Jumat, 19 September 2014

SMART DATA FOR SMART PEOPLE


           Smart Data for Smart People”! Wow, bombastis bukan? Apakah mereka yang tidak ‘SMART” tidak boleh memakai data yang SMART?“ Jawabannya Ya! Karena hanya orang yang smart/cerdas yang akan peduli pada data apa yang harus dipercayai. Dan percayakah Anda jika semakin hari masyarakat Indonesia semakin cerdas dan semakin peduli pada data. Salah satu contohnya terjadi pada quick count Pemilu presiden baru-baru ini. Masyarakat Indonesia semakin hati-hati dalam menentukan data mana yang harus mereka percayai. Mereka mulai mempertanyakan metodologi dan mekanisme samplingnya. Terbukti, Data memang membantu proses Mencerdaskan Bangsa.

Data Mencerdaskan Bangsa”, tagline inilah yang dipakai Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai salah satu visi dan misinya. Tagline tersebut selalu terpampang  di semua publikasi-publikasinya. Lalu pertanyaannya adalah: data apa yang bisa mencerdaskan bangsa?

“Smart Data for Smart People”!

Data yang mampu mencerdaskan bangsa adalah data yang SMART: S(imple), M(easureable), A(chievable), R(eliable) dan T(imely). Sudah saatnya statistik menjadi soko guru atau empirical based policy di Indonesia. Bukankah ada istilah yang mengatakan bahwa membangun data itu mahal, tapi membangun tanpa data jauh lebih mahal.

Permasalahannya: tidak mudah untuk melahirkan data SMART. Tantangannya adalah:

1.      S: Simple
Terkadang data yang diperlukan/diinginkan tidak bisa ditanyakan secara langsung karena bersifat relative, untuk itu diperlukan indicator-indikator yang akan digunakan sebagai variable pembentuknya. Contoh, data akan tingkat nasionalisme penduduk Indonesia. Kita tidak bisa langsung menanyakan pada responden berapa skor nasionalisme mereka. Kalaupun bisa maka skor per individu tidak bisa langsung di akumulasikan karena tidak bersifat “apple to apple”. Cara yang digunakan adalah pengukuran tidak langsung, yaitu dengan menanyakan beberapa indicator yang bisa dikualifikasikan sebagai ukuran nasionalisme, misalnya: apakah responden pernah mengikuti upacara bendera selama setahun terakhir; apakah responden akan memilih produk luar negeri walau ada produk dalam negeri yang setara; apakah responden setuju jika ada provinsi yang ingin memerdekakan diri, dan seterusnya. Data indicator tersebutlah yang kemudian menjadi komponen dalam penghitungan indeks nasionalisme (misalnya).

Jadi, banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan kuesioner, metodologi dan pelaksanaan lapangan yang memenuhi syarat simplicity.

Ternyata simple itu tidak simple, ya. Tapi walaupun tidak mudah simplicity patut diperjuangkan karena dengan menekankan pada kesederhanaan (simplicity) maka waktu pengumpulan data akan lebih pendek, error responden yang semakin kecil, dan data dapat diperoleh dengan lebih mudah. Namun kelemahannya terasa saat membutuhkan data lain yang sebenarnya bisa dikaitkan dengan kuesioner lainnya, karena kuesioner tersebut tidak mengandung daftar pertanyaan yang dibutuhkan.

M: Measureable= Terukur

Satu hal yang penting dalam penggunaan statistik adalah keterbandingan (apple to apple) dengan wilayah lain.  Agar suatu statistik itu dapat dibandingkan, maka metodologi yang dipakai harus sama. Sejauh ini, BPS dengan visinya “ pelopor data terpercaya untuk semua” telah mampu mengadopsi metodologi yang dipakai oleh PBB. Sehingga statistik yang ditelurkan oleh Indonesia, BPS terutama, sudah bisa disandingkan dengan negara-negara di dunia.  Namun akibat “ikatan” metodologi internasional ini, seringkali kita dihadapkan pada kesulitan prosedur statistik baik untuk lapangan maupun pengolahan. Sehingga seringkali dilakukan adjusment yang sesuai dengan kondisi Indonesia, tanpa melanggar metodologi internasional.

Jika demikian, saat isu bahwa pada masa kepresidenan JOKOWI, BPS akan dileburkan (entah ke departemen mana), data yang Measurable akan membutuhkan garis koordinasi yang lebih panjang, akibatnya proses menciptakan data simple menjadi semakin tidak simple.

A: Achievable
Dalam menentukan data apa yang ingin dikumpulkan, kita harus berbekal pada batas kemampuan atau kapasitas yang dimiliki. Berapa biaya, waktu, sumber daya yang dibutuhkan dan sejauh mana biaya, waktu dan sumber daya yang dimiliki mampu mencapainya. Dalam hal ini kelebihan yang dimiliki BPS adalah jaringan yang kuat karena kantor BPS ada sampai tingkat kabupaten/kota. Bahkan setiap kecamatan di seluruh Indonesia (diupayakan) memiliki seorang Koordinator Statistik Kecamatan, tujuan tidak lain dan tidak bukan untuk memperlancar arus koordinasi.

 R: Reliable = terpercaya

Selain tanggung jawab metodologi, reliable menjadi tanggung jawab pekerja lapangan dan pengolah data. Ketika data sudah “dicampurtangani” oleh berbagai kepentingan, maka data bisa menjerumuskan para penggunanya. Bahkan mungkin bisa membuat ricuh dan perpecahan. Tidak percaya? Lihat saja pengalaman ribut-ribut hasil Pemilu 2014 kemarin! Ingat, data dibangun untuk memberikan informasi yang bisa digunakan untuk mengambil keputusan yang tepat.

T: Timely

Indonesia meliputi wilayah yang luas dengan jumlah penduduk yang besar. Proses pengumpulan data akan memakan waktu, karena berkaitan dengan distribusi  informasi, distribusi dokumen, pencacahan lapangan dan lain sebagainya. BPS telah melakukan berbagai upaya dalam rangka mempercepat  proses pengumpulan data. Salahsatunya adalah pemanfaatan teknologi sehingga selain mengoptimalkan waktu juga bisa mengefesienkan biaya.

Simpulan

Data SMART dilahirkan dalam sinergi, tidak ada satu proses yang lebih penting dari proses yang lainnya. Jika salah satu proses berkinerja buruk maka akan buruklah hasil pada akhirnya. Sehingga agar semua proses berjalan sesuai dengan yang direncanakan, diperlukan perilaku yang efektif, efisien, sistematik, inovatif, excellent, serta cepat tanggap terhadap lingkungan sekitar. Perilaku ini merupakan nilai pertama dalam nilai inti insan BPS yaitu Profesional.

Dengan data yang SMART maka kepercayaan pada BPS pun akan semakin besar dan peran BPS pun akan sangat sentral. Sebagai produsen BPS harus memperhatikan konsumen data dan responden. Penyajian data harus mudah di-interpretasi dan uptodate. Responden pun harus disosialisasikan tentang pentingnya data. Responden turut bertanggung jawab akan SMART-ivitas data. Data tidak mungkin berkualitas, jika sumber data tidak mau memberikan data yang berkualitas.  Jika tidak maka akan terjadi GIGO, garbage in garbage out. Jangan sampai data yang diolah adalah data yang tidak berguna. Walaupun metodologi yang dipakai mutakhir atau pengolahan dilakukan dengan teknologi tercanggih, tetap saja hasilnya tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya. 

Jadi pada akhirnya data yang SMART, akan bermuara pada “Data yang mampu Mencerdaskan Bangsa”. Semoga tagline “Data Mencerdaskan Bangsa” tidak hanya menjadi hiasan punggung publikasi-publikasi BPS. Semua itu tidak bisa dilakukan BPS sendirian, partisipasi Anda juga dibutuhkan!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha