KEAJAIBAN INDONESIA
Di tengah himpitan
krisis, Indonesia mampu
menunjukan kinerja ekonomi yang mantap.
Indonesia dianggap
mampu mengejar dua kekuatan ekonomi baru,
China dan India. Optimisme ini diamini beberapa pengamat ekonomi dunia yang
menyatakan bahwa China dan India telah
kehilangan momentumnya. Sehingga Indonesia digadang-gadang
mampu menyandang “Macan Asia
dan masuk ke dalam kekuatan 10 besar
ekonomi dunia. McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa pada 2030, pertumbuhan ekonomi
Indonesia akan melampaui perkembangan negara-negara maju Eropa.
Tidak bisa dipungkiri, sejak krisis keuangan Asia,
pemulihan investasi dan manufaktur melambat. Tingkat investasi anjlok menjadi
11 persen di tahun 1999, padahal di tahun 1997 mampu membentuk 30 persen PDB. Namun waktu membuktikan kekuatan
jumlah penduduk. Kondisi ekonomi dunia yang kalut memaksa konsumen domestik untuk
mengkonsumsi produk domestik. Hal ini
dikarenakan pasar internasional tidak mampu menyerap produksi Indonesia. Dengan demikian produksi masih bisa berjalan,
walaupun orientasinya berubah dari pasar ekspor menjadi pasar domestik.
Dengan terjaganya
ritme industri manufaktur, laju pertumbuhan ekonomi bisa tetap terkontrol. Lihat
saja dari grafik disamping, laju pertumbuhan Indonesia cukup stabil setelah
berhasil recovery dari hantaman
krisis di tahun 1998. Namun
nyatanya tidak semua ekonom puas dengan pertumbuhan Indonesia yang sustain ini. Beberapa pengamat
mengatakan bahwa pertumbuhan Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi yang premature dan tidak sehat. Hal ini
karena pertumbuhan Indonesia hanya bertopang pada konsumsi domestik yang tinggi.
Bagai dua sisi mata uang, pandangan tersebut tidak seratus persen benar. Secara nyata memang konsumsi domestik lah yang menjadi penyelamat ekonomi di era ekonomi rapuh seperti sekarang. Konsumsi domestik mampu menggerakkan bursa efek. Terbukti bahwa dalam tiga tahun terakhir, bursa efek secara umum digerakkan oleh saham produk konsumen. Antara 2007 hingga paruh pertama 2012, Dealogic mencatat ada 103 listing baru di bursa efek Indonesia dengan total nilai $11,06 miliar atau Rp 106,4 triliun. Indonesia mengalami pertumbuhan lebih baik dengan mencetak pertumbuhan pasar modal sebesar 20% hingga April 2013. Kapitalisasi pasar yang terjadi di Indonesia diperkirakan melonjak 10 kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir.
Jika ditelaah lebih lanjut,
kemampuan pasar domestic dalam menyerap produksi ini disebabkan adanya perkembangan kelas menengah di Indonesia. Riset menemukan bahwa ada 60 juta orang kelas menengah yang
membelanjakan uang antara Rp. 35 ribu hingga Rp. 45 ribu per hari. Riset Insitut
McKinsey memperkirakan bahwa tahun 2025 akan ada 135 juta konsumen
Indonesia, yang setiap orangnya membelanjakan uang lebih dari Rp 100 ribu per
hari. Jika mencapai angka itu, maka jumlah konsumen Indonesia akan lebih tinggi
dari kombinasi tiga negara: Singapura, Malaysia dan Australia.
Selain itu secara absolute jumlah orang kaya Indonesia termasuk
yang paling tinggi di dunia. Saat ini ada lebih dari 100 ribu orang yang
memiliki kekayaaan lebih dari 1 juta dollar. Bahkan di tahun 2017 diperkirakan
jumlah orang kaya itu akan naik dua kali lipat menjadi 201 ribu. Tak heran pabrik besar mulai melirik Indonesia sebagai lahan
investasi. Tahun lalu, Toyota mengumumkan rencana ekspansi senilai 2,7 juta miliar
dollar. Sementara L'oreal juga membuka pabrik terbesarnya di Indonesia.
Keputusan
investasi ini tidak hanya didasari peluang pasar domestic yang besar saja,
namun juga didukung status
layak investasi dari dua lembaga pemerintah, Fitch Rating's
pada Desember 2011 dan Moody's pada Januari 2012.
IRONI
Berbangga dengan
capaian PDB lebih dari US$ 850 miliar?
Sebuah ironi: laporan Bank Dunia mengungkapkan bahwa satu dari empat
orang Indonesia mempunyai penghasilan kurang dari Rp 300 ribu per bulan
(di bawah garis kemiskinan). Ya, secara teori memang peningkatan pendapatan per kapita bisa berujung pada melebarnya
kesenjangan ekonomi dalam masyarakat. Dengan PDB sebesar Rp. 8.241,9 triliun di
tahun 2012, boleh dikatakan Indonesia adalah negara dengan ekonomi terkuat.
Sayangnya masih ada ganjalan bagi investor untuk menanamkan modalnya di
Indonesia. Sampai saat ini investor masih lebih memilih berinvestasi di Singapura
dan Malaysia daripada di Indonesia. Di pasar ekuitas, kapitalisasi Indonesia
masih kecil. Sedangkan secara fisik, investasi di Indonesia tersandung buruknya
infrastruktur. Hal ini berpengaruh negatif pada efisiensi produksi. Belum lagi diperburuk
dengan persepsi masyarakat internasional pada pola korupsi di Indonesia. Tahun 2012
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia melorot
ke peringkat 118 dunia, dari posisi 111 pada tiga tahun sebelumnya.
Tahukah
Anda, ternyata salah satu penyumbat PDB dalam selang ekonomi
adalah SUBSIDI BBM. Banyak data yang membuktikan bahwa subsidi BBM Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di
dunia. Walaupun sudah ada upaya mengurangi beban subsidi, agaknya
pemerintah masih belum berhasil meyakinkan investor. Diduga hal ini lah yang
menjadi biang keladi
perlambatan ekonomi Indonesia hingga pada 2012 hanya tumbuh 6,23%.
TERJEBAK
Kalangan
pengamat ekonomi mengatakan
bahwa Indonesia
berpotensi masuk ke dalam middle income trap.
Sesuai standard
Bank Dunia, negara yang diklasifikasikan sebagai berpendapatan rendah ketika
PDB/kapita < US$ 1.005, menengah-bawah antara US$ 1.006-US$ 3.975,
menengah-atas antara US$ 3.976- US$ 12.275, dan tinggi > US$ 12.275.
Walaupun sudah menjadi middle income
country tidak mudah bagi Indonesia untuk
move on. Indonesia sendiri sudah
sempat ‘jatuh’ lagi menjadi low income
country, karena sebenarnya Indonesia sudah masuk ke dalam
golongan middle income country di
tahun 1993, namun tumbang setelah krisis di tahun 1998. Dan kembali menjadi middle income country di tahun 2003.
Tahukah anda
bahwa sektor utama ekonomi Indonesia adalah industri manufaktur? Sektor ini
berkontribusi sebesar 23,97 persen bagi pembentukan PDB. Walau sempat terpuruk pada saat krisis
ekonomi 1998, pertumbuhan industri manufaktur mampu bangkit kembali. Di tahun 2011,
pertumbuhan industri pengolahan non-migas tercatat 6,83% melampaui pertumbuhan
PDB nasional sebesar 6,46%. Pada 2011, nilai ekspor industri non-migas
berjumlah US$ 122,18 miliar atau 60 % dari total ekspor nasional. Data
juga menunjukan peningkatan
impor yang signifikan. Meningkatnya impor barang modal dan bahan baku penolong
merupakan salah satu indikasi bergeliatnya industri dalam negeri khususnya
sektor manufaktur, yang juga mengindikasikan meningkatnya aktivitas investasi.
Hanya saja, kegiatan ekspor impor ini perlu dicermati, karena berkaitan dengan neraca perdagangan dan tentu saja berkaitan dengan kebutuhan valas. Ini menjadi sangat fragile, karena (seperti kita sadari) nilai tukar IDR yang sangat lemah terhadap USD. Dan ternyata sumber terbesar defisit neraca perdagangan adalah impor migas. Impor migas mendorong kebutuhan valas yang mencapai rata-rata US$18 miliar per tahun, sementara devisa hasil ekspor belum dapat menutupi kebutuhan valas tersebut, yang menghasilkan surplus rata-rata US$15,6 miliar. Bagaikan simalakama, nilai tambah industri angkutan versus produk angkutan yang membabat valas.
Kondisi inilah yang memberikan
indikasi dini bahwa jika Indonesia tidak merubah kebijakan ekonomi maka
Indonesia akan stuck, trapped sebagai negara kelas menengah. Indonesia
tidak akan mampu berlari mengejar dan ‘naik kelas’ menjadi high income country.
Kapankah
itu terjadi? Saat rasio investasi semakin
kecil, saat pertumbuhan industri manufaktur melambat, diversifikasi industri terbatas,
pasar kerja yang buruk, upah yang semakin tinggi, pendidikan stagnan, inovasi dan
teknologi tidak berkembang. Disaat semua itu terjadi produsen tidak mampu bersaing di pasar ekspor.
Konsumsi domestik jenuh dan tidak mampu menyerap produksi.
STRATEGI
Walaupun sektor padat modal memiliki
multiplyer effect yang lebih besar
terhadap perekonomian, namun perluasan kesempatan kerja lewat padat karya juga perlu
dibangun. Salah satunya adalah investasi sosial
di bidang pendidikan. Disaat
yang bersamaan pertumbuhan inklusif
dan hijau harus menjadi pertimbangan mendasar. Dan tentu saja
peningkatan infrastruktur guna mendukung efisiensi proses produksi dan teraksesnya
pembangunan oleh masyarakat.
Walaupun jumlah penduduk Indonesia besar,
dan kelas berpenghasilan menengah pun
membesar, perlu mencari pasar
baru untuk mempertahankan pertumbuhan ekspor. Adapun
konsekuensi dari tumbuhnya kelas menengah
adalah peningkatan daya beli yang menuntut peningkatan kualitas. Jika
tidak masyarakat akan melirik produk
impor. Dampaknya produksi domestik tidak akan terserap, laju pertumbuhan
melambat, kebutuhan valas meningkat, nilai tukar melemah, hingga akhirnya
ekonomi pun collaps.
Kesimpulannya, kebutuhan
valas yang tinggi saat ini sudah menunjukkan indikasi bahwa Indonesia sudah terjebak dalam middle-income
trap. Karena yang terjadi adalah aktivitas consumption without domestic production
yang tidak menghasilkan penerimaan negara (income) melainkan tambahan
utang terus menerus sepanjang tahun, untuk menutup defisit APBN.
Small act make different
Jika Anda mengaku pro growth, maka
:
“CINTAILAH PRODUK_PRODUK DALAM NEGERI!”
Comments
Post a Comment
Terimakasih atas komentar Anda.
Salam hangat,
Icha