Pengalaman Koperasi Di Indonesia
Dalam
postingan sebelumnya, kita dapat melihat bagaimana koperasi mulai di
kenal di Indonesia. Indonesia telah mengenal koperasi sejak
jaman penjajahan Belanda. Koperasi lahir dan telah tumbuh secara alami,
kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat
tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian
melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling
tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di
Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi.
Secara khusus
pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus
(Shankar 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan
pola penitipan kepada program yaitu :
i.
Program pembangunan
secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD;
ii.
Lembaga-lembaga
pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya;
dan
iii.
Perusahaan
baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya
prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan
tempat semestinya.
Selama ini
“koperasi” di kembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor
primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar
bagi penduduk Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi
program di sektor pertanian didukung dengan program pem
bangunan untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan
KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras
seperti yang se lama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam
politik pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit
ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh
pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT,
pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan
monopoli baru (cengkeh). Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan
program, sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian
berbagai kalangan termasuk para peneliti dan media masa. Dalam pandangan
pengamatan internasional Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang
melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian (Sharma, 1992).
Potret
Koperasi Indonesia
Sampai dengan
bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak
103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang.
Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami
peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami
perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November
2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah
koperasi dengan skala sangat kecil. Satu catatan yang perlu di ingat reformasi
yang ditandai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang KUD telah melahirkan
gairah masyarakat untuk mengorganisasi kegiatan ekonomi yang melalui
koperasi.
Secara
historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui
dukungan kuat program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu
lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman tersebut. Jika
semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber
pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru
bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD. Meskipun KUD harus
berjuang untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, namun sumbangan
terbesar KUD adalah keberhasilan peningkatan produksi pertanian terutama pangan
(Anne Both, 1990), disamping sumbangan dalam melahirkan kader wirausaha karena
telah menikmati latihan dengan mengurus dan mengelola KUD (Revolusi penggilingan
kecil dan wirausahawan pribumi di desa).
Jika melihat
posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada
koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru
didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari
keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang
terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi
atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi
dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa sebesar
46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program
pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian
koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada.
Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi
Mengenai
jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001,
pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas
pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998.
Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat
ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya
pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai
prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini
menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan
usaha koperasi kearah penyatuan vertical maupun horizontal. Oleh karena
itu jenjang pengorganisasian yang lebih tinggi harus mendorong kembalinya pola
spesialisasi koperasi. Di dunia masih tetap mendasarkan tiga varian jenis
koperasi yaitu konsumen, produsen dan kredit serta akhir-akhir ini berkembang
jasa lainnya.
Struktur
organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/lembaga
kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal
ini telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam
membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya
dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang harus diubah karena adanya
perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan globalisasi. Untuk mengubah
arah ini hanya mampu dilakukan bila penataan mulai diletakkan pada daerah
otonom.
Koperasi
Dalam Era Otonomi Daerah
Implementasi
undang-undang otonomi daerah, akan memberikan dampak positif bagi
koperasi dalam hal alokasi sum ber daya alam dan pelayanan pembinaan
lainnya. Namun kope rasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih
intensif de ngan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi inves
tasi dan skala kegiatan koperasi . Karena azas efisiensi akan
mendesak koperasi untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin
melampaui batas daerah otonom. Peranan advo kasi oleh gerakan koperasi
untuk memberikan orientasi kepa da pemerintah di daerah semakin penting.
Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat propinsi yang diserahi tugas
untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fung si intermediasi
semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan
infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.
Peranan
pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten / Kota
sebagai daerah otonom menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang
kokoh di daerah otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat.
Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan
daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis
daerah akan lebih mampu menahan arus kapital keluar, sementara sistem perbankan
yang sentralistik mendorong pengawasan modal dari secara tidak sehat.
Dukungan yang
diperlukan bagi koperasi untuk mengha dapi berbagai rasionalisasi adalah keberadaan
lembaga jaminan kre dit bagi koperasi dan usaha kecil di
daerah. Dengan demi kian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen
terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi di dae rah. Lembaga
jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah Daerah dalam bentuk
patungan dengan stockholder yang luas. Hal ini akan dapat mendesentralisasi
pengem bangan ekonomi rakyat dan dalam jangka panjang akan me num
buhkan kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing
daerah. Dalam jangka menengah kope rasi juga perlu memikirkan asuransi bagi
para penabung.
Potensi
koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi yang
otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas
kebutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan
infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi selain
peluang untuk memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi
benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini
konsolidasi potensi keuangan, pengem bangan jaringan informasi
serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan
pendukung untuk kuat nya kehadiran koperasi. Pemerintah di daerah dapat
mendo rong pengembangan lembaga penjamin kredit di daerah.
Pemusatan koperasi
di bidang jasa keuangan sangat tepat untuk dilakukan pada tingkat
kabupaten/kota atau “kabupaten dan kota” agar menjaga arus dana menjadi lebih
seimbang dan memperhatikan kepentingan daerah (masyarakat setempat).
Fungsi pusat koperasi jasa keuangan ini selain menjaga likuiditas juga dapat
memainkan peran pengawasan dan perbaikan manajemen hingga pengembangan sistem
asuransi tabungan yang dapat diintegrasikan dalam sistem asuransi secara
nasional.
Pendekatan
pengembangan koperasi sebagai instrumen pembangunan terbukti menimbulkan
kelemahan dalam menjadikan dirinya sebagai koperasi yang memegang
prinsip-prinsip koperasi dan sebagai badan usaha yang kompetitif. Reformasi
kelembagaan koperasi menuju koperasi dengan jatidirinya akan menjadi agenda
panjang yang harus dilalui oleh koperasi di Indonesia.
Dalam
kerangka otonomi daerah perlu penataan lembaga keuangan koperasi (koperasi
simpan pinjam) untuk memperkokoh pembiayaan kegiatan ekonomi di lapisan
terbawah dan menahan arus ke luar potensi sumberdaya lokal yang masih
diperlukan. Pembenahan ini akan merupakan elemen penting dalam membangun sistem
pembiayaan mikro di tanah air yang merupakan tulang punggung gerakan
pemberdayaan ekonomi rakyat.
Perkembangan Koperasi di Indonesia
Setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. DR. H.
Moh Hatta sebagai salah seorang “Founding Father” Republik Indonesia, berusaha
memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu
pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pasal
33 UUD 1945 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya
disebutkan bahwa bangun perekonomian yang sesuai dengan azas kekeluargaan
tersebut adalah koperasi. Di dalam pasal 33 UUd 1945 tersebut diatur pula di
samping koperasi, juga peranan daripada Badan Usaha Milik Negara dan Badan
Usaha Milik Swasta.
Pada akhir 1946, Jawatan Koperasi
mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di
seluruh Indonesia. Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi
se Jawa yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara
lain terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat
SOKRI; menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta menganjurkan
diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan
masyarakat. Selanjutnya pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953
dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung. Keputusannya
antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI)
menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Di samping itu mewajibkan DKI membentuk
Lembaga Pendidikan Koperasi dan mendirikan Sekolah Menengah Koperasi di
Provinsi-provinsi. Keputusan yang lain ialah penyampaian saran-saran kepada
Pemerintah untuk segera diterbitkannya Undang-Undang Koperasi yang baru serta
mengangkat Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5
September diselenggarakan Kongres Koperasi yang ke III di Jakarta. Keputusan
Kongres di samping halhal yang berkaitan dengan kehidupan perkoperasian di
Indonesia, juga mengenai hubungan Dewan Koperasi Indonesia dengan International
dan pada tahun 1958 diterbitkannya Undang-Undang tentang
Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun 1958 yang berupa Tambahan
Lembar Negara RI No. 1669. Undang-Undang ini disusun dalam suasana
Undang- Undang Dasar Sementara 1950 dan mulai berlaku pada tanggal 27
Oktober 1958. Isinya lebih baik dan lebih lengkap jika dibandingkan
dengan peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan
Undang-Undang yang pertama tentang perkoperasian yang disusun oleh Bangsa
Indonesia sendiri dalam suasana kemerdekaan. Berdasarkan data dari
Kementerian Negara Koperasi dan UKM, perkembangan koperasi di Indonesia tahun
2000 sampai dengan tahun 2008, menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan,
pada tahun 2000 jumlah koperasi sebanyak 103.077 unit, dan pada tahun 2008
meningkat menjadi 155.301 unit atau meningkat 50,67%.
Pertumbuhan koperasi yang signifikan
diatas, juga diikuti dengan banyaknya koperasi yang sudah tidak aktif, data
koperasi tidak aktif per tahun dapat digambarkan:
Pada tahun
2000 koperasi tidak aktif mencapai 13,72% dari total koperasi atau 14.147 unit.
Pada tahun
2001 koperasi tidak aktif 18,97% atau 21.010 unit.
Pada tahun
2002 meningkat lagi kopearasi tidak aktif menjadi 21,08% atau 24.857 unit
Pada tahun
2003 meningkat terus menjadi 23,85% atau 29.381 unit.
Pada tahun
2004 meningkat menjadi 28,55% atau 37.328 unit dari 130.730 unit.
Pada tahun
2005 meningkat lagi menjadi 29,99% atau 40.145 unit.
Pada tahun
2006 menjadi 30,48% atau 42.382 unit.
Pada tahun
2007 meningkat terus menjadi 43,83% atau 44.048 unit terhadap total koperasi.
Pada tahun
2008 koperasi tidak aktif mampu bertahan pada angka 29,84% atau 46.335 unit.
Secara rata-rata pertumbuhan jumlah koperasi tidak aktif di Indonesia selama
delapan tahun terakhir mencapai 19,19%.
Sumber: