“Smart Data for Smart People”! Wow,
bombastis bukan? Apakah mereka yang tidak ‘SMART” tidak boleh memakai data yang
SMART?“ Jawabannya Ya! Karena hanya orang yang smart/cerdas yang akan peduli pada data apa yang harus dipercayai. Dan
percayakah Anda jika semakin hari masyarakat Indonesia semakin cerdas dan
semakin peduli pada data. Salah satu contohnya terjadi pada quick count Pemilu presiden baru-baru
ini. Masyarakat Indonesia semakin hati-hati dalam menentukan data mana yang
harus mereka percayai. Mereka mulai mempertanyakan metodologi dan mekanisme
samplingnya. Terbukti, Data memang membantu
proses Mencerdaskan Bangsa.
“Data Mencerdaskan Bangsa”, tagline inilah yang dipakai Badan Pusat
Statistik (BPS) sebagai salah satu visi dan misinya. Tagline tersebut selalu terpampang di semua publikasi-publikasinya. Lalu
pertanyaannya adalah: data apa yang bisa mencerdaskan bangsa?
“Smart
Data for Smart People”!
Data
yang mampu mencerdaskan bangsa adalah data yang SMART: S(imple),
M(easureable), A(chievable), R(eliable) dan T(imely). Sudah saatnya statistik menjadi soko guru atau empirical based policy di Indonesia.
Bukankah ada istilah yang mengatakan bahwa membangun data itu mahal, tapi membangun
tanpa data jauh lebih mahal.
Permasalahannya:
tidak mudah untuk melahirkan data SMART. Tantangannya adalah:
1. S: Simple
Terkadang
data yang diperlukan/diinginkan tidak bisa ditanyakan secara langsung karena
bersifat relative, untuk itu
diperlukan indicator-indikator yang akan digunakan sebagai variable pembentuknya. Contoh, data akan tingkat nasionalisme
penduduk Indonesia. Kita tidak bisa langsung menanyakan pada responden berapa
skor nasionalisme mereka. Kalaupun bisa maka skor per individu tidak bisa
langsung di akumulasikan karena tidak bersifat “apple to apple”. Cara
yang digunakan adalah pengukuran tidak langsung, yaitu dengan menanyakan
beberapa indicator yang bisa dikualifikasikan sebagai ukuran nasionalisme,
misalnya: apakah responden pernah mengikuti upacara bendera selama setahun
terakhir; apakah responden akan memilih produk luar negeri walau ada produk
dalam negeri yang setara; apakah responden setuju jika ada provinsi yang ingin
memerdekakan diri, dan seterusnya. Data indicator tersebutlah yang kemudian menjadi
komponen dalam penghitungan indeks nasionalisme (misalnya).
Jadi,
banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan kuesioner, metodologi
dan pelaksanaan lapangan yang memenuhi syarat simplicity.
Ternyata
simple itu tidak simple, ya. Tapi walaupun tidak mudah simplicity patut diperjuangkan karena
dengan menekankan pada kesederhanaan (simplicity) maka waktu pengumpulan data akan lebih pendek, error responden yang semakin kecil, dan data dapat diperoleh dengan lebih mudah.
Namun kelemahannya terasa saat membutuhkan data lain yang sebenarnya bisa
dikaitkan dengan kuesioner lainnya, karena kuesioner tersebut tidak mengandung daftar
pertanyaan yang dibutuhkan.
M:
Measureable=
Terukur
Satu hal yang penting dalam penggunaan
statistik adalah keterbandingan (apple to apple) dengan wilayah
lain. Agar suatu statistik itu dapat dibandingkan,
maka metodologi yang dipakai harus sama. Sejauh ini, BPS dengan visinya “
pelopor data terpercaya untuk semua” telah mampu mengadopsi metodologi yang
dipakai oleh PBB. Sehingga statistik yang ditelurkan oleh Indonesia, BPS
terutama, sudah bisa disandingkan dengan negara-negara di dunia. Namun akibat “ikatan” metodologi
internasional ini, seringkali kita dihadapkan pada kesulitan prosedur statistik baik untuk lapangan maupun pengolahan. Sehingga
seringkali dilakukan adjusment yang
sesuai dengan kondisi Indonesia, tanpa melanggar metodologi internasional.
Jika
demikian, saat isu bahwa pada masa kepresidenan JOKOWI, BPS akan dileburkan
(entah ke departemen mana), data yang Measurable
akan membutuhkan garis koordinasi yang lebih panjang, akibatnya proses menciptakan
data simple menjadi semakin tidak simple.
A:
Achievable
Dalam menentukan data apa yang
ingin dikumpulkan, kita harus berbekal pada batas kemampuan atau kapasitas yang
dimiliki. Berapa biaya, waktu, sumber daya yang dibutuhkan dan sejauh mana
biaya, waktu dan sumber daya yang dimiliki mampu mencapainya. Dalam hal ini kelebihan yang
dimiliki BPS adalah jaringan yang kuat karena kantor BPS ada sampai tingkat
kabupaten/kota. Bahkan setiap kecamatan di seluruh Indonesia (diupayakan) memiliki
seorang Koordinator Statistik Kecamatan, tujuan tidak lain dan tidak bukan
untuk memperlancar arus koordinasi.
R: Reliable = terpercaya
Selain tanggung jawab metodologi, reliable menjadi tanggung jawab pekerja lapangan dan pengolah data.
Ketika data sudah “dicampurtangani” oleh berbagai kepentingan, maka data bisa
menjerumuskan para penggunanya. Bahkan mungkin bisa membuat ricuh dan
perpecahan. Tidak percaya? Lihat saja pengalaman ribut-ribut hasil Pemilu 2014
kemarin! Ingat, data dibangun untuk memberikan informasi yang bisa digunakan
untuk mengambil keputusan yang tepat.
T:
Timely
Indonesia meliputi wilayah yang luas dengan
jumlah penduduk yang besar. Proses
pengumpulan data akan memakan waktu, karena berkaitan dengan distribusi informasi, distribusi dokumen, pencacahan
lapangan dan lain sebagainya. BPS telah melakukan berbagai upaya dalam rangka
mempercepat proses pengumpulan data.
Salahsatunya adalah pemanfaatan teknologi sehingga selain mengoptimalkan waktu
juga bisa mengefesienkan biaya.
Simpulan
Data
SMART dilahirkan dalam sinergi, tidak ada satu proses yang lebih penting dari
proses yang lainnya. Jika salah satu proses berkinerja buruk maka akan buruklah
hasil pada akhirnya. Sehingga agar semua proses berjalan sesuai dengan yang
direncanakan, diperlukan perilaku yang efektif, efisien, sistematik, inovatif, excellent,
serta cepat tanggap terhadap lingkungan sekitar. Perilaku ini merupakan nilai
pertama dalam nilai inti insan BPS yaitu Profesional.
Dengan data yang SMART maka kepercayaan
pada BPS pun akan semakin besar
dan peran BPS pun akan sangat
sentral. Sebagai produsen BPS harus memperhatikan konsumen data dan responden. Penyajian data harus mudah di-interpretasi
dan uptodate.
Responden pun harus disosialisasikan tentang pentingnya
data. Responden turut bertanggung jawab
akan SMART-ivitas data. Data tidak mungkin berkualitas, jika sumber
data tidak mau memberikan data yang berkualitas. Jika tidak maka akan terjadi GIGO, garbage in
garbage out. Jangan sampai data yang diolah adalah data yang tidak berguna. Walaupun metodologi yang dipakai mutakhir atau pengolahan
dilakukan dengan teknologi tercanggih, tetap saja hasilnya tidak menggambarkan
kondisi yang sebenarnya.
Jadi
pada
akhirnya data
yang SMART, akan bermuara pada “Data yang
mampu Mencerdaskan
Bangsa”. Semoga tagline
“Data Mencerdaskan Bangsa” tidak hanya menjadi hiasan punggung
publikasi-publikasi BPS. Semua itu tidak bisa dilakukan BPS sendirian, partisipasi
Anda juga dibutuhkan!
Comments
Post a Comment
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha