a bigger threat to our current welfare levels than anticipated if women also take a significant share in the care for dependent elderly people.
- Part-time jobs have contributed greatly to the high level of female labour participation in the Netherlands but also present a serious hurdle in the career opportunities of women.
- In a traditional corporate culture, working full-time over four days of nine hours enhances the career opportunities for women, but has a negative effect on the career opportunities of men.
- Female emancipation is far from complete since less than half of Dutch women are economically independent.
- “
However powerful our technology and complex our corporation, the most remarkable feature of the modern working world may in the end be internal, consisting in an aspect of our mentalities: in the widely held belief that our work should make us happy
”. (Alain Botton) - “
Reason is not automatic, those who deny it cannot be conquered by it
”. (Ayn Rand)
Minggu, 03 September 2017
Regional Labour Market Dynamics The Gender Employment Gap
These are propositions of INGE NOBACK thesis
Regional Labour Market Dynamics The Gender Employment Gap
DAYA BELI TERPURUK, TETAPI JALAN SEMAKIN MACET
10 Agustus 2017
Oleh: Rhenald Kasali
sumber: http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/29/120323026/daya-beli-terpuruk-tetapi-jalan-semakin-macet
Marisa Wajdi!!!
Oleh: Rhenald Kasali
Dalam
CEO Forum Metro TV hari Kamis lalu (27/7/2017), saya sengaja mengundang Perry
Tristianto sebagai narasumber bersama para pengusaha properti. Kami membutuhkan
Perry untuk menguji kebenaran tentang lesunya pasar belakangan ini.
Seperti
pengusaha ritel dan properti lainnya, ternyata Perry mengkonfirmasi lesunya
pasar. “Sulit,” ujarnya. “Tahun lalu saja sudah susah, tahun ini lebih susah
lagi. Dan tahun depan saya yakin akan semakin susah …". Tapi ujungnya
Perry mengatakan, "semakin susah
bagi kita tak mau berubah!”
Perry
yang dikenal sebagai salah satu raja FO (Factory Outlet), tahu persis
pendapatan dari penjualannya di beragam FO di Bandung semakin hari semakin
turun. Tetapi, bedanya dengan pengusaha lainnya, ia tak mau menuding masalahnya
ada di daya beli. “Sudahlah,”
ujarnya lagi di Rumah Perubahan. “Masalahnya bukan di daya beli, tetapi gaya
hidup masyarakat yang terus berubah. Cepat sekali,” tambahnya.
Lawan-lawan Tak Kelihatan
Tentu
saja untuk melakukan validasi ucapan Perry, kita membutuhkan science. Dan
science membutuhkan data. Ilmu yang saya kuasai sesungguhnya bisa melakukannya. Hanya
masalahnya, lembaga-lembaga yang ditugaskan mengumpulkan data terperangkap
dalam sektor-sektor yang bisa dilihat secara kasat mata. Dan sektor-sektor itu
semuanya adalah konvensional.
Taksi
konvensional, properti konvensional, ritel konvensional, keuangan dan
pembayaran konvensional, penginapan (hotel) konvensional, otomotif yang dirajai
pemain-pemain lama, media dan periklanan konvensional dan seterusnya. Hampir
tak ada yang menunjukkan data substitusi atau prospek dari disruptornya. Ini
tentu bisa menyesatkan.
Sampai
kapanpun, kalau data-data yang dikumpulkan tetap seperti itu, maka kita akan
semakin cemas, sebab faktanya dunia konvensional cepat atau lambat akan
ditinggalkan konsumen baru, khususnya generasi millennials yang sekarang
usianya sudah mendekati 40 tahun.
Generasi
millennials itu mempunya cara pandang yang benar-benar berbeda dengan para incumbents
yang telah bertahun-tahun menjadi market leader. Uang (daya beli) mereka memang
belum sebesar generasi di atasnya yang lebih mapan, tetapi mereka bisa
mendapatkan barang-barang dan jasa-jasa yang jauh lebih murah di jalur
non-konvensional karena dunia ekonomi yang tengah peristiwa disruptif yang luar
biasa.
Di dunia
baru itu mereka dimanjakan pelaku usaha baru yang telah berhasil meremajakan
business process-nya. Mereka bukan pakai marketing konvensional (4P) melainkan
business model. Dan lawan-lawan tangguh pemain-pemain lama itu kini hadir tak
kasat mata, tak kelihatan.
Ibarat
taksi yang tak ada merknya di pintu, tanpa tulisan “taksi”, dan penumpang turun
tak terlihat tengah membayar. Sama sekali berada di luar orbit incumbent,
pengumpul data dari BPS dan lembaga-lembaga survei lainnya, ekonom, bahkan oleh
para wartawan sekaligus.
Kita
hanya disajikan angka-angka penurunan yang sudah diramalkan oleh penemu teori
Disruption, Christensen (1997), bahwa data-data itu sungguh tak valid.
Pernyataan Christensen itu bisa Anda buka di situs YouTube dalam suatu
wawancara di kampus MIT.
Di situ
Christensen menjelaskan pertemuannya dengan founder Intel, Andy Groove yang
sempat meninggalkannya setelah sekitar 5 menit mengundang Christensen. Namun
seminggu kemudian Andy menyesali perbuatannya dan kembali mengundang penemu
teori Disruption itu. Apa alasannya?
“Saya
akhirnya menyadari ucapan Anda bahwa pemain-pemain lama seperti Intel ini bisa
terdisrupsi oleh pendatang-pendatang baru yang masih kecil-kecil karena mereka
membuat produk yang simpel yang jauh lebih murah,” ujar Andy Groove seperti
ditirukan Christensen.
“Look,”
ujarnya lagi. “Saya membutuhkan data, tetapi dalam era disruption data yang ada
sudah tidak bisa dipakai lagi karena data yang kami kumpulkan adalah data-data
kemarin yang hanya cocok untuk melakukan pembenaran. Sedangkan kami butuh data
untuk melihat apa yang tengah dan yang
akan terjadi besok. Jadi yang saya butuhkan; kalau belum ada datanya adalah
teori. Dan teori Anda menjelaskan proses shifting itu.”
Intel
selamat berkat disruptive mindset-nya. Dan sekarang kita saksikan hal itu
tengah terjadi secara besar-besaran dalam landscape ekonomi Indonesia. Semua
orang bingung.
Tabloid
Kontan menyajikan judul menarik, “Gejala Anomali Ekonomi Indonesia” sembari
menunjukkan data-data penurunan pertumbuhan penjualan beragam sektor. Sayangnya
kita hanya membaca sektor-sektor yang, maaf, konvensional.
Kita tak
cermat membaca ketika penjualan sepeda motor turun sebesar 13,1 persen dan
semen turun1 persen untuk semester 1 tahun ini (dibanding periode yang sama
tahun lalu). Kemana ia beralih?
Juga tak
kita baca bahwa pendapatan PT Astra International naik 30 persen sepanjang
semester I tahun ini.
Yang
lain kita mendengarkan pandangan-pandangan yang saling bertentangan. Teman saya
pengusaha keramik terbesar di negeri ini mati-matian menjelaskan daya beli saat
ini sedang drop. Tetapi Perry Tristianto mengatakan, “Dulu saja,
Jakarta-Bandung atau sebaliknya cukup 2 jam. Sekarang 5 – 7 jam. Sulit bagi
saya untuk mengakui bahwa daya beli turun?”
Saya
tambahkan lagi, selama mudik lebaran kemarin (dipantau sekitar 4 minggu),
penumpang yang terbang dari 13 bandara di lingkungan AP 2 naik sekitar 11
persen. Lalu di Bandara Halim Perdanakusuma saja naiknya hingga 25 persen.
Blame and Confirmation Trap
Kejadian-kejadian
ini jelas disukai para eksekutif yang bisnis-bisnisnya mengalami kelesuan.
Maaf, maksud saya, kita tiba-tiba seperti punya jawaban pembenaran. Semacam
konfirmasi. “Tuh kan, emang bener, daya beli turun. Jadi wajar, kan?”
Pada
saat saya tulis kolom ini pun banyak yang menunjukkan gejala serupa: mainan
anak-anak juga turun signifikan. Sama dengan data dari asosiasi pengusaha
angkutan truk.
Mengapa
kita tak belajar dari pertarungan mainan anak-anak antara Hasbro (yang naik
terus penjualanannya karena bertransformasi dari mainan monopoli ke mainan
transformer yang kaya "experience" dan online games) dengan Mattel
(yang dari masa ke masa hanya membuat boneka Barbie).
Para
penjaja mainan juga luput memonitor beralihnya anak-anak ke permainan yg
menantang seperti gym anak-anak, parkour dan mainan lain yang kaya engagement. Namun
alih-alih membaca weak signals, hari-hari ini komentar yang sering kita dengar
justru lebih banyak menghibur diri untuk membenarkan turunnya pencapaian
target.
Lantas
pertanyaannya, “memangnya kalau kondisi kembali membaik menurut versi itu,
katakanlah sekarang daya beli benar-benar turun (bukan shifting), nanti
manakala benar-benar sudah kembali lagi, katakanlah setahun dari sekarang, dan
daya beli membaik besar-besaran, lantas penjualan produk/jasa Anda benar-benar
kembali naik?”
Come on,
my brother. Itu benar-benar perangkap. A confirmation trap karena puluhan
pelaku usaha di bidang yang konvensional semua membenarkannya. Dan Anda pun
memiliki satu buah perangkap lagi: A blame trap. Ya, kita terlalu senang
mencari, pertama-tama, siapa yang bisa kita blame, kita salahkan, bukan
memecahkan masalah yang sebenarnya.
Realitas Lain
Kebetulan
sejak buku Disruption beredar akhir februari lalu, di Rumah Perubahan kami
mulai mengkaji kejadian-kejadian yang berada di luar orbit konvensional.
Kami
mendengarkan, mengecek kebenaran, mengumpulkan fakta-fakta yang terjadi dalam
aneka usaha yang berkembang di luar orbit yang kasat mata itu.
Kami
membuat semacam case study dan menyebarkannya kepada sejumlah eksekutif.
Sebulan sekali mereka datang dan mengikuti kuliah saya, membahas kasus-kasus
itu sehingga mereka bisa membedakan mana kasus tentang bisnis yang salah urus
dan mana yang terimbas disruption. Kami membagi ke dalam dua kelompok.
Kelompok
pertama, adalah para CEO dan pejabat-pejabat Eselon 1, komisaris perusahaan,
para rektor dan pemimpin-pemimpin strategis. Kami membahas bagaimana mereformulasi
strategi di era ini. Lalu kelompok kedua diikuti orang-orang marketing dan
sales, para CMO (Chief Marketing Officer).
Dalam
setiap pertemuan, kami menghadirkan CEO –CEO yang melakukan disruption dan yang
terdampak oleh disruption. Dari situ kami mengetahui apa yang setidaknya
terjadi atau bakal terjadi.
Kami
jadi mengerti mengapa penjualan sepeda motor turun, sementara kendaraan yang
lain justru tengah kebanjiran permintaan. Kami jadi mengerti mengapa Sevel
ditutup, mengapa supermarket-supermarket besar kini kesulitan akibat perbaikan
distribusi yang dilakukan produsen-produsen besar.
Kami
jadi mengerti mengapa suasana perdagangan di Harco (Glodok), Mangga Dua dan
bahkan Pasar Tanah Abang serta Electronic City yang dulu ramai kini mulai terganggu.
Kami
juga mengecek sektor-sektor non-konvensional. Tidak terlalu sulit karena dua
start up lahir dari tempat kami, yang satu situs pengumpulan dana (crowd
funding) dan satu lagi situs peternakan yang semua saling terjalin kerjasama
dengan start up-start up besar Nusantara lainnya dalam bidang fintech dan
retail. Kami bisa lebih mudah mengintip data-data mereka.
Dari
berbagai pertemuan dengan para CEO itu, saya juga mendapatkan data-data yang
bertentangan dengan pandangan tentang memudarnya daya beli.
Minggu
lalu saya juga sempat makan malam dengan CEO perusahaan tepung tererigu besar
yang langsung mengecek data produksi dari ponselnya. Ia mencatat kenaikan
permintaan yang masih terus berlanjut meskipun hari raya telah lewat. Bahkan
hari raya Lebaran saja ia mengaku sebagian besar pegawainya tak bisa libur demi
mengejar produksi.
Tetapi
yang lebih menarik adalah membaca data-data perputaran uang dalam bisnis
non-konvensional yang akhirnya tampak dalam bidang logistik.
Saya
memilih perusahaan yang paling sering disebut situs-situs belanja online
semisal JNE atau JNT. Sekali lagi dari JNE saya mendapatkan data pengiriman
barang yang sangat signifikan.
Tetapi
yang mengagetkan saya terutama adalah perubahan pola penyaluran barang dan
sentra-sentra pengiriman. Harus kita akui, shifting yang tengah terjadi sangat
berdampak pada semua pemain lama.
Tak
banyak yang menyadari bahwa beras dan bahan-bahan pokok yang dibeli para
pedagang dan konsumen di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi saja sudah berawal
dari Tokopedia dan Bukalapak.
Barang-barang
pangan itu juga bukan lagi diambil dari sentra-sentra konvensional yang selama
ini kita kenal. Petanya telah berubah.
Saya
juga membaca bahwa perbaikan di sektor perhubungan, khususnya tol laut, jalan
tol, pelabuhan-pelabuhan dan bandara-bandara baru telah membuat rezeki beralih
dari pedagang-pedagang besar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya ke berbagai
daerah. Dari pengusaha-pengusaha besar ke ekonomi kerakyatan.
Saya
ingin kembali ke rekan saya, Perry Tristianto, si raja FO yang tadi saya
ceritakan. Karena penjualan FO sudah bukan zamannya lagi dan turun terus, ia
pun telah mengalihkan usahanya dari ritel konvensional ke bidang wisata.
“Saya
menemukan perbedaannya. Justru sekarang daya beli itu ada di segmen bawah.
Mereka yang naik sepeda motor bersama keluarga mampu ke kawasan wisata,
dipungut biaya, dan mengucapkan terima kasih. Sementara yang membawa mobil
Mercedes komplain: mengapa harus bayar?"
Saya
mengerti fenomena disruption ini masih sulit dipahami para incumbents yang
telah bertahun-tahun menjadi "penguasa" dalam bisnisnya
masing-masing. Namun hendaknya kita sadar bahwa banyak hal telah berubah dan
kita telah tinggal dalam kubangan aneka perangkap, di antaranya adalah
"the past (success) trap".
Saya tak
mengatakan daya beli telah tumbut besar-besaran. Saya hanya mengatakan terlalu
dini menuding penurunan pendapatan dan penjualan karena daya beli. Mungkin
bukan itu masalahnya.
sumber: http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/29/120323026/daya-beli-terpuruk-tetapi-jalan-semakin-macet
Sekedar Catatan:
Hmm.. tulisan yang menenangkan. Seperti biasa Rhenald Kasa mencoba para penyimaknya untuk melihat dari perspektif yang berbeda. Tidak melulu satu arah dengan yang sedang ramai. Saya senang ada 'mereka' yang bisa dengan tenang melihat sisi-sisi objektif dalam melihat sebuah fenomena. Mungkin tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, hanya saja karena kita melihat dar sudut pandang yang berbedaMarisa Wajdi!!!
PENGADILAN UNTUK SANG AHLI STATISTIK
Oleh: Bustanul Arifin
Marisa Wajdi!!!
Artikel
ini bagus sekali. Menceritakan nasib Andreas Georgiou, ahli statistik yang
sudah melalang buana 30 tahun, namun pada 2000 memutuskan pulang ke Yunani,
tanah tumpah darahnya yang ekonominya sedang morat marit.
Karena dari lulusan kampus ternama dan
bekerja dua dasawarsa jadi pimpinan IMF, pemerintah Yunani langsung menawarinya
jadi kepala badan statistik Yunani (Elstat). Selama 8 tahun mengepalai Elstat,
ekonomi Yunani tidak kunjung membaik, malah semakin runyam.
Jari untuk saling menyalahkan sudah
menunjuk kemana-mana. Rakyat, pemerintah yg naik turun, negara kreditor, IMF,
dan kanselir Jerman Angela Merkel, gantian menjadi kambing hitam.
Karena semua membela diri dengan sengit dan
saling ancam, tiba-tiba semua pihak melakukan shoot the messenger (menghabisi
pembawa pesan). Semua telunjuk menunjuk sang pembawa pesan yakni Andreas
Georgiou.
Tiba-tiba kejaksaan agung mengeluarkan
tuntutan penjara seumur hidup ke Georgiou atas tuduhan kriminal membesar-besarkan
angka inflasi. Akibatnya pemerintah Yunani menerima bailout IMF yg mensyarakat
penerapan austerity (kebijakan ketatkan ikat pinggang) yg sangat ketat.
Sehingga subsidi dicabut habis dan rakyat menderita. Tuduhan ini didukung semua
partai (termasuk partai presiden berkuasa Prokopis Pavlopoulos).
Apa respons Georgiou setelah dicampakkan
negerinya dengan tuduhan yg sangat merendahkan integritasnya itu ? Dia dengan
bantuan penuh asosiasi biro statistik Eropa (Eurostat) tentu saja melawan.
"Saya menggunakan data yang akurat, perhitungan saya menggunakan formula
yg sahih, dan sudah terlihat hasilnya pada perbaikan ekonomi Yunani. Apa yang
salah ?" tegasnya.
Bagaimana nasib Georgious akhirnya ? Apa
saja formula statistik yg dia gunakan untuk menyembuhkan Yunani ? dan
Geolorgious ternyata bukan ahli statistik pertama yg masuk penjara di negara yg
kena krisis. Siapa saja para martir itu ? Adakah dari Indonesia ?
Silahkan baca
link selengkapnya di : http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1740-9713.2017.01052.x/full
Sekedar Catatan
Sejauh
ini belum ada statistisi Indonesia yang dipenjara gara-gara angka yang dirilisnya.
Kalau dimarahin atau dicuekin Presiden/Wapres/ Menteri/Gubernur/Bupati atau
dicurigai pakar/media/komentator, itu mah sudah biasa. Kita tidak bisa memuaskan semua pihak bukan?.
Tinggal re-instrospeksi saja, apakah kita sebagai statistisi bisa mempertanggungjawabkan metodologi yang kita pakai?
Tinggal re-instrospeksi saja, apakah kita sebagai statistisi bisa mempertanggungjawabkan metodologi yang kita pakai?
Marisa Wajdi!!!
MENGGUGAT AKURASI DATA SEKTORAL
Kompas, 10 Aug 2017
Oleh MAYLING OEY-GARDINER
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia dan anggota Komisi Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Impiankah untuk berharap bahwa karut marut data beras
belakangan ini bisa menjadi dorongan bagi semua kementerian untuk memperbaiki
akurasi data sektoral yang menjadi tanggung jawabnya, hingga mampu menghasilkan
statistik yang mencerminkan fakta keadaan sebenarnya?
Jika bukan impian, itulah
yang diharapkan peneliti-ilmuwan agar dapat melaporkan fakta atau kebenaran
yang ada dalam dunia empiris. Bagaimana tidak. Peneliti tentu saja mengharapkan
pengambilan keputusan oleh pejabat secara berkelanjutan bisa terus memperbaiki
kehidupan rakyat bermasyarakat. Hal ini hanya bisa diwujudkan jika pengambilan
keputusan terkait kebijakan tersebut didasarkan pada fakta kebenaran yang
ditunjukkan oleh data statistik yang dikumpulkan secara akurat, ilmiah, dan
bertanggung jawab.
Kelemahan akurasi data sebenarnya tidak hanya terjadi pada
beras, dan juga tidak hanya terjadi pada kementerian yang terkait dengan urusan
beras, tetapi juga pada persoalan dan instansi-instansi lain.
Data sektoral bermutu
Secara undang-undang, data sektoral, terutama data
administratif, merupakan tanggung jawab kementerian. Dalam struktur
kementerian, ada unit yang bernama litbang (penelitian dan pengembangan), yang
membawahi unit bernama pusdatin (pusat data dan informasi). Oleh karena itu,
jika mencari data kementerian, tentu saja kita mulai dari pusdatin.
Sayangnya,
kendati memiliki program komputer canggih, jarang ada staf pusdatin yang
menguasai ilmu data yang dibutuhkan dan cara memperoleh, mengelola, dan
mengolahnya. Dengan bangga pengunjung diberi tahu bahwa sistem yang ada mampu
memberikan data real time, kapan saja dapat diperoleh data pada waktu diminta.
Sebagai contoh, dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil) dapat
memberikan angka ”jumlah penduduk”. Namun, analis dan pengambil keputusan kebijakan
cenderung memerlukan data statistik yang menggambarkan perkembangan, misalnya.
Mungkin data real time sebenarnya merupakan angka hasil pemasukan data (data
input) tanpa ada yang tahu kebenarannya.
Hasil investigasi oleh penulis
menemukan bahwa tugas unit pusdatin sering dikerjakan oleh tenaga yang tidak
selalu memiliki latar belakang pendidikan yang dibutuhkan. Boleh dikatakan
jarang ditemukan petugas yang memiliki kemampuan menghasilkan statistik yang
diperlukan, seperti angka partisipasi, angka kesakitan, dan prevalensi.
Sementara sistem administrasi yang ada tidak menyediakan staf yang mampu
memeriksa kelengkapan dan kebenaran data yang dimasukkan. Dalam sistem
desentralisasi, keadaan jadi lebih sulit karena pusat tak dapat secara langsung
berhubungan dengan unit pengumpul data di daerah. Data sektoral diterbitkan
dengan bekerja sama dengan BPS. Setiap tahun ada terbitan kementerian dan dinas
yang bekerja sama dengan BPS, yang menghasilkan ”Statistik Indonesia” dan
”Daerah (provinsi, kabupaten) dalam Angka”. Hasilnya, angka statistik tahunan
bisa naik-turun bagaikan ayunan, tanpa ada yang tahu, tanpa ada yang peduli.
Tentu saja tidak ada yang tahu jika yang dilaporkan hanya 1 (satu) angka untuk
1 (satu) tahun, sebagaimana ditemukan dalam 1 (satu) terbitan statistik
nasional dan daerah. Yang perlu dirisaukan tentu saja adalah penggunaan ataupun
penyebutan angka yang tidak sesuai fakta, tetapi ada kalanya, dan bahkan
sering, dijadikan sebagai landasan pengambilan keputusan kebijakan, baik di
pusat maupun di daerah. Atau mungkinkah keputusan kebijakan diambil tanpa
pengetahuan fakta lapangan?
Data dan Kebijakan
Data yang diterbitkan menimbulkan pertanyaan kebijakan
publik. Berikut disajikan beberapa contoh yang seharusnya menggambarkan keadaan
belakangan ini. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang
diterbitkan BPS dalam Statistik Indonesia (terbitan tahunan) terjadi perubahan
berikut. Sejalan dengan tren penurunan fertilitas yang menjanjikan kemungkinan
bangsa Indonesia menikmati bonus demografi pada 2020, jumlah murid SD menurun
dari 27,6 juta menjadi 26,1 juta antara 2010 dan 2014, atau sebanyak 1,5 juta
hanya dalam waktu empat tahun saja. Anehnya, penurunan jumlah murid yang
demikian besar itu malah dibarengi pertambahan jumlah sekolah dasar sebanyak
709 unit, dari 146.804 unit menjadi 147.513 unit. Namun, yang lebih mengejutkan
adalah kebijakan pemerintah yang merespons penurunan jumlah murid dengan
penambahan guru sebanyak 194.133 orang (dari 1,5 juta menjadi 1,7 juta orang).
Suatu jumlah yang tidak kecil, tetapi mungkin sekali populer mengingat
kementerian memperoleh tambahan anggaran yang besar sekali, meskipun hingga
kini tidak menghasilkan perbaikan mutu pendidikan anak bangsa. Hingga sekarang
belum ada yang meminta pertanggungjawaban pemerintah, penyebabnya kemungkinan
besar adalah karena tak ada yang tahu.
Pertanyaan untuk Menristek dan Dikti
agak berbeda. Dalam waktu yang sama, jumlah mahasiswa bertambah 1,1 juta orang
(145.474 di PTN dan 963.160 di PTS). Gejala ini lumrah mengingat perluasan
kelas menengah. Sebagian dari pertambahan tersebut diakomodasi dalam 140 kampus
baru (dari 3.185 menjadi 3.325). Anehnya perkembangan tersebut dibarengi
pengurangan jumlah dosen sebanyak 35.736 orang (595 orang dari PTN dan 36.331
orang dari PTS), atau 21 persen dari keadaan 2014. Apakah hal tersebut
merupakan akibat dari kebijakan pemerintah yang sangat merugikan mahasiswa
swasta, anak bangsa Indonesia yang tidak dapat ditampung di PTN? Benarkah
sepertinya pemerintah dengan sengaja menelantarkan mahasiswa kurang mampu
(sehingga terpaksa masuk PTS), atau sebenarnya merupakan akibat dari kurang
akuratnya data yang ada? Demikian pula dapat diajukan pertanyaan terkait
kebijakan kesehatan, khususnya ketersediaan pelayanan rumah sakit.
Data yang
ada menunjukkan kecenderungan penyediaan pelayanan yang bias untuk kaum berada.
Dalam empat tahun terakhir terjadi peningkatan yang sangat tajam jumlah rumah
sakit umum (RSU) dan rumah sakit khusus (RSK), yang cenderung berada di kota
tempat tinggal kaum mampu. Sebaliknya, puskesmas yang lebih banyak melayani
kaum kurang mampu di kabupaten, bahkan di kecamatan, tidak banyak bertambah.
Jumlah RSU bertambah 556 unit atau 43 persen (dari 1.299 unit menjadi 1.855
unit) dan RSK bertambah 218 unit atau 65 persen (dari 333 unit menjadi 551
unit); sedangkan jumlah puskesmas bertambah 726 unit atau hanya 8 persen, dari
9.005 unit menjadi 9.731 unit. Dapatkah dikatakan bahwa data tersebut merupakan
hasil kebijakan kementerian yang berpihak pada kaum berada? Atau, seperti data
kementerian lainnya, akibat dari kualitas data?
Sebelum rakyat mempertanyakan
kebijakan pemerintah— setelah melihat data yang diterbitkan BPS sebagai
pertanggunganjawaban kepada publik—kementerian diharapkan lebih memperhatikan
unit penghasil datanya. Unit ini dapat menjadi jendela mengumumkan fakta
melalui data statistik dan informasi keadaan dan rencana tujuan kebijakan. Unit
tersebut diharapkan tidak bertindak defensif menutup diri dengan menolak publik
memperoleh data tentang keadaan sebenarnya. Sebaliknya, unit tersebut
seyogianya diberdayakan dengan sumber daya dan dana yang memadai agar
dihasilkan data yang bermutu dan akurat sesuai fakta di lapangan.
***
Sekedar catatan:
Saya sadar betul, bahwa Saya bukan orang yang bisa membaca makna implisit yang ingin orang lain sampaikan. Perasaan tidak paham Saya alami ketika membaca tulisan Prof. Mayling Oey-Gardiner diatas. Setahu saya Prof. Mayling Oey-Gardiner adalah salah satu tokoh yang sangat mendukung sepak terjang BPS. Beliau adalah salah satu dari banyak orang pintar yang tahu tantangan dan hambatan yang dihadapi BPS. Tapi, tulisan diatas terasa menunjukkan sebaliknya. Ah, mungkin perasaan Saya saja.
Saya kira Prof. Mayling Oey-Gardiner tahu pasti alasan dan latar belakang kenapa BPS harus 'membantu' kementerian dalam mengumpulkan data sektoral. Tepat seperti yang beliau katakan, bahwa sumber daya manusianya ada di BPS. Dalam dunia yang sempurna, alangkah indahnya jika kementerian mengumpulkan data sektoral yang berkualitas, seterusnya BPS tinggal meramu dan menghitung indikator makro yang dibutuhkan oleh para stakeholder. Indahnya.... Saya menunggu masa itu datang.
Marisa Wajdi!!!
Marisa Wajdi!!!
ANOMALI DATA MAKRO DAN MIKRO
9 Agustus 2017
Oleh:
Oleh:
Ari Kuncoro, Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Indonesia
Beberapa minggu terakhir ini media massa, media sosial, dan
kelompok Whatsapp diramaikan oleh perdebatan terjadinya perbedaan (discrepancy)
antara data makroekonomi Indonesia, yaitu pertumbuhan produk domestik bruto,
dan data/survei mikro di pasar retail. Beberapa foto yang menunjukkan betapa sepinya beberapa pusat
perbelanjaan yang terkenal turut menghiasi diskursus masyarakat tersebut.
Pertanyaan mendasar adalah mengapa walaupun pertumbuhan
ekonomi pada 2017 triwulan III cukup baik, yaitu sebesar 5,01 persen, tetapi
pada saat yang sama beberapa sumber menunjukkan terjadi pelemahan di pasar
retail, seperti penurunan konsumsi semen nasional sebesar 1,2 persen year on
year (yoy) pada semester I-2017, penurunan penjualan pakaian sebesar 15 persen
pada saat Lebaran, dan tingkat kekosongan perkantoran di area pusat perkotaan
(CBD) sebesar 18,4 persen.
Yang menarik kemudian di sela-sela perdebatan ini adalah
pendapat beberapa pakar bahwa yang terjadi sebenarnya adalah bukan perlambatan,
melainkan pergeseran dari tren belanja barang ke daring (online). Pendapat ini
menegaskan bahwa pengamatan mikro pada satu sektor saja tidaklah cukup untuk
menarik kesimpulan tentang keseluruhan perekonomian (economy wide). Untuk
itulah kita perlu melihat data makro yang lebih rinci sehingga gambaran
makro-mikro tidak putus.
Pengamatan tersebut dapat dilakukan jika ada data konsumen
yang langsung dapat disandingkan dengan data pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran
retail adalah bagian dari konsumsi, sementara konsumsi masyarakat adalah bagian
dari produk domestik bruto (PDB). Yang diperlukan adalah data konsumsi yang
memiliki rincian yang cukup lengkap menangkap beberapa tingkah laku masyarakat
dalam mengonsumsi, tidak sekadar hanya konsumsi agregat. Data triwulanan
terakhir PDB Badan Pusat Statistik memiliki informasi cukup lengkap untuk
memenuhi kebutuhan ini.
Makin menengok ke belakang, misalnya ke triwulan I-2011,
pertumbuhan PDB lebih tinggi sekitar 2,5 persen yoy dibandingkan dengan
pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Perbedaan tersebut menangkap tahun-tahun
terakhir dari ekspor boom yang berasal dari komoditas. Semakin menuju ke waktu
terkini, dimulai dari triwulan III-2013, dua garis tersebut bersatu atau
mengalami konvergensi yang menunjukkan bahwa dinamika pertumbuhan PDB tidak
dapat dipisahkan dari pertumbuhan konsumsi.
Dengan kata lain dinamika pertumbuhan konsumsi mendominasi
pertumbuhan PDB karena pangsanya adalah yang terbesar dalam PDB. Dinamika dari
PDB sebagian besar ditentukan oleh perkembangan konsumsi rumah tangga. Jika
pertumbuhan konsumsi masyarakat relatif datar, maka demikian juga dengan
pertumbuhan PDB.
Setelah akhir 2013, dalam waktu yang cukup lama, konsumsi
rumah tangga sebagai komponen pengeluaran yang terbesar dalam PDB (pertumbuhan
rata-rata 4,7 persen) suka tidak suka telah menjadi motor penggerak
perekonomian karena porsinya paling besar dalam PDB, yaitu rata-rata 54,4 persen.
Ditambah kontribusi dari komponen pengeluaran agregat lain yang lebih kecil dan
tidak bervariasi banyak, tidaklah mengherankan jika pertumbuhan PDB hampir
selalu berada pada kisaran 5 persen yoy mengikuti dinamika konsumsi rumah
tangga.
Pada gilirannya dinamika konsumsi rumah tangga akan
ditentukan oleh apa yang menjadi komponennya. Konsumsi masyarakat dapat dibagi
menjadi beberapa kategori: (1) makanan dan minuman selain di hotel dan
restoran; (2) piranti rumah tangga, termasuk pakaian dan sepatu; (3) perlengkapan
rumah tangga; (4) pendidikan dan kesehatan; (5) transportasi dan komunikasi;
dan (6) hotel dan restoran.
Yang terakhir ini menangkap aktivitas menikmati waktu luang
atau leisure, seperti menginap di hotel, makan di restoran, dan melakukan perjalanan
atau sekadar makan di luar sambil window shopping di mal.
Pertumbuhan belanja makanan dan minuman selain di hotel dan
restoran relatif tetap, yaitu sekitar 5 persen yoy. Yang menurun cukup
signifikan adalah konsumsi piranti rumah tangga, termasuk sepatu dan pakaian.
Pembelian perlengkapan rumah tangga (tahan lama) sedikit menurun. Pendidikan
dan kesehatan sedikit berfluktuasi walaupun sempat mengalami penurunan, tetapi
pertumbuhan di triwulan III-2017 melonjak cukup tajam. Yang menarik adalah
kategori konsumsi hotel dan restoran yang juga dapat menunjukkan tingkat
affluence masyarakat setelah kebutuhan yang lebih pokok terpenuhi.
Pergeseran pola konsumsi
Makan di restoran merupakan salah satu contoh dari perilaku
affluence atau gaya hidup hedonis. Gaya hidup hedonis sendiri mempunyai
beberapa tingkatan. Tingkat menikmati waktu luang dengan berekreasi dianggap
lebih tinggi daripada sekadar membeli barang tahan lama.
Tampaknya ada gejala di mana rumah tangga mencoba
mempertahankan gaya hidup leisure. Konsumsi kategori ini cenderung bertahan
walaupun ada sedikit fluktuasi, tetapi pada periode akhir pengamatan besarannya
justru meningkat. Kemacetan yang terjadi di Jalan Tol Jagorawi ke arah
Bogor/Puncak, Malang-Surabaya, Yogyakarta-Magelang; bandara yang sibuk pada
hari Jumat; dan tiket kereta api yang terjual habis pada saat long-weekend
sepertinya menggambarkan keinginan sebagian besar rumah tangga (kelas menengah)
untuk menikmati waktu luang keluar dari rutinitas. Tampaknya mereka berasal
dari segala lapisan pendapatan di kelas menengah.
Jika diambil satu merek saja di antrean gerbang tol,
misalnya Toyota Kijang, hampir semua tahun pembuatan ada, dari tahun 1980-an
sampai keluaran terbaru. Dalam kondisi pendapatan yang pas-pasan sebagai kelas
menengah, mereka menjadi sadar anggaran (budget conscious). Dalam perencanaan
keuangan, mereka tahu benar apa yang menjadi prioritas. Yang bukan lagi
prioritas utama adalah konsumsi piranti rumah tangga, termasuk pakaian dan
sepatu serta perlengkapan rumah tangga.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa pergeseran ini dirasakan
sekali sebagai perlambatan di sektor retail. Penulis teringat partisipasi
sebagai salah seorang panelis di diskusi panel ahli ekonomi yang
diselenggarakan Kompas pada November 2016. Dalam diskusi tersebut terungkap
bahwa terdapat stagnasi pada upah riel. Kenaikan upah secara nominal hanya
cukup secara pas-pasan untuk mempertahankan daya beli dan gaya hidup hedonis
yang sudah digemari masyarakat. Perilaku konsumsi gaya baru ini ditularkan
melalui pengamatan terhadap sekitar, media televisi, media sosial, dan
lain-lain.
Waktu itu kami belum terlalu mengerti bahwa ujung-ujungnya
akan seperti ini. Walaupun upah nominal naik, banyak pabrik mengurangi jam
kerja (karena permintaan luar negeri dan dalam negeri melemah), sehingga
pendapatan riil juga tidak meningkat banyak, bahkan cenderung turun dan bukan
semata-mata karena inflasi. Sebagai akibatnya, untuk mempertahankan tingkat
pendapatan yang cukup, mereka harus mengambil pekerjaan sambilan, misalnya
menjadi pengojek. Cara lain adalah dengan mengerahkan anggota keluarga untuk
turut bekerja guna menambah pendapatan rumah tangga (collective household
income).
Untuk membeli kebutuhan pokok memang masih mencukupi
(terlihat dari konstannya pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman di luar
restoran). Akan tetapi, karena sudah telanjur menikmati affluence dari gaya
hidup hedonis tingkat awal, tampaknya mereka bersedia menunda konsumsi barang
tahan lama asalkan dapat menikmati waktu luang (tecermin dari tetap tingginya pertumbuhan
konsumsi ”hotel dan restoran”).
Gaya hidup hedonis menikmati waktu luang (termasuk
jalan-jalan sebagai turis domestik) tampaknya mulai menggeser gaya hidup
hedonis dengan mempertontonkan barang atau gadget. Yang tadinya membeli baju
baru setahun sekali waktu Lebaran, mungkin sekarang cukup puas dengan memakai
baju lama yang penting bersih.
Kalau dulu telepon genggam diganti setiap enam bulan sekali,
mungkin sekarang cukup ganti dua tahun sekali. Yang dulu membeli semua
kebutuhan pokok di Indomaret dan Alfamart, sekarang untuk sebagian kebutuhan
cukup membelinya di tukang sayur dekat rumah. Mereka mungkin masih mengunjungi
mal-mal untuk makan di food court bersama keluarga, tetapi secara keseluruhan
bundel belanjanya mengecil. Mereka juga rela menahan belanja barang konsumsi
tahan lama sekadar untuk dapat menabung guna merayakan Lebaran di kampung
halaman di mana mereka merasa menjadi wong.
Seandainya saja terdapat kenaikan pendapatan riel rumah
tangga, perubahan pola konsumsi rumah tangga menuju konsumsi yang lebih
affluence mungkin tidak akan berdampak terlalu drastis seperti yang dirasakan
sekarang oleh industri retail. Kategori piranti dan pelengkapan rumah tangga
secara bersama-sama mengambil porsi sekitar 10 persen dari PDB sehingga
penurunan pertumbuhan akan segera berdampak signifikan terhadap sektor retail.
Tanpa kompensasi dari pertumbuhan konsumsi hotel dan
restoran serta komponen besar pengeluaran agregat, seperti konsumsi pemerintah,
investasi, dan ekspor; pertumbuhan PDB dapat saja jatuh sedikit di bawah 5
persen per tahun. Hal ini memberi gambaran mengapa pertumbuhan ekonomi (makro)
masih di atas 5 persen per tahun walaupun industri retail mengalami penurunan
pertumbuhan.
Perkembangan sisi pengeluaran konsumsi kemudian dipadankan
dengan beberapa produk terpilih sektor manufaktur. Industri makanan dan minuman
mempunyai pertumbuhan yang solid sesuai dengan pertumbuhan pengeluaran konsumsi
untuk hotel dan restoran. Tekstil dan garmen tampaknya mempunyai masalah dalam
mempertahankan pertumbuhan yang positif.
Hal ini sesuai dengan perlambatan sisi pengeluaran konsumsi
piranti rumah tangga. Sebaliknya produk kulit dan sepatu mempunyai pertumbuhan
yang cukup baik seiring dengan makin populernya gaya hidup berkegiatan di luar
rumah, seperti berkemah, naik sepeda, dan atletik. Bukan tidak mungkin
fasilitas belanja daring turut membantu kinerja industri ini.
Produk kayu dan rotan menunjukkan perkembangan yang sejalan
dengan tekstil dan garmen terkena dampak lesunya pengeluaran konsumen untuk
perangkat rumah tangga. Bahan kimia, farmasi, dan obat-obatan menunjukkan
pertumbuhan yang baik seiring dengan solidnya pengeluaran konsumen untuk
kesehatan. Barang metal, komputer, elektronik, dan furnitur mengalami kelesuan
sejalan dengan menurunnya pertumbuhan pengeluaran konsumsi untuk perlengkapan
rumah tangga.
Menggerakkan ekonomi
Salah satu hal yang menyebabkan perekonomian tetap dapat
tumbuh sekitar 5 persen per tahun adalah penduduk Indonesia yang berjumlah 250
juta yang merupakan konsumen sekaligus produsen. Anugerah ini bukanlah alasan
untuk berpangku tangan, melainkan dapat dianggap sebagai modal dasar. Tampaknya
fenomena anomali makro-mikro yang banyak diperdebatkan orang lebih disebabkan
oleh pergeseran pola konsumsi rumah tangga ke arah kehidupan konsumtif hedonis
menikmati waktu luang.
Fenomena ini merupakan peluang baru yang dapat dimanfaatkan
pemerintah untuk menggunakan wisata domestik sebagai salah satu penggerak
perekonomian dalam negeri. Agar perekonomian tumbuh di atas 5 persen, tetap diperlukan
kontribusi pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor. Investasi dan ekspor
harus digalakkan terus sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dengan menekan
ekonomi biaya tinggi dan memperbaiki sistem logistik di dalam negeri. Dalam hal
penghematan anggaran yang dilakukan pemerintah, struktur pemungutan anggaran
harus tetap memperhatikan dampak dari stimulus anggaran terhadap perekonomian.
Jika tujuannya adalah untuk menggerakkan perekonomian,
dampak pengganda (multiplier) terbesar adalah di satu daerah yang mempunyai
struktur ekonomi yang lengkap, mulai dari pertanian hingga industri manufaktur
dan jasa-jasa. Jika pengeluaran pemerintah diarahkan ke sektor pertanian di
perdesaan di daerah yang padat penduduknya, efek penggandanya akan berputar
semakin lama melalui hierarki desa, kota kecil, kota menengah, dan akhirnya
kota besar, menciptakan proses pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Rencana pemerintah untuk merevitalisasi 1.600 kilometer
jalan kereta api yang tidak aktif dapat dikategorikan sebagai kebijakan ”sapu
jagat” karena akan melibatkan daerah penduduk perkotaan dan perdesaan yang
relatif padat penduduknya (pertumbuhan inklusif) melalui public work, sektor
pariwisata termasuk usaha penginapan yang berbasis rumah tangga (home stay),
dan industri manufaktur kerajinan rakyat berbasis rumah tangga.
sumber: https://kompas.id/baca/opini/2017/08/09/anomali-data-makro-dan-mikro/
Sekedar catatan pribadi:
Artikel ini menarik untuk diabadikan dalam blog ini. Tulisan dari kolom opini Kompas dari bapak Ari Kuncoro ini ikut menyemarakkan hari-hari BPS yang semakin hiruk pikuk, karena tiba-tiba semua orang berteriak yang sama.. mereka meragukan data BPS.
Sebagai orang yang menjadi bagian dari BPS, saya harus menerima kritik dan saran. Harus legowo bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini. Bahwa pekerjaan kami banyak kekurangan di sana-sini. Tapi tolong pahami juga bahwa BPS menghitung statistik makro negara ini tidak mudah. Dan mohon berhati-hatilah dalam menganalisa sesuatu. Kasihan mereka yang ilmu ekonominya belum komprehensif, jika digiring oleh orang-orang pintar yang 'ignorant' Mencampur adukkan ekonomi makro dengan ekonomi mikro dengan gegabah. Membandingkan data makro dengan survei mikro? Get real, Guys!
Pesan untuk diri saya sendiri adalah: mulailah belajar lagi!
Marisa Wajdi!!!
Marisa Wajdi!!!
Langganan:
Postingan (Atom)